web analytics
header

Miskin di Negeri “Kaya”

Oleh: Irwan Saputra
J
udul yang tepat bagi saya untuk menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia dewasa ini. Sungguh ironis miskin di negeri sendiri, miskin di negeri kaya, miskin di sebuah negara dengan berbagai macam kekayaan alam yang melimpah lagi terhampar dari timur ke barat dengan kualitas terbaik. Sampai-sampai banyak orang asing begitu ingin mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang kita miliki ini, karena tergiurnya mereka. Pertanyannya, “apakah pemerintah mengizinkan SDA kita diambil alih oleh mereka sepenuhnya ataukah bagaimana?”
Teringat perkataan Ali Ibn Abi Talib r.a. yang mengatakan bahwa penindasan tidak akan terjadi tanpa kesepakatan dua pihak, yaitu antara penindas dan yang ingin ditindas. Artinya, kita tidak akan tertindas jika kita tidak ingin ditindas.
Negara masih sangat begitu menggantungkan pendapatannya dari pajak. Terbukti pada penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012, sumber terbesarnya berasal dari pajak yaitu 96,9% dari total APBN 2012. Ini sangat jelas jauh dari cerminan Negara kita yang kaya akan SDA. Mengingat dalam menjalankan pemerintahan, pembangunan, belanja Negara, semuanya bergantung pada sumber pendapatan pajak yang juga tidak kalah melimpahnya dengan SDA kita.
Dengan begitu banyaknya sumber dana yang berasal dari perpajakan, hal ini pun dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dari pegawai pajak sendiri untuk melakukan korupsi dan penggelapan. Kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang sudah dianggap biasa di negeri yang mempunyai Sumber Daya Alam luar biasa ini. Saking biasanya, orang-orang sudah mulai muak dengan berbagai pemberitaan seputar korupsi dan penggelapan baik dari media cetak maupun elektronik.
Sebut saja Gayus, pegawai pajak golongan tiga dengan harta kekayaan yang mencapai miliaran rupiah, jumlah yang begitu banyak untuk pegawai sekelasnya. Tiba pada saat penahanan dengan entengnya ia keluar-masuk dari bilik penjara Rutan Brimob bahkan sampai melancong ke Bali untuk liburan dan menonton pertandingan tenis internasional. Sungguh ironis di negeri yang penuh ironi ini. Kok malah membahas Gayus ya, ini hanya ungkapan emosi penulis. Sudahlah kita membahasnya karena kita sedang membicarakan kemiskinan, sedangkan dia orang kaya (dengan uang rakyat). Inilah salah satu faktor miskin di negara “kaya.”
Belum lagi Dhana Widyatmika dan tidak menutup kemungkinan munculnya gayus-gayus lain.  Pada Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dijelaskan bahwa “Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Namun, dari pasal yang terkandung di atas timbul pertanyaan, “apakah kekayaan alam kita telah kita kuasai? Apakah sudah dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat?” jawabannya sudah pasti tidak. Saat ini kekayaan alam kita masih saja dikeruk habis oleh perusahaan-perusahaan asing dari Amerika, Inggris, Belanda, dan yang lainnya. Saat ini juga perusahaan-perusahaan tersebut tidak memberi andil yang berarti sudah saling kontra dengan amanat Undang-Undang di atas bagi kemakmuran rakyat Indonesia terutama masyarakat yang berada di sekitar SDA tersebut, dibandingkan jika kita sendiri yang mengelolanya.
Seperti di Buton, daerah penghasil aspal yang terletak di Sulawesi Tenggara. Begitu banyak aspal yang dihasilkan daerah ini akan tetapi sungguh miris melihat begitu banyak jalanan di sana yang belum ter-aspal, hanya jalan dari tanah dan bebatuan saja. Dan juga kurangnya dampak kesejahteraan bagi warga sekitar. Di bawah kemanakah aspal itu? Entahlah.
Begitu juga tambang emas terbesar yang kita miliki dengan kualitas emas terbaik yang dikelola PT. Freeport, kita hanya mendapat 1% dari keuntungannya sedangkan asing yang mengelolanya mendapat 99%. Dimana warga Papua hidup jauh dari standar kelayakan di tengah bergelimangnya harta yang didapatkan dari gunung yang mempesona mata Amerika itu.
Pemerintah seharusnya lebih berani, arif, dan bijaksana dalam pengelolaan Sumber Daya Alam karena jika tidak, rakyat kita sendiri yang akan merasakan dampaknya apabila roda pengelolaan ini tidak dijalankan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar NRI 1945. Dan juga rakyat jangan mau miskin di negeri kaya, mari bersatu dalam kebenaran, diam tertindas atau bangkit melawan. Ingat pesan Ali Ibnu Abi Talib r.a.
Salam pergerakan, salam pembebasan!!

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan