web analytics
header

SELERA DALAM KUNGKUNGAN KAPITALSME


                                                                                 Oleh: Ramli

Merupakan sebuah pertanyaan, apakah kepribadian dalam berbudaya bangsa Indonesia masih berlandaskan pada pancasila, dan apakah kita masih bangga menjadi bangsa Indonesia? Dasar atas kegalauan tersebut nampak dalam seluruh aspek kehidupan bangsa, baik aspek ekonomi, politik, maupun budaya. Contoh kecilnya dapat dilihat dari cara berpenampilan yang tidak lagi menekankan kearifan yang menjunjung nilai kesopanan dan tradisi bangsa, tetapi melenceng mengikuti style ala dunia Barat.
Berkompromi merupakan cara yang tepat bagi orang pragmatis dan hedonis dalam menyikapi realita diatas, memilih jalan yang memberikan kemungkinan besar untuk memperoleh kepuasan secara cepat, tanpa perlu menganalisis seluk-beluk realitas tersebut dan mengujinya dengan nilai-nilai luhur bangsa. Dengan alasan modernisasi yang tidak mungkin terelakkan, mereka rela mengikuti arus zaman untuk menghindari cap kuno dari masyarakat di lingkungannya.
Tanpa pedoman kehidupan yang mantap,  seseorang dengan mudah  terombang-ambing dengan pendapat orang lain, terlebih ketika secara psikologi, dia tidak mampu memahami dan mempertahankan idealismenya dari  rongrongan yang berasaskan kepada  nilai-nilai kehidupan yang cacat nilai. Hal itu tentu tidak berlaku bagi orang dengan idealisme sejati, yang mengkonstruksikan idealismenya berdasarkan nilai yang luhur, kemudian merefleksikan setiap realita yang terjadi, lalu memilahnya untuk diterima ataukah ditolak. Meskipun demikian, harus diakui bahwa sudah sangat sulit untuk memilah nilai kebangsaan yang luhur di era globalisasi, di saat akulturasi tidak dapat dihindari, keadaan kita, termasuk pemikiran turut dikonstruksi dari faktor-faktor eksternal. Kehidupan di lingkungan yang sarat dengan budaya adopsi sangat mempengaruhi pandangan kita tentang nilai, namun itu bukanlah alasan yang dapat diterima saat zaman sekarang, ketika kemerdekaan berfikir, berpendapat, dan berbuat dijamin oleh konstitusi, seharusnya kita berfikir kritis terhadap setiap realita. Globalisasi dan modernisasi bukanlah hal yang menakutkan untuk dihindari, tapi menjadi peluang untuk membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang besar. Sebagai bangsa yang beridentitas, nilai-nilai kebangsaan yang tersirat dalam pancasila wajib menjadi pedoman, termasuk menjadi “ alat penyaring” terhadap budaya asing, sehingga tercipta asimilasi budaya yang berciri kebangsaan. 
KAPITALISASI SELERA
Tentu banyak yang tidak sepakat jika dikatakan bahwa selera  dapat diperjualbelikan, mengingat selera sebagai persoalan subjektif yang sangat tergantung dari kehandak seseorang. Selera merupakan dasar seseorang memilih diatara banyak pilihan yang tersedia, meskipun selera terkadang tidak logis bagi seseorang, namun bagi  seseorang itu sangatlah tepat. Timbulnya selera terhadap sesuatu seringkali bukan karena pikiran atau hayalan, tetapi dampak dari materi yang  telah  diinderai. Selain itu, selera juga sangat tergantung dari frekuensi seseorang berhubungan secara inderawi dengan materi tertentu, jika ia tidak punya pengalaman sebelumnya tentang hal tersebut, tidak mungkin terlintas keinginan untuk memiliki.
Di era globalisasi, tanpa disadari selera seseorang telah dibatasi dan dibentuk oleh dan untuk kepentingan pasar, dalam hal ini kapitalis. Menjadi sebuah kepastian bahwa orang akan menentukan pilihannya diatara pilihan pilihan yang tersedia, tidak mungkin memilih diantara pilihan-pilihan yang tidak disediakan, ataupun tidak dia ketahui adanya pilihan lain. Maka dari itu, dapat ditegaskan bahwa selera sangat tergantung pada apa yang ada, orang Indonesia yang terbiasa makan nasi sebagai makanan pokok, yang memang tersedia melimpah di Indonesia, seleranya tentu akan cenderung memakan nasi dibanding makanan pokok lainnya. Seperti juga bangsa di Eropa yang menjadikan gandung sebagai makanan pokok, atau bangsa di Afrika yang kebanyakan memilih singkong sebagai makanan pokoknya, pastilah tidak berselera jika harus memakan nasi sebagai makanan pokok.
Dari gambaran diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pihak kapitalis sangat memusatkan perhatiannya pada terselenggaranya produksi yang melimpah untuk didistribusikan secara besar-besaran dan merata, yang akan menjamin bahwa keinginan setiap orang akan terpenuhi dengan hasil produksinya. Keadaan pasar yang dimonopoli oleh pihak kapitalis mengakibatkan seseorang terpaksa memilih diantara pilihan yang terbatas. Hal ini tentu meyakinkan para kapitalis bahwa sebanyak apapun barang yang diproduksi, akan terserap habis oleh konsumen.
Kekuatan paling sentral dari kapitalis adalah modal, yang menjadi alat untuk menginvasi seluruh aktifitas  produksi seluruh negara, dan terus memperluas jangkauan melalui pendirian cabang-cabang produksi secara terus menerus dari modal yang juga diperoleh dari aktivitas produksi. Dengan kejadian itu, pesaing-pesaing produksi akan bangkrut dan diakuisisi oleh perusahaan kapitalis besar, termasuk kegiatan perekonomian yang hanya mengandalkan swadaya masyarakat atau dengan modal yang kecil. Untuk mengukuhkan kajayaannya, pihak kapitalis akan berusaha membatasi ruang konsumen sehingga tetap dalam cengkramannya, dapat dengan melakukan distribusi secara besar-besaran dan merata, ataupun melalui penyebaran iklan menjanjikan atas produknya.
Bukan hal yang sulit bagi para kapitalis yang bermodal besar untuk mengekang akses masyarakat atas pilihan produk yang beragam sesuai selera, hanya dengan modal, sebuah produsen mampu melakukan promosi dan  iklan secara besar-besaran. Media massa dengan mudah diperalat para kapitalis, terutama dalam mambentuk selera masyarakat dengan iklan produk yang sangat mengesankan. Bahkan sudah lumrah bahwa iklan yang dipertontonkan di media massa sekarang didominasi oleh produsen-produsen berkelas dunia yang sebagian besar adalah produsen asing/luar negeri. Frekuensi pemutaran iklannya pun terjadi setiap waktu secara berulang ulang, sehingga superioritas produsen dalam pengiklanan  dipastikan sangat mempengaruhi psikologi konsumen.
Cara para kapitalis dalam melipatgandakan keuntunganya juga dapat dalam bentuk-bentuk sugesti yang tidak disadari. Konstruksi  tentang nilai kebaikan dan keindahan telah diseting oleh pihak kapitalis melalui media, terutama ketika sebuah bangsa tidak memiliki pedoman nilai terhadap invasi kebudayaan dari luar.  Pandangan tentang kecantikan misalnya, merupakan hasil dari apa yang sering tampil di media massa, terutama ketika akses informasi yang tak terbatas, pihak kapitalis tentunya memanfaatkannya untuk melakukan propaganda. Hal paling kecil yang seharusnya disadari bahwa kapitalis selalu menghadirkan ikon yang mampu memberi sugesti kepada konsumen terhadap produknya, termasuk melalui produksi dan penyebaran film yang menghadirkan pemeran utama sebagai sosok yang dijamin mampu memberikan paksaan batin bagi setiap penonton untuk mengimitasikan diri terhadapnya.
Konsep tentang kecantikan misalnnya, telah di-setting para kapitalis melalui media untuk dijadikan alat propaganda produknya, terbukti, konsep kecantikan selalu berubah sesuai perkembangan. Dahulu kala kleopatra yang berkulit cokelat, kurus, berambut ikal merupakan ikon kecantikan. Setelah revolusi industri  konsep tentang kecantikan pun berubah, berkiblat pada ras eropa yang tinggi, putih dan berambut pirang. Modus pihak kapitalis itu tentu disusul dengan memproduksi produk-produk yang mampu menjamin bahwa masyarakat dapat memenuhi keinginannya, misalnya rambut pirang, tubuh yang langsing, dan kulit yang putih. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dipasaran berserakan alat kosmetik seperti perwarna rambut, pemutih kulit, dan pelangsing.  Konsep itu pun serupa dengan zaman sekarang, ketika selera masyarakat tentang kecantikan berpusat pada penampilan ala korea.
 Telah nyata bahwa produsen kapitalis telah merajai perekonomian bangsa, apakah kita hanya dapat menjadi konsumen? Atas dasar itu, dibentuk klasifikasi negara berdasarkan aktifitas perekonomiannya, gelar Negara dunia pertama yang menindikasikannya sebagai Negara  produksi, dunia kedua sebagai negara yang mampu memberikan keseimbangan antara produksi dan konsumen dalam negeri, dan dunia ketiga yang merupakan Negara konsumen yang menjadi tujuan ekspor Negara-negara kapitalis.  Lalu, bagaimana dengan Negara Indonesia?
Paradigma yang salah diatas  sepertinya mulai mengakar dalam diri bangsa, indikator dasar dapat dilihat dengan munculnya anggapan dalam masyarakat Indonesia bahwa status sosial dan ekonomi seseorang hanya diukur dari daya dan frekuensi konsumsinya, kala negara-negara Barat  meyatakan bahwa status sosial dan ekonomi yang tinggi hanya dilihat dari daya produksi seseorang. Pandangan masyarakat seperti ini tentunya semakin mengukuhkan bangsa kita sebagai “binatang piliharaan” kapitalis.
TINDAKAN YANG HARUS DILAKUKAN
Ketika kita sadar terpuruknya bangsa dalam aspek budaya dan persaingan ekonomi, tidak ada alasan untuk tidak melakukan tindakan yang mampu menjamin bahwa kita bisa berdiri diatas kaki sendiri, dengan mengoptimalkan segala potensi bangsa dan kekayaan negara. Ironis jika menjadi  pembeli atas kakayaan alam, bahkan dibatasi dalam menikmati kekayaan alam kita secara bebas. Maka dari itu, sebagai Negara yang berdaulat, haruslah mampu memegang kendali atas segala yang menyangkut kehidupan bangsa, termasuk pemenuhan kebutuhan hidup dan kehidupan.
Tidak dipungkiri bahwa dengan berkembangnya teknologi telah menghilangkan sekat penghalang antarbangsa dalam mengadakan hubungan. Perkembangan tekologi informasi mampu menjadi wadah pengetahuan, namun disisi lain ternyata memberikan dampak negatif jika tidak disikapi dengan bijak. Dalam aspek kebudayaan, ternyata kebebasan mengakses informasi dapat dijadikan alat propaganda pihak kapitalis, terutama untuk memperluas pangsa pasarnya melalui periklanan. Menyadari hal tersebut, seharusnya nilai-nilai  kebangsaan harus tatap manjadi pegangan para pihak yang mempunyai andil dalam media informasi, tidak hanya memperhitungkan keuntungan materi. Dengan demikian, akan tersajian informasi yang menjunjung nilai-nilai kebangsaan, yang dapat meningkatkan martabat bangsa. 
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) seharusnya menjadi patokan dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara, bukan mengikuti keinginan modernisasi yang menggerus nilai-nilai kebangsaan. Oleh karena itu, harus dilakukan filterisasi terhadap paham-paham dan pengaruh dari luar, dengan menggunakan nilai-nilai pacasila dan UUD NRI 1945 untuk menjamin bahwa jati diri kita sebagai bangsa yang bermartabat tetap sejati.
Selai itu, penanaman kesadaran tentang nilai-nilai kebangsaan harus sejak dinidilakukan, dapat melaui lingkungan keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan keluarga, setiap generasi penerus bangsa dididik oleh orang tua mereka untuk menjadi bangsa Indonesia seutuhnya, yang menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Dalam aspek pendidikan formal, harusnya pihak yang berwenang merancang kurikulum yang mampu menjamin tertanamnya dan terlaksananya nilai-nilai kebangsaan dalam diri peserta didik, bukan tanpa pertimbangan yang kritis menerima konsep-konsep pendidikan sesuai tuntutan globalisasi. Sebagai tahap terakhir, dalam masyarakat harus senantiasa diselenggarakan kegiatan yang mendidik,  dan mampu meningkatkan kepercayaan diri, serta kemampuan bersaing dengan bangsa-bangsa lain, dan negara harus berperan aktif dalam menyelenggarakan hal tersebut.
(Ketukan huruf demi huruf ini, dituntun oleh pengetahuan dari diskusi yang mencerahkan bersama kanda Richi Anyan dan Kawan-kawan Persma, yang bertempat di kantin FH-UH, pada hari senin, tanggal 10 Desember 2012, Pukul 17.05-18.30 WITA)

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan