web analytics
header

Mengenang Ahyar Anwar: Melukis Keabadian dengan Literasi

Oleh: M. N. Faisal R. Lahay

Suasana malam Makassar kala itu ramai. Dipenuhi dengan lalu lalang kendaraan yang melintas di ruas Jalan Ahmad Yani. Kelap-kelip lampu yang menghiasi Kantor Balaikota Makassar tampak indah di malam hari. Senin, (2/9) sekitar pukul delapan malam. Penulis menyusuri Jalan Ratulangi, Jalan Rajawali, hingga Jalan Ahmad Yani. Sempat numpang bertanya pada seorang tukang becak, akhirnya penulis berhasil menemukan lokasi Gedung Kesenian Societeit de Harmonie.
Ahyar Anwar, sastrawan asal Sulawesi Selatan yang tujuh hari keberpulangannya diperingati di gedung tersebut. Diawali inisiatif dari komunitas literasi dan para sahabat almarhum, akhirnya acara “Mengenang Ahyar Anwar” dapat terwujud. Sembari memarkir motor di tempat yang telah disediakan, penulis memperhatikan tetamu yang hadir dalam acara tersebut. Tua, muda, laki-laki, perempuan terlihat turut meramaikan acara. Beberapa mahasiswa yang mengenakan Pakaian Dinas Harian (PDH) organisasinya masing-masing pun tidak ketinggalan untuk datang. 

Berkonsepkan lesehan dan penerangan hanya dengan cahaya lilin, acara tersebut berlangsung dengan khidmat dan sederhana. Beberapa saat sebelum acara dimulai, penulis menyempatkan diri berkeliling melihat-lihat pameran karya sastra sang mendiang telebih dahulu. Beberapa karya literasi terbaiknya yang sempat termuat di koran Tempo berjejer dipamerkan. Di antaranya berjudul Matinya Politikus, Waktu yang Tak Mengalir (1), Waktu yang Tak Mengalir (2), Merayakan Kehancuran, Nalar Politik Donk Juan, Penjahat Terselubung dalam Keberjejalan, dan lainnya.
Suasana Gedung Kesenian Societeit de Harmonie sesaat sebelum acara dimulai Senin, (2/9).
.
Di samping itu, buku-buku karangan almarhum juga menjadi sorotan utama para pengunjung dalam pameran tersebut. Teori Sosial Sastra, Infinitum, Aforisma Cinta, Kisah tak Berwajah, dan Menidurkan Cinta adalah beberapa buku karangannya yang sempat dipamerkan pada acara tersebut.
Beberapa tulisan mendiang yang sempat penulis baca berhasil membius suasana hati penulis. Terlebih dengan alunan instrumen musik melankolis yang diputar oleh panitia, membuat bulu roma penulis sempat berdiri sesaat.
Sejumlah tokoh lokal yang terdiri akademisi, aktivis literasi, jurnalis kampus, wartawan media lokal, sastrawan, hingga seniman menjadi pengisi acara pada setiap item acara. Tokoh-tokoh tersebut antara lain, Alwy Rachman, Aslan Abidin, AM Iqbal Parewangi, Asdar Muis RMS, Fahmi Syariff, Hendragunawan S. Thayf, M. Aan Mansyur, Mariani Atkah, Madia Gaddafi, Muhary Wahyu Nurba, Ridwan Effendy, Ram Prapanca, Sabri, Shinta Febriany, dan Sudirman HN.
Acara dibuka dengan penyampaian doa kontemporer oleh Hendragunawan S. Thayf untuk almarhum. Sajak-sajak indah nan puitis yang terkandung dalam hadits rasul menjadi doa dalam bacaan Hendragunawan. Lantunan ayat-ayat Al-Quran pun juga tak lupa dibacakan dalam doanya.
Penyampaian sekilas sosok mendiang yang disampaikan oleh Aan Mansyur menjadi acara berikutnya. Menurutnya, mendiang adalah sosok yang pesimistis dalam hidupnya. Daya pikir kritis, radikal, serta mendalam membuat mendiang sering meragukan kemungkinan-kemungkinan kebaikan dalam beberapa bidang hidup. Seperti pada politik, kehidupan sosial, dan lain-lain. Itulah yang seakan mendiang terlihat pesimisitis.
Selain itu, Alwy Rachman, Dosen Jurusan Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Unhas juga turut menyampaikan sekilas sosok mendiang. Dalam kaca mata akademisinya, baginya mendiang merupakan salah satu dosen yang cenderung menyimpang. “Menyimpang dalam artian bahwa mendiang tidak seperti dosen pada umumnya. Di samping rajin mengajar di kampus, mendiang juga aktif pada kegiatan-kegiatan sosial lainnya, terutama pada bidang literasi. Hal yang tidak biasa dilakukan oleh para dosen dewasa ini,” ungkapnya Alwy.
Aslan Abidin dan Sinta Febrianny kemudian menampilkan pembacaan esai karya Ahyar Anwar yang berasal dari bukunya yang berjudul Kisah tak Berwajah. Pembacaan puisi dari Madia Gaddafi pun tidak kalah menarik dalam acara itu.
Pengunjung melihat Pameran Literasi karya Ahyar Anwar.

Beberapa wartawan media lokal, Dani (Tempo), Jumadi (Tribun Timur), dan M. Nursam (Fajar), juga turut menyampaikan pandangannya tentang almarhum semasa hidupnya, terutama yang berkaitan dengan dunia jurnalistik pemberitaan. Bagi Jumadi misalnya, almarhum adalah sosok orang yang lengkap. Almarhum menurutnya adalah seorang aktivis, penulis, dan akademisi.
Penampilan teater singkat dari salah satu seniman Sulsel, Asdar Muis RMS, juga menjadi daya tarik hiburan tersendiri pada acara itu. Tokoh lainnya, seperti Fahmi Syariff, Sudirman HN, Ridwan Effendy, Iqbal Parewangi, dan Ram Prapanca juga tidak ketinggalan dalam memberikan refleksi Ahyar Anwar selama hidupnya.
Acara yang berakhir pada pukul sebelas malam ini kemudian ditutup dengan penyampaian sekelumit kisah hidup Ahyar Anwar yang dibawakan sendiri oleh sang istri mendiang, Risma Niswaty. Haru tangis mewarnai perjalanan acara itu. Hingga akhir acara, tidak sedikit para tamu yang masih sempat mengusap air matanya yang menetes karena nuansa sedih dari acara tersebut.

Konsistensi mendiang untuk berkarya dalam dunia sastra sangat diapresiasi oleh khalayak. Itu terbukti dengan antusiasme para tamu yang hadir pada acara tujuh hari kepulangan almarhum ke pangkuan Sang Khalik, yang dikemas pada suatu pagelaran literasi “Mengenang Ahyar Anwar.” Sumbangan pemikiran mendiang dalam dunia pendidikan, politik, serta sastra, membuat dirinya menjadi salah satu legenda intelektual di Tanah Daeng. Hal itu pula lah yang mendasari hingga terwujudnya acara ini. Selamat jalan Ahyar, semoga amalmu diterima di sisi-Nya. Amin.

Related posts: