web analytics
header

Hukum Progresif Sebagai Rule Breaking Kebuntuan Ritual-Ritual Legalitas Formal

Oleh: Andi Surya Nusantara Djabba
(Pengurus BEM Fakultas Hukum Unhas Periode 2012-2013)
Sekelumit Permasalahan
Mari sejenak kita berkontemplasi terhadap fenomena peradilan di negeri ini dalam melakukan serangkaian penerapan hukumnya, terhadap wong cilik : (1) AAL (15 tahun) terdakwa pencurian sandal, hakim menjatuhkan tindakan pengembalian kepada orang tuanya, kemudian saya bertanya, mengapa kasus ini bersusah-susah di selesaikan di pengadilan? Apakah Indonesia tidak mengenal jalur penyelesaian permasalahan lain?; (2) kasus pencemaran nama baik dokter dan RS Omni International oleh Prita Mulyasari (ditahan 3 Mei 2009-3 Juni 2009, Tangerang); (3) kasus pencurian satu buah semangka (Kediri), Cholil dan Basar Suyanto dipidana 15 hari percobaan 1 bulan; (4) kasus pencurian kapuk randu seharga Rp 12.000 (4 anggota keluarga (Manisih, 2 anaknya dan sepupunya ditahan di LP Rowobelang Batang); (5) kasus Pak Klijo Sumarto (76 tahun) tersangka pencurian setandan pisang kluthuk mentah seharga Rp 2000 di Sleman:7 Desember 2009 (mendekam di LP Cebongan Sleman), (6) kasus Mbok Minah (dituduh mencuri 3 biji kakao seharga Rp 2.100: 2 Agustus 2009 di Purwokerto, dihukum pidana percobaan 1 bulan 15 hari); (7) kasus Lanjar yang kehilangan nyawa isterinya karena kecelakaan bersama, namun dia didakwa menghilangkan nyawa orang lain karena kelalaiannya dan harus mendekam dipenjara di Karanganyar; dan (8) kasus yang melibatkan orang berpunya misalnya kasus Bank Century dan Wisma Atlet yang masih ‘terombang-ambing di gurun ketidak jelasan’ telah memberikan sebuah sinyal bahwa hukum hanya dipahami sebatas kerangka legal formalistik yang teralienasi dengan masyarakatnya sehingga acap kali mengalami kebuntuan legalitas formalnya.
Fenomena peradilan dari wong cilik sampai orang berpunya sengaja saya paparkan di muka untuk menerangkan bahwa dewasa ini, masih banyak ketidakadilan muncul sebagai akibat dari cara kita berhukum yang masih terpenjara oleh ritual-ritual legalitas formal yang mengunggulkan cara kerja “discriminate, measure, categorize” dan pada akhirnya menghasilkan gambar hukum yang berkeping-keping. Gambar yang muncul dari metodologi seperti itu adalah kerangka, skeleton, bukan sosok hukum yang utuh[1], hal ini disebabkan oleh karena penegak hukum terpenjara oleh cara kerja penegakan hukum yang mengandalkan materi, kelembagaan serta prosedur yang kaku dan anti dengan inisiasi rule breaking.
Hukum Progresif dan Rule Breaking[2]
Hukum bukanlah suatu skema yang final (finite sheme) namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan [3]
Hukum progresif lahir akibat kekesalan terhadap penegak hukum yang berpandangan positivis, mereka hanya terpaku pada teks yang terdapat pada undang-undang tanpa menggali nilai-nilai keadilan secara mendalam yang ada dalam masyarakat. Alasan pembenaran kaum positivisme adalah Indonesia menganut paham civil law yang mengharuskan hakim menjadi corong undang-undang. Kemudian saya ingin mengajukan pertanyaan, hukum itu untuk manusia atau manusia untuk hukum? Alangkah menyedihkannya jika manusia yang harus mengabdi seperti mesin otomat pada hasil ciptaanya sendiri yang tidak juga menciptakan keadilan. Mengutip perkataan Satjipto Raharjo, “Kalau boleh diringkas, hukum progresif itu sesungguhnya sederhana, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.”[4]
Hukum progresif tidak serta merta harus meluluh lantahkan legalitas formal yang telah terjalani selama ini, namun hukum progresif sebagai semacam ‘pintu-pintu darurat’ semisal jalur ‘ritual’ legalitas formal tidak menemukan jalan keluar pemecahan masalah atau ketika dogma legalitas formal malah menimbulkan putusan yang kontroversi dalam kemanusiaan, ia menjadi rule breaking yang mungkin akan terdengar ‘garang’ namun sebenarnya telah memanusiakan hukum. Adapun mekanisme rule breaking telah dijelaskan oleh Satjipto Raharjo dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar, ada tiga cara untuk melakukanrule breaking, yaitu: (1) Mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum memberikan pesan penting bagi kita untuk berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara lama, menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan; (2) Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum. Masing-masing pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum didorong untuk selalu bertanya kepada hati nurani tentang makna hukum yang lebih dalam; (3) Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian dan keterlibatan (commpassion) kepada kelompok yang lemah[5].
Sebuah terobosan cara berhukum, diharapkan menghasilkan ketertiban yang berkeadilan substantif dengan menggali secara mendalam nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, mampu memecah permasalahan kemanusiaan yang dinamis secara kreatif inovatif dan rule breaking mampu memberikan penyesuaian-penyesuaian ataupun memberikan ‘jalur pintu darurat’ bagi legal formal yang tak mencerminkan rasa keadilan. Namun bisakah hukum progresif sebagai rule breaking di terima di tengah dominasi penegak hukum yang berciri positivistik?


[1] Satjipto Rahardjo, Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, Bacaan Untuk Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Tidak Diterbitkan, Oktober 2005.
[2] Rule Breaking : terobosan, ”pintu-pintu darurat” di mana hukum melakukan terobosan terhadap peraturan, doktrin, dan lain-lain yang dibuatnya sendiri.
[3] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, PT Kompas Media Nusantara, Agustus 2010. hlm. VII.
[4] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, PT Kompas Media Nusantara, Agustus 2010. hlm. 69.
[5] Yusriyadi, Paradigma Sosiologis dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Ilmu Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar FH UNDIP, Semarang, 18 Pebruari 2006, hlm 32-33.

Related posts: