web analytics
header

Tumbal Pesugihan Ibu

Oleh: Risna Rasyid
G
emericik air hujan membasahi atap gubuk bambu yang berluaskan 5×8 meter. Gemuruh angin bertiup menerbangkan setiap daun-daun yang gugur, hembusannya sesekali menimbulkan bunyi pada atap gubuk yang sudah tua. Malam itu aku duduk sendiri di sudut rumah entah apa yang terpikirkan saat itu.
Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Seorang anak dari buruh lepas bernama Harjo, dan pembantu rumah tangga bernama Sumi. Kini aku duduk di bangku kelas empat di SD 31 Damai Sentosa, Yogyakarta. Namaku Latsmi, tapi  entah dari mana orang di sekeliling sering memanggilku Mimi.
“Mimi, ke sini nak mendekat pada ayah,” panggil Ayah.
Akupun melangkahkan kaki dengan pelan menghampiri kursi tua dengan warna memudar yang diduduki oleh ayah.
 “Iya yah?” kataku dengan memandang kedua bola matanya.
“Mi, dirumah ini hanya ada kamu, ayah dan ibu. Abangmu Tino sudah berkeluarga dan memilih tinggal bersama istrinya di Bogor. Ayah hanya bisa usaha bengkel kecil-kecilan dan ibumu tukang cuci keliling yang upahnya tidak sebanyak sebelum abangmu ada disini. Jadi ayah berharap kamu mengerti kondisi keluarga kita,” ucap ayah panjang lebar sambil merangkul dan mengelus rambutku.
“Iya ayah, Mimi ngerti kok. Mimi juga akan berusaha membantu ayah di bengkel ataupun  membantu ibu menyelesaikan cucian tertangga,” kataku dengan sedikit sedih dan menunduk.
“Tidak nak, ayah harap kamu cukup belajar dengan sungguh-sungguh” pinta ayah.
Mendengar perkataan ayah, aku langsung memeluk tubuhnya, ayahpun memeluk tubuhku yang mungil.
“Iya Ayah mimi janji akan belajar dengan tekun.”
Tak berselang lama ibu pun datang dengan membawa cucian dari tetangga, melihat ibu kecapaian dengan nafas yang terengah aku pun menghampirinya, mengambil pakaian yang masih di tangannya.
“Ibu pasti capek, lebih baik ibu istirahat dulu biar Mimi membereskan pakaian ini,” ucapku sambil mengusap keringat di kening ibu.
Namun tak ada satu kata pun yang ibu tuturkan dari bibirnya. Hanya senyuman dan dekapan hangat yang kuterima darinya. Aku pun merasakan kesejukan disela-sela kesederhanaan ini.
Tak terasa detik berganti menit dan menitpun berganti jam, saat itu mnunjukkan pukul 22.00 WIB. Akupun tertidur di lantai beralaskan tikar. Hujan semakin deras, sesekali menetesi lantai yang lembab melalui celah atap yang memang sudah lapuk termakan usia.
Di kelelapan tidurku ayah dan ibu sepertinya membincangkan sesuatu, entah apa yang dibicarakan sehingga ayah bersuara tinggi.
“Ayah, sekarang kan yang bekerja hanya kita berdua, sekarang sudah tidak ada Tino yang biasanya lebih banyak membantu kita, klo kita diam begini ibu khawatir kehidupan kita akan terus terpuruk. Jadi ibu harap saran itu bisa ayah terima.” pinta ibu dengan suara parau seperti sedang menangis memohon.
“Tidak bu, aku tak akan melakukan hal sekeji itu. Apa kamu tau apa akibat dari perbuatanmu?” gertak ayah.
“Ibu tahu, tapi ibu sudah tidak tahan lagi diolok-olok tetangga, setiap hari kreditor datang dan menagih. Saya sudah muak hidup seperti ini. Jalan apa lagi yang akan ayah lakukan? Kalau ayah tidak setuju, ibu sendiri yang akan melakukannya” balas ibu juga dengan suara tinggi.
“Baiklah kalau itu yang ibu mau, tapi apakah tidak ada jalan lain?” ucap ayah dengan nada rendah sambil menenangkan Ibu.
“Tidak ayah ini jalan satu-satunya, besok pagi aku akan menemui tetangga yang mengetahui hal itu,” tutur ibu.
“Baiklah,” kata ayah pasrah menyetujui niat ibu. Ia tak mampu melihat ibu bersedih lagi.
Akhir pembicaraan itupun membuat kecemasan nyelimuti hati ayah. Ayah sebenarnya tak mau melakukan hal tersebut, namun di sisi lain dia tak mampu menentang kehendak ibu.
***
Keesokan harinya aku terbangun, saat itu menunjukkan pukul 06.00 WIB. Aku melihat ibu mengambil sesuatu di dapur kelihatannya ibu sangat gugup dan tergesa-gesa.
“Ibu mau kemana? Tidakkah sebaiknya ibu melakukan itu dengan pelan-pelan saja? Ibu nampak pucat, apa ibu baik-baik saja?” tanyaku polos.
“Ibu baik-baik saja sayang. Ibu hanya mau ke rumah tetangga, ada cucian yang harus diselesaikan. Ibu sudah siapkan makanan di dapur” kata ibu.
Ibupun mencium keningku dan segera bergegas kerumah tetangga, aku kembali merasakan kesejukan kasih sayang seorang ibu. Begitulah setiap harinya ibu belakangan ini, jujur saja aku sangat senang dengan sikap ibu itu.
***
Hari berganti minggu dan minggupun berganti bulan, tak terasa sudah 1 bulan  berlalu sejak kepergian abang, banyak perubahan pada keluarga kami. Entah kerja sampingan apa yang ayah dan ibu kini kerjakan sehingga perubahan ekonomi kami sangat drastis. Tak ada lagi bekas oli, baja, karet ban dan mesin tua milik ayah dulu, bengkel ayah telah ditutup.
Tepat pukul 21.30 ayah dan ibu keluar ke suatu tempat, begitulah setiap malamnya. Rasa penasaran semakin  menggebu-gebu dalam benakku, sampai suatu ketika kubulatkan tekadku untuk mengikuti mereka tanpa sepengetahuan mereka. Ternyata mereka bekerja tak jauh dari lokasi tempat tinggal kami namun ada yang aneh, sepertinya mereka menuju ke suatu tempat yang cukup mengerikan di tengah hutan. Hembusan angin malam, suara jangkrik, gelapnya malam, dan suara – suara yang aneh sepertinya timbul dari dedaunan yang lebat seakan berbisik semakin membuatku merinding, namun itu tak mengurungkan niatku tuk mengikuti mereka.
“Ayah dan ibu kok bisa ke tempat seseram ini ya?” pikirku.
Sekitar lima belas menit berjalan melalui banyak rintangan, akhirnya sampai juga. Aku pun melihat ayah dan ibu dari kejauhan, entah apa yang mereka lakukan aku tak mengerti. Mereka di tengah lingkaran api, tampak bukan hanya ayah dan ibu disana, tetapi juga seorang nenek tua berpakaian hitam dengan wajah yang seram memimpin mereka.
“Ritual?? Apa benar ayah dan ibu melakukan ritual?”
“Tapi mengapa mereka menyebut-nyebut namaku?” pikirku lagi.
Aku semakin penasaran, ingin rasanya aku menghampiri mereka tapi sesuatu yang aneh merasuki tubuhku, badanku gemetar, menggigil, kaku bak membeku. Sakit merasuki seluruh tubuh ini, aku pun memutuskan tuk kembali ke rumah. Rasa sakit pun menusuk badanku membuatku lemas dan tak berdaya. Saat – saat ini ingin rasanya aku berada di pelukan ibu.
Tak berselang lama sekitar dua puluh menit berlalu, ayah dan ibu pun tiba. Ingin rasanya kumenghampiri dan memeluk mereka, namun badanku sepertinya tak mampu bergerak, aku merasakan kelumpuhan, bernafas terengah-engah. Ayah segera mendekat dan memeluk tubuhku.
“Sayang apa yang terajadi denganmu?” tanya ayah dengan cemas.
“Dingin ayah, tiba-tiba badan Mimi sakit semua. Mimi sangat sayang ibu dan ayah,” ucapku tersendak-sendak.
“Iya sayang, kami juga sayang Mimi kok” ucap ibu sambil menangis memelukku.
Mendengar ucapan ibu perasaanku semakin tenang, kedamaian yang kurasakan saat itu, sakit yang kurasakan menghilang begitu saja, hanya kesejukan. Namun saat itu jugalah aku harus pergi.
“Terima kasih ibu, sampai jumpa disana, Mimi sayang kalian” pikirku
Aku pun menghembuskan nafas terakhir.

Related posts:

Aku dan Sayapku

Oleh: Anggya Nurayuni (Peserta Ko-Kurikuler Jurnalistik 2023) Di suatu pagi yang cerah, di atas rindangnya pepohonan hutan, seekor Merpati cantik

Rayuan Perempuan Gila

Oleh: Elmayanti (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Aku mengatur napas, mencoba terlihat biasa saja. “Ini sudah sampai mana?” tanyaku pada Kirtan,

Misteri Ayam Geprek Pak Jamal

Oleh: Muh. Abi Dzarr Al Ghiffariy (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Alkisah, terdapat sebuah toko ayam geprek legendaris yang selalu ramai