web analytics
header

Harimau Telah Memakan Anaknya

Oleh: Raniansyah Rahman
(Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas Angkatan 2013)
Teringat sebuah kalimat, “seganas-ganasnya seekor harimau, ia tidak akan pernah memakan anaknya.” Nampaknya kalimat itu patut dikaji ulang, karena banyak sekarang ‘harimau’ yang memakan anaknya sendiri. Aku begitu prihatin melihat nasib bangsa dan Negara saat ini, karena sudah begitu banyak anggota bangsa yang memakan bangsanya sendiri, menjajah bangsa sendiri untuk kepentingan sendiri karena aliran egoisme.
***
Aku rasanya ingin protes, hatiku terus bergejolak. Waktu itu pertengahan Maret 2013, saat sedang menikmati bakso di salah satu warung di Jalan Kemakmuran,  Poros Makassar-Pare. Tiba-tiba mataku tertuju kepada seorang bapak yang juga ikut makan bakso bersama anaknya yang kira-kira berumur 4 tahun, bapaknya makan dengan lahap menikmati semangkok bakso dengan porsi yang lumayan mengenyangkan, sementara anaknya dipesankannya 2 ribu rupiah bakso. Yah…4 butir bakso, ketika bakso anaknya habis, anak itu merengek minta nambah, sementara bapaknya terus makan dengan lahap tanpa mempedulikan anaknya. Ketika anaknya mulai merengek lebih nyaring, tiba-tiba bapak itu membentak anak itu dan mengancam akan memukul anak itu. “Diamko…!! Sudahmi…! Kucambo’ko itu saya,” kata bapak itu dengan wajah geram sambil terus menikmati baksonya.
 Anak itu terdiam lalu menatap bapaknya menikmati baksonya dengan begitu lahapnya. Ahh…aku terharu…mata anak itu binar berkaca-kaca, hampir saja kuteteskan air mata di tempat itu. Aku berpikir, ternyata di dunia ini masih ada dan mungkin masih banyak orang tua yang mementingkan dirinya sendiri dibandingkan anaknya sekalipun. Tiba-tiba bapak itu menatapku, mungkin menyadari kalau sedari tadi aku memperhatikannya.
Aku membuang pandanganku mencoba memperhatikan yang lain lalu kembali menyantap baksoku. Yah… Peristiwa itu mungkin masih secuil bukti bahwa sekarang banyak orang yang telah hanyut dalam aliran sesat bernama ‘egois’. Aku tahu, akhir-akhir ini berita di TV banyak yang memberitakan tentang kekerasan terhadap anak, ada orang tua yang tega memperkosa anaknya, ada orangtua yang tega menjual anaknya, bahkan ada orangtua yang tega membunuh anaknya. Aku tahu…Aku yakin, sekarang harimau sudah terlalu ganas sehingga tega memakan anaknya.  Bahkan kalimat “seganas-ganasnya harimau, ia takkan memakan anaknya,” tak pantas lagi diucapkan dari bibir insan manusia.
***
Bangsa ini telah dipenuhi oleh harimau-harimau ganas yang tega memakan anaknya sendiri, banyak yang telah jauh melenceng dari nilai-nilai pancasila. Entah apa yang membuat semuanya tergelincir begitu jauh dari rel-rel konstitusi. Bukankah ketuhanan Yang Maha Esa telah tergantikan oleh Keuangan Yang Maha Kuasa? Bukankah kemanusiaan yang adil dan beradab telah tereliminasi dengan keberingasan, premanisme dan hukum rimba? Bukankah persatuan  Indonesia telah digantikan oleh separatisme dan individualisme?
Permusyawaratan telah jauh dari harapan dan banyak diselesaikan dengan kekerasan dan konflik horizontal? Bukankah keadilan sosial telah ‘terdeportasi’ oleh transaksi suap-menyuap? Bukankah demokrasi kini telah hancur dan amburadul tercampuradukkan dengan Industri. Ahh….akankah bangsa ini siap menghadapi kehancuran? Akankah negeri ini mampu menghadapi ‘gempuran-gempuran meriam’ penjajah bangsa sendiri. Aku mengakui bahwa aksi demonstrasi serta memerdekakan perasaan dan pikiran adalah sesuatu yang wajar dalam Negara demokrasi, namun aku tidak pernah membenarkan tindakan-tindakan yang melenceng dari amanat konsituti alias inconstitutional.
Aku sungguh tak habis pikir, di bulan Maret 2011. Begitu banyak berita yang membuat mata tercengang dan tak ayal mengundang tanda tanya besar, mulai dari penyerangan kantor polisi oleh TNI, penyerangan Lapas oleh ‘pasukan siluman’ dan kericuhan pemilukada di Palopo, menjadi bukti bobroknya bangsa ini, sekaligus jadi bukti berlakunya hukum rimba di negeri yang katanya demokratis ini, kalau berlaku hukum rimba berarti masyarakatnya primitif dong? Kalau primitif, kok banyak yang ngaku intelek? Kok banyak yang ngaku moderen? Tapi kenyataan membuktikan bahwa rakyat saat ini memang masih primitif, bukankah tindakan koruptif termasuk primitif? Hahaha… Berarti koruptor yang rata-rata dikenal pintar. Kok bisa yah, primitif? Mata dan telinga hampir tak menemukan lagi berita-berita yang enak didengar dan membuat hati tenteram, headline-headline media massa didominasi oleh berita buruk, semuanya merisaukan dan tentunya menggalaukan bagi yang punya nasionalisme.
Aku kini semakin kuat dengan pendapatku dalam sebuah essaiku sebelumnya, Jika Indonesia saat ini belum benar-benar merdeka, Merdeka menurutku yaitu ketika seseorang mampu melangkahkan kaki dengan rasa aman dan tenteram. Tapi apakah itu yang dirasakan bangsa ini sekarang? Tidak…!!! Bang Napi dalam sebuah acara berita sering berpesan “Kejahatan terjadi bukan karena ada niat pelakunya, tapi karena ada kesempatan…waspadalaah…! Waspadalah.”  Bukankah kata ‘waspada’ mengindikasikan rasa tidak aman atau tidak tenteram, dan itu berarti kita belum merdeka Semua itu terbukti dengan serentetan peristiwa memalukan dan amoral sepanjang Maret 2013. Hanya pantas bertanya, berita buruk apa berikutnya? Jangan sampai ada yang mengatakan “oh..pantas banyak masalah, karena tahun 2013, sedangkan 13 adalah angka sial.” Enak aja…Mau nyalahin angka, jelas-jelas ini kesalahan si dalang berita buruk yang bego, tolol, bodoh…Tidak mengerti aturan, memalukan…Ahh…
***
Kita hanya menunggu penerus untuk menjadi pelurus bangsa ini, tapi kalau penerus juga sudah bobrok, apalagi yang ingin ditunggu? Kalau anak harimau telah dimakan oleh induknya, apalagi yang kita tunggu? Bukankah harapan kita sudah pupus? Ahh…keberhasilan menghadapi tantangan zaman akan menjadi jawaban akan masa depan bangsa ini, tapi sederet peristiwa membuktikan bahwa kita tak mampu melawan tantangan zaman yang cukup kuat.  Kalau sumber hukum tertinggi seperti Pancasila, nilai-nilainya telah jauh melenceng, maka letak Negara hukum Indonesia dimana? Posisi demokratis dimana? Sampai botak pun, kita tak mungkin menemukan jawabannya, toh! Hukum sekarang hanya tulisan sementara pengaplikasian, sungguh jauh dari harapan. Lebih didominasi oleh dendam dan aksi premanisme atau hukum rimba. Pastinya di era sekarang ini, tak pantas lagi ada yang mengatakan kalau seganas-ganasnya harimau. Tak mungkin memakan anaknya, harimau sekarang telah memakan anaknya, bangsa sendiri pun telah menjajah negaranya, tentu karena ego masing-masing. Ahh

***

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan