web analytics
header

Korupsi Tak Kunjung Usai

M
ungkin sebagian besar dari kita sudah bosan mendengar kata korupsi dan koruptor (pelaku korupsi). Kata-kata yang tak kunjung usai terdengar dari berbagai pemberitaan baik media cetak maupun elektronik, kata-kata yang membuat rakyat semakin terlantar, kata-kata yang membuat negeri “kaya” ini semakin miskin walaupun menurut pemerintah angka kemiskinan berkurang, Tapi angka itu sama sekali tidak berarti ketika kita melihat realitas yang ada. Kawasan kumuh juga berkembang. Ibarat kampung di tengah kota. Itulah potret buram negeri “sarang” koruptor ini.
Tahun demi tahun tingkat korupsi semakin meningkat, “kantong” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun sudah semakin berat dengan begitu banyaknya kasus. Salah satunya kasus penggelapan pajak dan pembangunan gedung Hambalang. Tidak perlu disebutkan seluruhnya kasus yang ada lantaran terlalu banyak perampok berdasi yang menggerogoti negeri ini.
Sebenarnya, korupsi bukan masalah baru di Indonesia, korupsi merupakan masalah yang sudah lama dijalani. Sejak era orde lama hingga reformasi, akan tetapi korupsi yang dulu dan sekarang beda. Kalau dulu korupsi berjalan dengan begitu mulus, rapih, dan tidak banyak seperti sekarang. Bukannya kita menghalalkan korupsi yang dulu. Tapi sekarang, korupsi bukan lagi seperti perbuatan terlarang, karena orang-orang sudah menganggapnya suatu kebiasaan dan parahnya lagi ia tidak mengira ia melakukan perbuatan korupsi. Begitu parahnya negeri ini.
Korupsi di era sekarang begitu parahnya, karena sudah memasuki segala aspek dan seluruh lini. Mulai dari pusat hingga daerah dengan rancangan yang begitu baik, terstruktur dan sistematis. Korupsi seakan-akan sudah menjadi rahasia umum, rahasia tapi semua orang mengetahuinya. Sungguh hal yang sangat bodoh. Jika kita ingin dimudahkan urusan kita di kantor pemerintahan harus ada uang pelican (agar kerjanya juga selicin uang itu) padahal ia sendiri sudah digaji dengan kerjanya itu, begitupun polisi dengan istilah uang 86-nya. Hakim juga tak mau ketinggalan dengan tawar-menawar vonisnya, proyek pun demikian juga. Apalagi jika sudah sampai di pusat karena dana di pusat begitu segarnya untuk dikorupsi karena jumlahnya yang begitu menggiurkan politisi penggemar korupsi. Sebut saja nama-nama yang sudah santer terdengar; Nazaruddin yang lihai keliling Negara hingga sampai ke Bogota, Colombia. Ada juga Gayus yang juga lihai keluar masuk sel walaupun sel-nya berada di Mako Brimob Kelapa Dua hingga melancong ke Bali menikmati pantai dan menonton pertandingan tennis international.
Sungguh sangat mengerikan fenomena korupsi di negeri ini. Hingga dibentuklah pada masa orde baru; TPK (Tim Pemberantasan korupsi) sekarang bernama KPK, lembaga ad-hoc yang memiliki kekuatan superbody, lembaga yang begitu kuat dan disegani.
Sudah saatnya pemerintah di bawah komando SBY melakukan rekonstruksi terhadap semua ini. Rekonstruksi moral kepada seluruh aspek pemerintahan, seluruh pejabat publik, seluruh bangsa untuk menuju kepada Indonesia yang lebih beradab, lebih berpancasila. Karena kita semua tahu yang melakukan korupsi itu bukan orang-orang yang bodoh secara akademik mengingat gelar dan sekolah mereka yang begitu tinggi hingga ke luar negeri tapi sayangnya, moralnya tak setinggi sekolahnya. 
Untuk kepada seluruh masyarakat, jangan mau kita menambah berat kantong KPK dengan diri kita, jangan mau orang tua kita menjadi salah satu isi dari kantong KPK, jangan sampai kita termasuk orang-orang zalim. Mengutip dari salah satu buku saya (koleksi maksudnya), “Manusia termiskin adalah mereka yang paling banyak penghasilannya dari yang haram. Ia telah berutang secara zalim maka ia harus mengembalikannya.” Jadilah manusia yang berguna bagi orang lain, karena itu yang termulia. Bukannya manusia yang merugikan orang lain seperti koruptor. Mungkin itu, wassalam.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan