web analytics
header

Benang Kusut yang Harus Segera Diurai

Oleh: Dwi Arianto Rukmana
Peraturan Pemerintah (PERDA) DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau, dan Penyeberangan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dinilai kurang efektif. Peraturan tersebut belum sepenuhnya dikaji secara sosiologis, fisiologis dan teoritis sebagaimana adat dan budaya bangsa Indonesia yang berdampak pada pengangguran permanen.
Kemacetan di daerah perkotaan terutama Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta memang bukan hal yang aneh lagi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kendaraan pribadi maupun umum yang meledak dan tidak diimbangi dengan infrastruktur yang memadai. Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta harus berfikir secara cepat dan pragmatis agar benang kusut yang menjadi permasalahan selama ini bisa teratasi.
Memang Jakarta merupakan jantung kota bisnis yang ada di seluruh tanah air, kelancaran transportasi merupakan hal utama penunjang jalannya bisnis, tetapi apa daya Pemerintah DKI Jakarta belum bisa medapatkan solusi yang maksimal tentang permasalahan ini. Upaya pemerintah DKI Jakarta seakan sudah memenuhi titik buntu sehingga memberlakukan mobil berpenumpang tiga (Three In One) dalam jam dan jalur tertentu yang termuat dalam Perda No 12 Tahun 2003. Peraturan tersebut dinilai belum bisa memenuhi unsur Sosiologis, Filosofis dan Teoritis yang mengakibatkan pengangguran permanen.
Jika ditinjau lebih mendalam sebenarnya peraturan ini dibuat memenuhi tiga unsur; pertama, dinilai lebih efektif karena mengurangi kendaraan di jalan raya, kedua mengefisienkan waktu secara maksimal dan ketiga menyadarkan masyarakat untuk menekan egoisme masyarakat Ibukota yang mempunyai mobil lebih dari satu. Memang kalau dilihat sepintas peraturan ini sangat efektif dari segi pemikiran dramatis, tetapi kalau ditinjau secara konseptual yaitu secara Sosiologis, Filosofis dan Teoritis belum maksimal untuk mengurangi angka kemacetan di Ibukota Jakarta.
Secara sosiologis peraturan ini dinilai kurang memenuhi unsur sosial dan masyarakat, karena peraturan ini seakan-akan membuat seseorang malas dan lebih dominan menggantungkan hidupnya di pinggir jalan menjadi joki Three In One (3 In 1). Sehingga risiko tingkat kecelakaan lebih tinggi karena harus berebut di pinggir jalan. Dengan adanya pekerjaan itu pendidikan formal untuk anak-anak jadi terbengkalai, ini berdampak buruk pada masa depan anak tersebut yang akan menimbulkan pengangguran permanen.
Secara filosofis  mungkin hal ini bisa dikatan menghasilkan lapangan kerja baru untuk masyarakat di wilayah DKI Jakarta. Tetapi ini akan membuat kecenderungan masyarakat luar untuk datang dan ikut ambil bagian dalam menjadi joki three in one. Sehingga pengangguran di Jakarta semakin banyak dan susah untuk diatasi.
Secara teoritis pemberlakuan PERDA ini kurang memikirkan dampak yang akan timbul. Sifat egoisme masyarakat ibukota sangatlah besar dan kesadaran diri tentang solidaritas kurang. Walaupun diberlakukan peraturan tersebut tidak akan mengurangi masyarakat yang mempunyai mobil lebih dari satu untuk sadar akan kemacetan jalan, sehingga masyarakat akan cari jalan lain untuk lari dari aturan tersebut.
Kemacetan di kota besar terutama DKI Jakarta sangat sulit untuk diselesaikan karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang hal tersebut, peran masyarakat sangatlah penting dalam mengatasi permasalahan ini, sehingga pemerintah harus mengikut sertakan masyarakat untuk ikut memecahkan permasalahan ini dan menekan angka pengangguran.
Yang menjadi prioritas utama adalah memberi batasan-batasan kepada pengusaha dan perusahaann-perusahaan untuk berperan aktif dalam mengatasi permasalahan tersebut, meningkatkan pendidikan formal bagi masyarakat kurang mampu agar ke depannya tidak menimbulkan pengangguran permanen.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan