web analytics
header

Indonesia dan Pendidikan

Oleh: 
Andi Surya Nusantara Djabba
(Mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Angkatan 2010)

       Berangkat dari menyadari ke-ada-an (Eksistensial-Ada) kemudian melihat sekitar dan memahami, predikat dan perenungan hadir sebagai pengetahuan (Esensi-Apa), kata Aristoteles, sebelum kita mengetahui bahwa apel itu bulat, manis, merah dan seterusnya (Esensi), maka pertama-tama kita harus menyadari bahwa apel itu ada (Eksistensi). Subjek, predikat dan objek. Pernah terbersit dibenak saya, saya membayangkan semesta tanpa objek, semesta tanpa predikat, segalanya adalah subjek yang murni, maka tendensi akan sirna, perbedaan mustahil ada, hanya ada kemurnian dan ketulusan, saya memimpikan itu, namun ini adalah gagasan yang naif, pemikiran itu hanya sekedar penghiburan diri dari kompleksnya pluralitas semesta ini. Keniscayaan subjek dan objek yang heterogen melahirkan pluralitas predikat, pada tataran masyarakat (aksiologis) sekelompok orang ataupun individu kemudian melahirkan diskursus dari predikat-predikat tertentu dan pada akhirnya diskursus membatu menjadi ideologi yang beragam. Di Jerman, tepatnya di Institusi Sosial Frankfurt berkembang sebuah pahaman yang menolak sikap kritis yang membatu menjadi ideologi, baginya pengetahuan merupakan kecurigaan terus menerus. 
Di awal tadi, saya sedikit mengurai hal yang berbau ontologis : eksistensi dan esensi, general dan partikular, umum dan khusus. Sebetulnya hal itu dimaksudkan untuk meneropong, menjelaskan dan mendudukkan konteks keberadaan Indonesia sebagai negara (eksistensial) yang terbangun dari kepluralan suku, adat, ras, golongan dan agama (esensi). Kemudian pada saat membayangkan mengenai semesta adalah subjek yang satu dan murni, sebenarnya saya mengharapkan kompleksnya kepluralan yang ada pada Indonesia dapat harmonis dalam berkehidupan, tumbuh dan berkembang secara sinergis kemudian penuh toleransi dalam menimbang keniscayaan perbedaan di dalamnya. Namun sayangnya, untuk sementara hal itu masih jauh dari harapan.
       Sebuah pernyataan hipotesa mengenai penilaian sikap kepluralan di Indonesia (“…untuk sementara hal itu masih jauh dari harapan”) untuk sementara akan dianggap sampah bagi kalangan ilmiah, pernyataan tersebut harus merujuk pada metodologi tertentu yang telah disepakati dalam menimbang sebuah keabsahan pernyataan, penalaran sistematis dan pengajuan data-data empiris yang diobservasi secara ketat (Empirisme-Positivisme) adalah sesuatu hal yang dapat memberikan nilai penting bagi pernyataan saya di kalangan ilmiah, sungguh kering keilmiahan ini. Positivisme telah mendominasi wacana ilmu pengetahuan dewasa ini, kekayaan batin telah tereduksi kedalam karakteristik : bebas nilai, semesta yang teramati dan mekanistik-determinis.

Indonesia dan Keberagamannya Menggunakan Kaca Mata Positivisme
                                                                                    
       Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, jumlah penduduk Indonesia sekitar 238.315.176 juta jiwa, luas wilayah Indonesia terdiri dari 70 persen laut dan 30 persen daratan, wilayah darat di Indonesia yang terpisahkan oleh laut kurang lebih sebanyak 17.500 pulau. Dengan jumlah penduduk yang besar serta banyaknya pulau yang memisahakan penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya, maka hal tersebut melahirkan pola interaksi yang beragam dan berbeda di tiap pulaunya, pola interaksi yang beragam kemudian melahirkan suku, adat dan kebiasaan yang melimpah dalam tatanan sosial di Indonesia. Jika keberagaman di Indonesia dipandang dan berlaku sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang penuh dengan semangat toleransi, maka keberagaman sosial ini akan menjadi kekayaan budaya, namun berdasarkan data KEMDAGRI, jumlah konflik sosial di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 93 kasus, kemudian menurun pada tahun 2011 menjadi 77 kasus dan pada tahun 2012 menjadi 83 kasus hingga bulan Agustus.

Refleksi Metode Positivisme

       Setelah pemaparan data (data ini masih bisa dipertanyakan keabsaahannya) kemudian menerkaitkan sejumlah data, maka mungkin penilaian saya “…untuk sementara hal itu masih jauh dari harapan” telah sedikit bernilai ilmiah. Metode ini memang kering dari kekayaan batin, namun setidaknya ia telah mampu memberikan sedikit gambaran bahwa pluralitas di Indonesia sedang bermasalah. Metode positivisme memberikan kita sebuah gambaran yang skeleton.              Ilustrasi/sprintal-sprintul-ita.blogspot.com
Dominasi positivisme membuat pendidikan (berpengetahuan) kini menjadi gersang dan hanya memberikan panorama pengetahuan yang skeleton (rangka ; tidak menyeluruh). Dalam esay ini akan ditawarkan metode dan karakteristik teori kritis pada pendidikan, sekaligus penerapan analisis metode dalam melihat Indonesia yang Bhineka.

     Tingkat pengalaman dan perenungan dalam penggunaan suatu metode tertentu dapat menghasilkan sebuah kompetensi tertentu. Secara sadar saya mengakui bahwa kompetensi saya dalam menggunakan metode positivisme masih minim, namun perlu digaris bawahi bahwa struktur umum dari sebuah metode akan menghasilkan sesuatu yang tak lepas jauh dari struktur umumnya, semisal menetapkan struktur umum yang digunakan adalah instrumen positivisme dengan kriteria keabsahan keilmuannya : objektif, fenomenologis, reduksionis dan mekanistis (metode ini mengenyampingkan hal yang metafisik) maka hasil dari penelitian tersebut akan bersifat parsial dalam memberikan gambarannya. Ilmuanpun akan menjadi sebuah robot bebas nilai yang akan menciptakan apapun yang dapat diciptakannya, alhasil timbul persinggungan antara moralitas dan teknologi : kloning, teknologi militer, perubahan bentuk fisik manusia, euthanasia dll. Persinggungan antara positivisme dan moralitas : cenderung mengenyampingkan ikhtikad baik dalam suatu usaha dan menggantinya lewat jalur prosedural. Menurut Immanuel Kant etika tertinggi adalah ketika kita berbuat baik namun tanpa tendensi apapun.


Indonesia dan Keberagamannya Menggunakan Kaca Mata Teori Kritis

       Di bagian awal tadi, saya sempat menyinggung sebuah mashab yang menolak sikap kritis yang kemudian membatu menjadi ideologi. Mengsangsikan terus menerus adalah teori kritis atau biasa juga disebut dengan mashab Frankfurt. Teori kritis bersifat membebaskan dari keterbelengguan, teori yang emansipatoris menurut mereka harus memenuhi tiga syarat : 1) curiga terhadap zaman, 2) berpikir kesejarahan dan 3) tidak melepaskan fakta dari nilai hanya untuk mendapatkan hasil yang objektif.
Mari kita mulai dengan syarat pertama (curiga terhadap zaman) dalam melihat keberagaman di Indonesia kemudian mengkorelasikannya dengan kecurigaan saya terhadap sikap pluralitas yang ada di Indonesia dalam menimbang perbedaan (“…untuk sementara hal itu masih jauh dari harapan”), timbullah pertanyaan dari keterkaitan tersebut, apa yang menyebabkan dan mengapa konflik antar warna yang ada di Indonesia masih cenderung sering terjadi? ketika kita cinta buta dan berlebihan terhadap hal tertentu, kita cenderung untuk melakukan mekanisme pertahanan dan penyerangan bagi unsur lain yang ingin masuk, inilah yang kemudian dinamakan fanatisme. Struktur, substansi dan kultur, ketiga hal tersebut mempunyai korelasi dengan setiap masyarakat, struktur berbicara mengenai institusi yang mengorganisir dan mengordinasi. Substansi berbicara perihal pedoman filosofis, asas maupun kearifan lokal dan kultur berhubungan dengan kebudayaan dan kebiasaan.
       Dalam konteks Keindonesiaan dan keberagaman elemen masyarakatnya, secara struktural masih banyak kasus fanatisme kelompok yang berujung pada memarjinalkan kaum minoritas yang kemudian belum ditanggani secara serius oleh pemerintah dan instansi-instansinya, dalam hal ini keseriusan pemerintah dalam memediasi segala perbedaan yang berujung konflik harus dipertanyakan. Berbicara mengenai substansi, Indonesia menjadikan pancasila sebagai landasan ideologinya, dalam pancasila termuat hal-hal yang tidak sedikitpun mencederai elemen-elemen yang beragam (mengakomodir semua kepentingan yang ada) namun kurangnya penghayatan dan sosialisasi perihal nilai luhur pancasila dibarengi dengan masuknya paham-paham lain dalam masyarakat, membuat kita kehilangan identitas mengenai perbedaan yang terangkum secara harmonis kemudian menjadi pedoman dan tujuan bersama yang ada dalam pancasila. Secara kultural, sikapchauvinis terhadap budaya tertentu mengakibatkan kurang terbukanya kita dalam melihat dan menilai perbedaan kebudayaan lain, secara prinsip kita memang membutuhkan kekhasan, namun alangkah bijaknya ketika kekhasan budaya dapat menyesuai dengan budaya lain tanpa menghilangkan hal-hal yang prinsip (Akulturasi). Syarat kedua, berpikir kesejarahan. Dalam berpikir kesejarahan, terkandung romantisme masa lalu sebagai kenangan untuk mengetahui asal muasal posisi dewasa ini atau dapat pula dikatakan sebagai perenungan proses-proses yang ditempuh dalam menuju capaian kekiniaan. Sebelum terbentuk negara yang bernama Indonesia, kita merupakan sekumpulan bangsa-bangsa yang mengalami kesamaan nasib, nasib sebagai objek yang terjajah unsur asing. 
       Kemudian seiring berjalannya waktu, pengetahuan datang sebagai cahaya yang menyadarkan bahwa segala bentuk penjajahan harus segera di hapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusian dan prikeadilan, bangsa-bangsa yang berbeda dan terjajah ini kemudian berpikir untuk mengkonsepsikan pergerakan kebersatuan untuk mengusir segala bentuk penjajahan dan pada akhirnya bangsa-bangsa yang beragam itu mengikatkan diri pada satu kesatuan yang di sebut Indonesia. Dalam konteks berpikir kesejarahan ternyata kita pernah bekerja sama dalam suatu kerangka tujuan walaupun tingkat perbedaan itu besar, pengenyampingan ego sektoral dan menggantinya dengan ego universal (sebagai bangsa-bangsa yang senasib) adalah kata kunci harmonisnya perbedaan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah : apakah harmonisnya perbedaan dahulu kala hanya tinggal kenangan? Ataukah kita akan mencari sebuah cara agar dapat kembali merasakan romantisme keharmonisan itu? Inilah kegunaan dari berpikir kesejarahan, ia menjadikan masa lalu sebagai bahan perenungan untuk evaluasi kekinian kemudian berpikir mengenai langkah selanjutnya yang dapat diambil untuk menyelesaikan permasalahan. Syarat ketiga, positivisme membangun dikotomi antara fakta dan nilai demi klaim objektifitasnya, kemudian menjadikan fakta yang diukur secara ketat sebagai sumber ilmu pengetahuan. Berbeda dengan positivisme, syarat ketiga dari teori kritis adalah tidak melepaskan ilmiah dari nilai (tidak memisahkan teori dan praktis, tidak melepaskan fakta dari nilai) demi sebuah objektifitas. Terkait dengan Indonesia dan keberagamannya, positivisme akan mendudukkan permasalahan tersebut dari segi fakta yang terukur ketat lewat kriteria-kriteria : bebas nilai, fenomenologis, reduksionis dan mekanis, pada saat kriteria-kriteria tersebut sudah menjadi metode yang menghasilkan data, maka keabsahan keilmuanya sudah dapat dikatakan ilmiah dan kevalidan data hanya dapat digeser oleh data lain yang lebih lengkap dan lebih ketat dalam mencapainya. Sementara syarat ketiga dari teori kritis, akan melihat Indonesia dan keberagamannya sebagai wacana ilmiah yang dinamis dan akan segera dicari solusi tentatif atas permasalahan sikap keberagamannya tersebut, pengajuan teori tentatif tersebut akan terus menyempurna dan digantikan teori tentatif lain (Konstruksi) selama permasalahan tersebut belum terpecahkan.

Refleksi Metode Teori Kritis

       Penggunaan metode kritis telah memberikan karakteristik pernyataan (“…untuk sementara ini masih jauh dari harapan”) menjadi lebih progresif, kreatif, inovatif dan kontempatif dalam konstruksi masalah Indonesia dan keberagamannya. Jika positivisme cenderung bersifat informatif dan afirmatif maka teori kritis bersifat emansipatoris dalam memberikan pandangan kepada manusia. Kehidupan ini lebih dari sekedar data-data kaku, kehidupan ini selalu berhubungan dengan nilai dan fakta yang menjadikannya dinamis, dan dalam mencari kesejatian, maka kita semestinya terus mengobjektifikasi segala masalah yang masih melekat di kehidupan kita, kemudian membenahinya.

Tawaran Metode Pendidikan

       Martin Heidegger pernah mengatakan bahwa, “universitas hanya memproduksi pengajar bukan peneliti”. Wacana pendidikan kini didominasi oleh metode positivisme, metode ini kemudian hanya sekedar memberikan panorama pengetahuan yang skeleton bagi peserta didik, peserta didik cenderung menjadi pengguna informasi yang telah tertetapkan secara absah ataupun hanya sekedar cenderung mengkorelasikan data-data yang ada untuk keilmiahan, hal ini membuat peserta didik di antar ke pada paradigma prosedural dalam menyelesaikan masalah. Metode positivisme memang memberikan kita sebuah gambaran namun gambaran itu hanya skeleton, klaim kebenaran ilmiah dari suatu hal yang masih berproses tak jarang menimbulkan masalah. Berbeda dengan teori kritis, jiwanya adalah emansipatoris, ia memberikan sebuah hal yang kreatif dan inofatif dari segi mempertanyakan terus menerus, daya kontemplatif dari segi berpikir kesejarahanya dan progresif serta konstruktif dalam menyelesaikan sesuatu. Saya sangat mengharapkan karakteristik metode teori kritis dapat terserap dalam kurikulum pendidikan, agar universitas dapat melahirkan peneliti yang kreatif, kontemplatif dan progresif, bukan hanya sekedar penyampai dan pengguna ilmu.

Related posts: