web analytics
header

Pembubaran BP Migas Merupakan Langkah yang Tepat

Oleh: Muhammad Farit Ode Kamaru
A
presiasi layak diberikan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sikapnya dalam Putusan menyoal BP Migas. Betapa tidak, sebagai lembaga pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), MK telah membuka lembaran baru bagi kelangsungan sumber daya alam di negeri ini. Penghapusan Badan Pelaksana Migas (BP Migas) merupakan langkah konkrit yang dilakukan untuk menanggulangi setumpuk hambatan yang dialami oleh bangsa dalam hal pengelolaan sumber daya alam, khusunya minyak.
Saat ini dunia telah memasuki resesi, inflasi yang terjadi di beberapa negara pengguna Euro (€) adalah salah satu bukti nyata yang sudah sepatutnya diamati oleh pemerintah. Di sektor ekonomi, Indonesia memiliki banyak potensi untuk mandiri, keterlibatan pemerintah dalam mengelola SDA, khususnya Migas, justru membuat pengelolaannya tidak efektif. Produksi minyak Indonesia menurun drastis sejak krisis moneter 1997 dan setelah itu tidak pernah lagi mampu mendongkrak produksinya. Alhasil, terhitung sejak tahun 2004, negara kita ini menjadi net-eksportir minyak.
Seperti biasanya, putusan MK ini pun mendapat tanggapan pro dan kontra di tengah masyarakat. Bagi pihak yang pro, putusan MK ini menjadi momentum perbaikan pengelolaan sumber daya alam yang selama ini menjadi lahan praktik monopoli. Sedangkan bagi pihak yang kontra dengan putusan MK ini dianggapnya inkonstitusional, sebab dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945, yang menegaskan:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Mengacu pada argumen di atas, makna “dikuasai oleh Negara” perlu kajian mendalam. Kalimat ini pulalah yang banyak disalah artikan oleh pihak-pihak tertentu. Kekuasaan negara terhadap sektor-sektor ekonomi bukan berarti negara yang harus mengelolanya sendiri, karena jika demikian, ini sama halnya monopoli usaha yang dilakukan oleh pemerintah. Seyogyanya “dikuasai oleh Negara” dimaknai sebagai bentuk pengontrolan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pengelolaan sumber daya alam sehingga tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu benar tercapai. Tentunya, hal ini tidak berarti BUMN saja yang diperkenankan untuk mengelolanya, tetapi juga berlaku bagi pihak swasta baik dalam negeri maupun luar negeri.
Eksplorasi yang dilakukan oleh negara terhadap sektor-sektor ekonomi (migas) bukan hanya tercantum pada UUD Pasal 33. Semangat reformasi pasca rezim Suharto, merombak tatanan lama. UU No. 22 Tahun 2001 mencabut posisi Pertamina/BPPKA sebagai regulator. Dan sebagai gantinya diambil Pemerintah melalui BP Migas. BP Migas inilah sebagai kepanjangan Pemerintah, sebagai regulator manajemen kontraktor produksi minyak dan gas Production Sharing Company (PSC). Ternyata cara kerja BP Migas lebih micromanagement, mengurusi dan mencampuri hal yang kecil-kecil. Kalau rezim Suharto pemerintah mengurusi siapa yang boleh kerja di PSC, pada rezim reformasi fokusnya pada remeh-temeh yang dikerjakan kontraktor. Banyak proyek yang terhambat. Produksi minyak dan kondensat Indonesia turun dari level 1,670 juta barrel per hari tahun 1991 ke 950 ribu barrel per hari tahun 2009.[1]
Keberadaan BP migas saat ini adalah implementasi dari UU No. 22 Tahun 2001 pada era Megawati Soekarno Putri. Dasar pemikiran dan tujan dibentuknya BP migas dulu adalah, pertama, untuk menghindari benturan kepentingan. BP migas ditangani oleh satu elemen di bawah pertamina, sedangkan pertamina adalah pelaku dunia usaha di bidang minyak dan gas, dikhawatirkan kalau pertamina yang mengatur akan segalanya, bisa terjadi benturan kepentingan. Kedua, dasar pemikiran mengapa BP Migas dibuat independen pada era pemerintahan itu ialah keinginan untuk memisahkan antara tugas pemerintah sebagai regulator dan pembuat kebijakan. Ketiga, agar pemerintah tidak terlibat langsung dalam pembuatan kontrak kerja sama dengan dunia usaha. Dengan demikian ada posisi yang lebih baik untuk negara, tanpa melibatkan dirinya secara langsung, dalam pengaturan usaha hulu minyak dan gas itu.
Yang perlu di ingat mengapa di perlukan lembaga independen dengan transparasi, efisiensi, misalkan kemehatan dari biaya oprasionalnya, karena investasi minyak dan gas bumi rata-rata setiap tahunnya mencapai  antara 150 triliun sampai 200 triliun, ini pekerjaan yang penting dan tidak boleh lalai negara ini, apalagi jika tidak mempunyai kejelasan organisasi maupun aturan yang dilakukan oleh lembaga yang bernama BP Migas. Sehingga UU no 22 tahun 2001 memiliki dasar pemikiran dan tujuan yang jelas. Di satu sudut BP Migas ditekan untuk “berprestasi” dengan menekan cost dan cost recovery, sehingga membuat BP Migas seperti auditor dan penyidik. Di sudut lain PSC menjadi enggan berinvestasi karena dihambat oleh gaya penyidik BP Migas dan takut biaya yang dikeluarkan tidak bisa mendapatkan cost recovery.
Indonesia yang menganut sistem bagi-hasil produksi minyak, mempunyai mekanisme cost recovery sebagai jalan bagi kontraktor untuk mengklaim kembali biaya produksi dan investasi yang dikeluarkan. Ini termasuk gaji pegawai, perawatan/pembelian/sewa alat, dan lain sebagainya. Micro management ini mencabut dari cost recovery semua program-program yang sifatnya sebagai pemberian insentif guna mencegah keluarnya karyawan. Dan yang paling konyol lagi tidak bisanya cost recovery untuk quote, “surplus material yang berlebihan akibat kesalahan perencanaan dan pembelian. Pembangunan dan pengoperasian projek atau fasilitas yang telah Place into Service (PIS) dan tidak dapat beroperasi sesuai dengan umur ekonomis akibat kelalaian Kontraktor Kontrak Kerja Sama.” Perhatikan kata “kesalahan” dan “kelalaian” pada cuplikan peraturan menteri ini. Setiap orang yang waras yang bekerja di perusahaan yang berorientasi keuntungan tidak akan mau berbuat salah dengan sengaja sehingga perusahaannya rugi.[2]
Dalam pidato presiden terkait pembubaran BP migas, beliau membeberkan beberapa implikasi mengenai hal ini, Tentu ada implikasinya, pertama apa yang terpantau memang putusan itu  menimbulkan kecemasan dari berbagai kalangan menyangkut kepastian hukum di negri ini, dan juga menyangkut regulasi yang dikeluarkan dari pemerintah republik indonesia, di negara manapun di dunia investasi dan dunia usaha memerlukan kepastian hukum dan adanya regulasi kalau tidak hampir pasti para pelaku dunia usaha, para investor dan para pengusaha minyak dan gas bumi tidak berani untuk melakukan investasinya. Dan kalau ini tidak segera pemerintah ambil alih, maka isu tentang ketidakpastian hukum bisa mengganggu ikim investasi yang sebenarnya sekarang ini berada dalam keadaan yang makin baik, di bandingkan dengan era 10 tahun yang lalu.
Di masa krisis dunia sekarang ini, ketika ekspor di beberapa negara maupun Indonesai mengalami penurunan yang tajam, maka andalan kita adalah investasi. Tidak semua negara punya peluang investasi, tidak semua negara punya peluang yang sama. Sehingga ada negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi di bawa rata-rata dan ada yang tumbuh sangat rendah bahkan mines. Indonesia meskipun eksopr kita sangat menurun tetapi investasi kita meningkat tajam, maka relativ selamat pertumbuhan ekonomi kita, dan itu penting bagi rakyat kita, kalau ekonomi tidak tumbuh akan terjadi gelombang PHK, tidak akan tercipta lapangan kerja yang baru, dan penerimaan atau devisa untuk negara berkurang, oleh karena itu investasi sangat-sangat penting.
Di pidatonya Presiden menjelaskan bahwa kebutuhan domestik akan gas makin pesat dan terus meningkatat. Ekonomi tumbuh industri tumbuh, permintaan akan gas juga meningkat tajam. Hal ini akan dipenuhi oleh pemerintah, dengan cara ditingkatkannya eksplorasi minyak dan gas, agar bisa meningkat eksplorasi dan produksinya iklim investasi harus baik. Agar investor datang, maka harus jelas aturannya, jelas siapa yang mengelola dan mengatur bisnis di bidang hulu mnyak dan gas kita, di smping selama ini, sejak puluhan tahun yang lalu, pemerintah republik indonsia punya mitra yang memanfaatkan minyak dan gas bumi. Untuk yang kesekian kalinya, Pemerintah mengajak dan mengundang para investor serta pelaku dunia usaha dari dalam negri untuk ikut berinvestasi di negri kita sendiri. Pembubaran BP Migas adalah tanda dibukanya peluang seluas-luasnya kepada investor dalam negeri untuk berinvestasi demi perekonomian bangsa kita. Sebab kalau tidak, tentu kekuatan ekonomi tidak akan tumbuh dengan baik, apalagi menjadikan persoalan dan kecemburuan karena partner kita selama ini organisa bisnis multi nasional, saatnya telah tiba untuk meningkatkan investasi di negri ini, kita sudah punya MB3E jelas sekali, apa saja yang akan kita lakukan termaksud usaha minyak dan gas bumi, maka untuk BUMN, swasta pusat dan daerah ikutlah untuk membangun ekonomi di negeri ini, negara memerlukan.
[1] Imam Semar, Penipu, Penipu Ulung, Politikus, dan Cut Zahara Fonna, 2010. Hlm 192.
[2] Ibid.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan