web analytics
header

Negara Sedang Amnesia

Oleh: Ramli
(Div. Litbang  LPMH-UH)
B
anyak hal yang unik di negara ini, sesuatu yang tidak terdapat di negara manapun juga. Sungguh sesuatu yang dapat dibanggakan, hidup di negara yang mempunyai keragaman, termasuk suku, bahasa daerah, dan adat istiadat. Hal itu seharusnya dikembangkan untuk menjadi kekayaan dan identitas bangsa, bahkan bisa dimanfaatkan untuk menarik minat para wisatawan ataupun sekadar perekat dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam era globalisasi sekarang, sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi dan transportasi, sekat-sekat pemisah antarbangsa akibat ruang dan waktu seakan sirna. informasi tentang budaya-budaya bangsa di seluruh dunia pun dengan mudah diakses, sehingga tidak mengherankan jika percampuran budaya terjadi. Kesempatan tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan untuk memperkenalkan budaya Indonesia di dunia internasional, sehingga dapat memberikan sumbangsih dalam perekonomian negara dan kesejahteraan bangsa. Sejalan dengan hal itu, sudah sangat sulit membedakan budaya asli sebuah bangsa, kalaupun masih dipertahankan, keadaannya tidak seasli yang ditinggalkan para leluhur akibat perubahan zaman yang terkadang menganggapnya hal yang kuno.
Bahasa Indonesia telah mempersatukan kita,dan bahasa Inggris telah dilumrahkan menjadi bahasa penghubung antarbangsa. Dalam pergaulan nasional, utamanya dalam forum-forum yang formal,merupakan sebuah kepatutan untuk menggunakan bahasa persatuan. Begitu pula dalam pergaulan intornasional, bahasa Inggris merupakan alat komunikasi yang ampuh untuk saling tukar pemahaman. Perkembangan dalam segala sektor di era modernisasi ternyata menciptakan dampak yang besar terhadap kebudayaan bangsa, tanpa adanya filter yang memadai, bangsa Indonesia akan kehilangan jati dirinya. Gengsi yang mulai menjangkiti generasi muda, membuat mereka enggan lagi hidup dengan tradisi dan bercakap dengan bahasa daerah atau bahasa persatuan, bahkan masih banyak kosakata baku dalam Bahasa Indonesia yang kehilangan makna karena tidak pernah difungsikan. Tuntutan kehidupan membuat generasi muda lebih gemar mempelajari budaya dan bahasa asing, untuk mengungkapkan makna tertentu  mereka lebih memilih menggunakan bahasa asing, bahkan hal seperti itu sering terdengar di forum resmi kenegaraan.
Kehidupan pedesaan yang masih sarat dengan kesakralan, merupakan sarang budaya yang seharusnya diperhatikan. Namun terpusatnya sarana kehidupan di perkotaan menciptakan urbanisasi , menyebabkan pelestarian kebudayaan di pedesaan miskin generai baru. Hal itu seharusnya diantisipasi oleh pemerintah melalui penyediaan fasilitas umum yang merata, utamanya fasilitas pendidikan yang berkualitas.
Pengajaran yang diprogram pemerintah seharusnya tidak hanya untuk mengikuti tuntutan globalisasi, tetapi menjadi sarana untuk mentrasformasikan budaya lokal. Sebaliknya sekarang, Para pelajar di setiap jenjang selalu disuguhkan budaya tiruan, bahkan dijadikan kompetisi sebagai tolak ukur kualitas sebuah institusi pendidikan. Tarian tradisional kini berubah menjadi modern dance, lagu tradisional dengan instrumen musik tradisional diganti menjadi lomba band, pameran pakaian tradisional diganti dengan pegelaran busana modis, dan masih banyak kegilaan lainnya. Program pendidikan wajib belajar Sembilan tahun dalam konstitusi, ternyata hanya membuat bangsa lupa diri, bahkan bertentangan dengan Pasal 32 UUD 1945 yang menyatakan, ”Negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Berdasarkan bunyi Pasal di atas, negara seakan-akan lepas tangan terhadap pelestarian budaya, hanya menyerahkan kepada minat masyarakat untuk mempertahankannya, sehingga dengan terjangkitnya masyarakat oleh virus modernisasi, dapat dipastikan hilangnya budaya bangsa yang sejati. Jika memang negara, dalam hal ini pemerintah punya kepedulian, harusnya disediakan situasi dan kondisi untuk mereka dalam mengembangkan kecintaan dan minatnya terhadap budaya tradisional, bukan mengurung mereka dalam kelas dan mewajibkan mendalami budaya asing, ataupun membiarkan media informasi menyiarkan sesuatu yang dapat memudarkan kecintaan terhadap budaya sendiri. Ketika negara merisaukan kurangnya minat generasi muda dalam melestarikan budaya bangsa hingga diklaim negara lain, hal itu terjawab dengan melihat sajian-sajian yang ada sekarang, hanya memaksakan kita tersugesti untuk mencintai budaya bangsa lain. Kecintaan terhadap budaya sendiri harusnya dipupuk sejak dini dan seluruh pihak harus berperan, terutama negara.
Sebagai bangsa yang besar, bukanlah ketakutan terhadap persaingan dan kemajuan global yang membuat kita harusnya bertahan dalam jati diri kita yang sejati, tapi modernisasi tidak seharusnya membuat kita kehilangan jati diri, tapi seyogianya kita berusaha tumbuh dari akar budaya yang telah ditancapkan para pendahulu kita, bukan  mengikuti arus yang tidak kita  ketahui arahnya. Indonesia punya potensi untuk berjaya dan seharusnya terarah pada tujuan pembangunan nasional yang telah ditegaskan Presiden Soekarno, yaitu “berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya.”

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan