web analytics
header

Lemah SDM, Wilayah Indonesia Timur Tertinggal


Makassar, Eksepsi Online-Kemajuan yang timpang antara Wilayah Indonesia Timur (WIT) dengan Wilayah Indonesia Barat (WIB) menjadi pembahasan dalam diskusi publik yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Administrasi (Humanis) Fisip Unhas di Baruga A.P. Pettarani Unhas, Selasa (7/5). Dengan mengangkat tema Membangun Indonesia dari Timur, para narasumber dan peserta membincangkan masalah tersebut dan mencoba mendapatkan solusi. “Kami harap melalui diskusi ini, tercipta pembangunan secara kolektif di Indonesia,” ungkap Andi Azhar Mustafa, Ketua Umum Humanis Fisip Unhas.
Luthfi Andi Mutty, Staff Khusus Wakil Presiden Bidang Pengentasan Kemiskinan dan Otonomi Daerah (Otoda), mengakui sistem Otoda yang dimulai pada masa reformasi tahun 1999 belum maksimal dalam menciptakan pembangunan yang merata. Tujuan Otoda untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat dan meningkatkan daya saing daerah belum tercapai. Dalam pemaparannya, ia menyatakan bahwa tingkat kemiskinan nasional sebesar 12,3%. Dari sepuluh provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi, tujuh berada di WIT dan tiga di WIB. Papua menempati posisi tertinggi dengan angka kemiskinan yaitu 35%, sedangkan Sulawesi Selatan aman dengan angka kemiskinan di bawah rata-rata nasional, yaitu 10%.  “Pemerintah telah memberikan Otonomi Khusus untuk Papua, namun kurang maksimal karena integritas Pemerintah Daerah Papua rendah,” ungkapnya.
Senada dengan hal tersebut, Budayawan Ishak Ngeljaratan memandang nilai-nilai lempu’ (jujur) dan pace (malu) yang mulai luntur menjadi salah satu penyebab tertinggalnya masyarakat di WIB, karena sulit menemukan pemimpin yang amanah. Pembangunan yang ada sekarang hanya fokus pada pembangunan fisik, tanpa memperhatikan pembangunan mental masyarakat sesuai budaya bangsa. “Seharusnya sumber daya manusia dimatangkan sebelum mengelola sumber daya alam,” ungkapnya.
Sependapat dengan Ishak, Prof. Dr. Deddy T. Tikson, Ph.D menyatakan sistem pembangunan sekarang hanya fokus pada pembangunan ekonomi, tanpa dibarengi dengan pendidikan kultur yang baik. “Sekarang, pembangunan hanya aspek material, tanpa pembangunan aspek emosional dan spiritual berdasarkan pancasila,” ungkap Prof. Deddy, Guru Besar Fisip Unhas
Labih lanjut, salah satu konsep pembangunan yang dikritisi adalah pemberian fasilitas dan layanan gratis yang bersifat sesaat kepada masyarakat. Kebijakan tersebut akan melemahkan daya bangun masyarakat dan meningkatkan beban anggaran negara, bahkan mengancam ketahanan nasional. Ditakutkan jika berujung pada keruntuhan negara seperti pecahnya negara sosialis-komunis yang pernah ada. Meskipun pemerintah telah merancang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I), namun program tersebut tidak difokuskan untuk mendukung pemberdayaan masyarakat. “Sampai sekarang, 46.000 Usaha Kecil Menegah (UKM) belum mampu diberdayakan secara maksimal oleh pemerintah,” tambah Ishak.
Demi menciptakan negara yang mapan secara ekonomi, pemerintah harus menstimulus agar muncul pengusaha baru dan memfasilitasinya. Sampai saai ini, Indonesia belum mencapai angka minimal 2% dari jumlah penduduk sebagai pengusaha sebagaimana negara maju. “Entrepreneurship harus digalakkan untuk membangun perekonomian nasional,” ungkap Yudi Arsono, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sulawesi Selatan. (RTW)

Related posts: