web analytics
header

“Kekeliruan”

Oleh : 
Sholihin Bone
(Mahasiswa PPs, Bagian Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Unhas)

Hati saya terketuk dan sedikit geli, ketika menyaksikan sebuah acara disalah satu stasiun TV swasta Tanah Air. Acara televisi yang menayangkan dan membedah tentang perilaku anak bangsa yang senantiasa melakukan kekeliruan dalam setiap perilaku sehari-harinya. Saya menyaksikan bahasan menarik tentang kelirumologi yang diulas oleh Jaya Suprana, seorang budayawan, pemerhati sosial, penulis dan juga pakar kelirumologi. Ulasan kelirumologi yang dijelaskan oleh Bapak Jaya Suprana menggugah rasa kemanusiaan saya ketika menonton acara tersebut, penjelasannya sangat apik juga humoris.
Bapak Jaya Suprana membedah dan mengomentari tentang macam-macam kekeliruan yang dilakukan oleh masyarakat Indoensia, seperti gandrungnya masyarakat melanggar lalu lintas, mencuci dan berjualan didekat rel-rel kereta api, merokok pada tempat yang didalamnya atau disekitarnya terpajang larangan merokok (No Smoking), membuang sampah pada tempat yang juga telah terpajang larangan unutuk tidak membuang sampah pada lokasi tersebut dan kekeliruan-kekeliruan lain yang tidak mungkin saya ulas semua dalam tulisan yang sederhana ini. Pendeknya, sepaham atau tidak sepaham, berdasarkan pada fakta lapangan, kecenderungan manusia Indoensia “doyan” melakukan kekeliruan.
Dalam pemikiran sederhana saya, masyarakat tanah air telah lama tenggelam dalam kebiasaan buruk yang sangat sulit dihentikan, kebiasaan yang telah mengakar dalam pola hidup masyarakat tanah air, kebiasaan yang terus ditiru oleh generasi-generasi baru, yang lambat laun menjadi hal wajar dan biasa-biasa saja. Setuju atau tidak, kecenderungan anak bangsa telah terjebak dalam perilku buruk. Muaranya, terjadi ketidak harmonisan dalam tatanan bermasyarakat dan berbangsa.

Terkikis
                                                                                                                           Ilustrasi/google.com
Pengendara sepeda motor yang dengan sengaja memakai jalur  mobil.
Krisis kesadaran serta krisis keresahan melanda perilaku anak negeri, kesadaran terus terkikis oleh perilaku yang dilakoni secara terus menerus. Kehilangan rasa bersalah dalam melakukan berbagai hal. Fenomena dari terkikisnya kesadaran dan keresahan lambat laun mempunyai dampak yang begitu besar terhadap keberlangsungan hidup masyarakat. Contoh kecil yang dapat saya ulas adalah gandrungnya sebagian masyarakat tanah air membuang sampah secara sembarangan atau tidak pada tempatnya. Atau tidak menaati aturan rambu-rambu lintas.
Parahnya, kekeliruan-kekeliruan yang telah mengakar tidak saja dilakukan oleh rakyat kecil saja, kekeliruan dalam skala besar juga dipentaskan oleh sebagian elit atau pemangku jabatan di negeri ini. Kekeliruan pemangku jabatan terletak pada ketidak becusan mereka menjalankan amanah atau kuasa mengelola tanah pertiwi ini. Pemangku jabatan yang minus kesadaran dan tanggung jawab dalam  mengabdi, berkhidmat dan melayani hajat hidup rakyat. 
Lakon korup, mafia, pungli, mandek serta kekauan birokrasi, ekonomi yang hanya berada pada pusaran angka-angka dan prediksi-prediksi semu, kesenjangan yang menganga antara kaya dan miskin, penegakan hukum yang masih merangkak dan belum menciptakan sukma keadilan, oknum hakim yang terbukti mengonsumsi narkoba, calon hakim agung yang ceplos mementaskan bahasa yang dianggap tidak patut pada uji kelayakan calon hakim agung di Senayan Jakarta beberapa waktu lampau. Memperlihatkan banyak sekali kekeliruan yang telah terjadi di Negara ini.
Kekeliruan besar lainnya adalah, sebagian dari mereka mempunyai sifat tamak dan serakah, kekayaan negara yang bersumber dari pajak rakyat dimasukkan kedalam pundi-pundi atau kantong-kantong sebagian dari elit, bermain dalam lingkar  kuasa Badan Anggaran (banggar). tengoklah beberapa tersangka yang telah menjalani proses sidang pada pengadilan tindak pidana korupsi. Mereka adalah manusia-manusia yang duduk pada Badan Angaran DPR-RI. Selain dari wakil rakyat, sifat serakah juga dipentaskan oleh salah satu petinggi Kepolisian yang sebagian hartanya telah disita oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
 kenegarawanan para elit tidak lagi terdengar sebagai patriot dalam memperbaiki keruwetan republik. Inilah wajah republik yang dipenuhi oleh kekeliruan-kekeliruan, baik dari kekeliruan kecil sampai kepada kekeliruan besar. Apapun besar kecilnya, kekeliruan adalah kekeliruan yang harus diterapi segera agar benang kusut republik dapat terurai sebagaimana amanah dari pembukaan Undang_Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dasar negara  yaitu pancasila.
Kekeliruan lain adalah, belum maksimalnya penegakan hukum di Tanah Air, hukum belum menemukan taringnya dalam menggelar tikar keadilan. Sejatinya, mengakui hukum sebagai miniatur agung dalam menata Negara yang berkeadilan mensyaratkan penghargaan dan penegakan hukum secara konsekuen. Hukum akan bertaring jika para penegaknya mampu menjadi garda dalam mengawal supremasi hukum.
Sebagian dari aparatur hukum telah keliru memposisikan dirinya sebagai penegak hukum, asyik dalam kubangan kekeliruan besar yang telah mereduksi amanat dari Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pesan yang mewajibkan anak bangsa untuk memposisikan hukum sebagai bagian penting dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengadilan sebagai wadah manusia mencari keadilan, ternyata belum mampu menghadirkan sukma keadilan, sering terjadi bentrok atau perkelahian di ruang pengadilan akibat ketidak puasan warga pencari keadilan terhadap putusan hakim yang belum mampu memberikan keadilan kepada pihak-pihak yang membawa sengketa pada ranah pengadilan. Akumulasi kekecawaan publik terhadap pengadilan membuncah karena pengadilan belum maksimal menumbuhkembangkan nilai keadilan.
Partai politikpun tidak alpa menyumbang kekeliruan dalam alur politik di Tanah Air, perpolitikan di Tanah Air kehilangan nilai dan etika, politik santun kehilangan “ruh”. Saling siku dan saling serang dalam internal partai dan saling serang dengan partai-partai lain. Tidak hanya itu, partai poltik belum mampu melahirkan kader militant dan berkualitas dalam menghimpun aspirasi rakyat, bukannya menghimpun aspirasi, kader partai sibuk melakukan korup, suap dan perbuatan menyimpang lainnya.
Partai politik kehilangan pamor dan wibawa dimata rakyat, akibat lalai dalam memberikan keteladanan politik  yang baik kepada publik. Partai politik hanya sibuk melakukan konsolidasi internal mencari simpati rakyat hanya untuk perhelatan politik lima tahunan. Melupakan tanggung jawabnya sebagai abdi sebagai pelayan bagi kemaslahatan publik. Fungsi dan tangung jawab partai politik tidak berjalan maksimal sebagai tempat aspirasi dan pendidikan politik yang baik.
Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, partai terjebak dalam lumpur kekuasaan, hanya mampu mempertontonkan bahasa serta apologetika semu yang mengatas namakan rakyat. Dilain sisi, mereka belum mampu menyajikan kerja-kerja maskimal, ideologi atau landasan perjuangan parpol menjadi absurd, tidak menggema ditelan  oleh kuasa pada  lembaga legislatif.
Mendekati perhelatan politik lima tahunan pada tahun 2014, saatnya partai politik berbenah, mempersiapkan strategi dan program-program rasional utuk mengembalikan wibawa dan mendapat kepercayaan dari publik. Partai politik juga harus mempersiapkan kader-kader bersih dan berkualitas, kader yang telah ditempa oleh berbagai pengalaman dan mampu memegang ideologi partai dalam kerangka memperjuagkan aspirasi rakyat. Bukan kader sempalan yang instan yang memilki sensifitas sosial yang kurang terhadap penderitaan dan keluh kesah dari rakyat Indonesia. Dengan itu, public akan kembali mempercayai kinerja partai politik.
Baik kekeliruan yang dilakukan oleh rakyat kecil sampai kekeliruan yang dilakoni oleh pemangku jabatan telah melumpuhkan perjalanan republik kearah yang lebih baik dan berkualitas. Akibat kekeliruan yang telah mendarah daging, republik ini terjerembab pada lumpur keterpurukan pada semua sector. Akumulasi dari kekeliruan melahirkan keresahan kita semua tentang nasib republik yang kita sayang dan cintai ini.

Melepas  Kekeliruan

Menyadari secara sungguh-sungguh akan kekeliruan yang telah lama terpentas dalam relasi sosial dan kebangsaan, sudah selayaknya anak bangsa bangkit dari keterpurukan, melakukan pembenahan-pembenahan pada segala bidang kehidupan. Baik ekonomi, sosial, politik dan yang terpenting adalah penegakan hukum. Dalam hemat saya, inti dari semua masalah dan kekeliruan yang terjadi di Tanah Pertiwi ini adalah penegakan hukum yang masih lemah.                                                                         Ilustrasi/google.com
Republik ini akan berwibawa jika penegakan hukum dijalankan secara serius dan bertanggung jawab. Penegakan hukum yang mampu memberikan rasa nyaman kepada publik Tanah Air. Tentunya, hal tersebut terletak pada pundak aparatur hukum. Sadar atau tidak lemahnya penegakan hukum telah membawa mala petaka besar di republik ini.
Penegakan hukum tidak akan berfungsi baik, jika tidak didukung dengan  kesadaran dari seluruh anak bangsa. Kesadaran untuk tidak lagi berbuat kekeliruan, kesadaran yang tertanam pada relung hati rakyat dan pemangku jabatannya. Tegakah kita memenuhi ruang republik dengan aneka kekeliruan, merugikan republik dengan perbuatan-perbuatan keliru, membenahi keruwetan republik dengan kesungguhan dan kesetiaan bahwa dalam pundak anak bangsa melekat tanggung jawab untuk menjadikan republik menjadi Negara yang berwibawa dan berkeadilan.
Pada titik akhir, rakyat dan pemangku jabatan di republik ini, mesti bersinergi untuk menata ulang republik tercinta ini, bagi pemangku jabatan mesti menumbuhkan jiwa kenegarawanan, membusungkan dada dan memikirkan kemaslahatan publik, republik membutuhkan pemangku jabatan yang berani dan tegas, berdiri dan melayani hajat hidup rakyat. Sementara rakyat mendukung dengan potensi yang mereka miliki masing-masing bagi kemajuan republik Indonesia. Muaranya adalah, kita mesti melepaskan kekeliruan yang selama ini mengakar dalam kehidupan di Tanah Air, selamat tinggal kekeliruan.

Related posts: