web analytics
header

LAPUT: Di Balik Gelar Guru Besar

Reporter: Icha Satriani & Oktafina Pikoli
Salah satu amanat pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik In­donesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah telah menunjukkan komitmen­nya untuk terus berupaya mewujudkan cita-cita bangsa ini dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Penda­patan dan Belanja Negara (APBN) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam Pasal 31 ayat (4) UUD NRI 1945.
Upaya dalam mencerdaskan kehidu­pan bangsa yang dilakukan melalui suatu sistem pendidikan nasional pada tingkat Perguruan Tinggi, boleh dikata menjadikan fungsi dan peran Guru Besar pada kedudu­kan yang paling krusial.
“Peran Guru Besar, diharapkan mam­pu meningkatkan kualitas mutu pengajaran dan juga pengembangan ilmu serta mem­bimbing dalam penelitian. Menjalankan Tridarma Perguruan Tinggi,” ujar Prof. Dr. Abdullah Marlang, S.H., M.H., dosen Fakul­tas Hukum Universitas Hasanuddin saat ditemui kru Eksepsi di sela-sela kesibukan­nya, Kamis (26/11).
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjelaskan bahwa “Guru Besar atau profesor yang se­lanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.”
Dalam fungsi pendidikan seorang Guru Besar, ada tiga bentuk pengabdian yang biasa disebut Tridarma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Ini jelas memperlihatkan bahwa Guru Besar dalam mentransferkan ilmunya tidak terbatas pada kalangan mahasiswa semata, ia pun harus bersinggungan langsung dengan ke­hidupan masyarakat.
Hal ini dipertegas pula pada Pasal 49 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa seorang Guru Besar berke­wajiban untuk menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluskannya untuk mencerahkan masyarakat.
Menyandang gelar Guru Besar bukan­lah perkara mudah. Peraturan Universitas Hasanuddin Nomor 854/H4/O/2010 telah mengatur mekanisme untuk memangku gelar tersebut. Berbagai persyaratan harus dipenuhi, di antaranya telah menyelesaikan Pendidikan Doktor (S3), memiliki kompe­tensi pada lingkup bidang ilmunya dan memperoleh pengakuan di lingkungan­nya, serta mampu mengaplikasikan dan mengintegrasikan ilmunya dengan bidang ilmu lain secara komprehensif sehingga mendukung pengembangan ilmu peng­etahuan dan teknologi dan pembangunan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Selain itu, memiliki kemampuan men­gaktualisasikan diri di tengah-tengah ke­hidupan bermasyarakat, dikenal secara luas dan diakui lingkungan habitatnya secara nasional dan global serta memiliki perilaku dan karakter yang bisa diteladani juga men­jadi syarat yang mesti dipenuhi.
Selain syarat-syarat di atas, ada pula syarat-syarat khusus yang juga menjadi to­lak ukur, yaitu telah mengabdi minimal 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tamat pen­didikan S1 (Strata Satu) dan disiplin dalam melaksankan tugas-tugas pembelajaran, pembimbingan mahasiswa dan pembinaan dosen.
Kesesuaian antara kegiatan penelitian dan bidang ilmu yang ditekuni juga diang­gap sesuatu yang penting. Dalam kegiatan penelitian, keaktifan dalam menghasilkan karya ilmiah dan keaktifan dalam kegiatan seminar sebagai pemateri /pemakalah juga menjadi penilaian yang menetukan.
Setelah semua persyaratan terpenuhi, calon Guru Besar tersebut kemudian akan melalui beberapa tahap pemeriksaan. Ta­hap pemeriksaan pertama dilakuan pada Jurusan/Bagian yang memeriksa keabsahan pengusulan menjadi Guru Besar, kemudian dilanjutkan ke tahap pemeriksaan pada tingkat Fakuktas oleh Tim Angka Kredit dan Majelis Guru Besar Fakultas untuk mengevaluasi. Berkas kemudian dikirim ke universitas untuk ditindaklanjuti.
Tahap pemeriksaan di tingkat univer­sitas dilakukan oleh Tim Teknis Evaluasi Satuan Kredit dan Tim Teknis Guru Besar. Apabila Tim Teknis Guru Besar memberi­kan persetujuan, usulan tersebut direko­mendasikan kepada Rektor untuk dilanjut­kan kepada Menteri. Pengusulan kepada Menteri dilakukan oleh Rektor dengan me­mertimbangkan rekomendasi Tim Teknis Guru Besar. Setelah Surat Keputusan (SK) datang, maka pengukuhan segera dilaksan­akan. Prosesi pengukuhan ini dilakukan di Universitas Hasanuddin.
Tepatlah jika dikatakan “tak semudah membalikkan telapak tangan”. Untuk men­dapatkan predikat “maha guru” memang dibutuhkan perjuangan yang panjang. Na­mun sedemikian rumitnya perjalanan yang harus ditempuh untuk menjadi Guru Besar, tidaklah jua menjadi penghambat. Ini ter­bukti dengan jumlah Guru Besar yang men­ghuni Kampus Merah Tamalanrea yang terbilang tidak sedikit jumlahnya. Dari data yang berhasil dihimpun, sampai saat ini, tercatat ada 34 nama Guru Besar di Fakultas Hukum Unhas.
Jumlah ini menempatkan Fakultas Hu­kum menjadi salah satu Fakultas di Unhas yang paling banyak Guru Besarnya. Fakta ini tak pelak menimbulkan tanya, apakah mekanisme pengangkatan seorang guru be­sar telah diterapkan secara ketat?
Ditanya mengenai hal tersebut, Prof. Marlang mengungkapkan bahwa penye­lenggaraannya sudah sesuai aturan yang ditetapkan “Mekanismenya sudah di­jalankan dengan semestinya. Persyaratan dari Dirjen, turun ke Unhas kemudian ke Fakultas. Yang menjadi penilaian adalah semua ketentuan yang telah ditentukan oleh Dirjen, ditambah dengan persyaratan yang ditentukan oleh Unhas sendiri,” ung­kapnya.
Untuk menyandang gelar Guru Besar, diperlukan usaha besar. Tugas yang diem­ban pun besar. Keringat yang bercucuran setelah melalui lika-liku panjang untuk menempati jabatan fungsional tertinggi di lingkungan satuan pendidikan tinggi, ter­bayarkan oleh gaji dan tunjangan yang be­sar pula.
Selain gaji pokok, seorang Guru Besar akan diberikan tunjangan sertifikasi, tun­jangan profesi serta tunjangan kehorma­tan, ini ditegaskan dalam Pasal 72 ayat (4) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Batas usia pensiun Dosen yang men­duduki jabatan akademik profesor ditetap­kan 70 (tujuh puluh) tahun dan Pemerintah memberikan tunjangan profesi serta tun­jangan kehormatan.
“Tunjangan kehormatan dan tunjangan sertifikasi besarannya tergantung dari gaji pokok Guru Besar. Besaran tunjangan ke­hormatan adalah dua kali gaji pokok se­dangkan tunjangan sertifikasi satu kali gaji pokok Guru Besar” tutur prof. Marlang.
Jika gaji pokok Guru Besar 4,5 juta ru­piah, maka tunjangan kehormatannya 9 juta dan ditambah tunjangan sertifikasi 4,5 juta, maka penghasilan guru besar sedikitnya berkisar 18 juta rupiah per bulan. Angka ini hanya akumulasi dari gaji pokok, tun­jangan kehormatan, dan tunjangan serti­fikasi. Sungguh merupakan angin segar bagi dosen yang telah menduduki jenjang fungsional Guru Besar. Prof. Marlang me­nambahkan bahwa penghasilan guru besar itu relatif, “jika gaji pokoknya besar, maka tunjangnya juga besar.”
Merupakan hal yang wajar ketika gelar Guru Besar melekat dengan segala keistime­waannya. Karena sederet kewajiban menan­ti manakala gelar Guru Besar tersebut telah tertera di depan nama. Kemampuan, ilmu dan pengetahuannya harus teraplikasi se­cara tepat sasaran di beragam bidang yang ada. Guru Besar diharapkan dapat men­ingkatkan kualitas manusia, dituntut un­tuk mengabdikan diri kepada masyarakat sesuai dengan Tridarma Perguruan Tinggi. Sudahkah Guru Besar kita di Fakultas Hukum Unhas menjadi panglima dalam Tridarma Perguruan Tinggi?, Semoga! Ten­tu kita berharap ada kontribusi besar dari seorang Guru Besar.

Related posts: