web analytics
header

Kebenaran Untuk yang Benar, Bukan Untuk yang Kuat ataupun Lemah

Oleh: Nurfaika Ishak
Teringat akan perkataan salah seorang Guru Besar Fakultas Hukum Unhas, mendiang Achmad Ali, yang akrab disapa Prof AA dalam kelas besar Pengantar Ilmu Hukum tahun 2011, bahwa hukum seyogianya dapat membela yang benar bukan yang kaya atau miskin. Ya, hukum sebagai alat untuk membela yang benar terlepas apakah dia atau mereka berasal dari golongan kaya atau tidak. Namun, hal ini tidak semata-mata akan memberikan keadilan yang seadil-adilnya. Praktik peradilan di negara tercinta kita ini, menunjukkan bukti yang berbeda. Sejumlah praktik kotor para penegak hukum meruntuhkan harapan pencari keadilan, di mana kebenaran menjadi kebohongan dan kebohongan berubah menjadi kebenaran.
Masih segar dalam ingatan, beberapa penegak hukum seperti hakim, jaksa, dan polisi terbukti melakukan praktik kotor untuk memperoleh keuntungan dan mengkhianati profesi serta kepercayaan rakyat. Sebut saja sang hakim kontitusi, Akil Mochtar yang tertangkap basah saat menerima suap berupa uang sekitar 3 miliar rupiah terkait kasus sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Rabu (2/10) silam. Tertangkapnya sang penegak hukum, hakim konstitusi Akil Mochtar meruntuhkan wibawa yang selama ini disandang oleh Mahkamah Konstitusi. Kepercayaan rakyat menjadi pudar dan harapan untuk mendapatkan hukum yang adil menjadi sirna.
Kemudian, seorang jaksa yang menerima suap menjadi tak asing lagi di telinga. Sejak beberapa tahun belakangan terungkap beberapa jaksa menerima suap bahkan meminta suap agar kasus yang ditangani diringankan tuntutannya. Seperti yang terjadi pada kasus jaksa Urip Tri Gunawan beberapa tahun lalu yang menerima suap dari pengusaha terkenal Artalyta Suryani senilai 660 ribu dolar Amerika, atau senilai dengan 6,6 miliar rupiah terakit kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tahun 2008 lalu. Selain itu, masih banyak lagi kasus jaksa yang menerima suap yang berakibat pada apatisme masyarakat terhadap hukum.
Selanjutnya, kasus korupsi yang dilakukan oleh mantan Kakorlantas Inspektur Jenderal Djoko Susilo telah mencoreng citra institusi kepolisian. Irjen Djoko Susiolo terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi pada proyek pengadaan simulator SIM tahun anggaran 2011. Tak dapat dihindari, dengan terbukti bersalahnya Djoko Susilo, berakibat pada citra kepolisian semakin merosot. Hal ini berdampak pada kurangnya rasa percaya masyarakat terhadap sang pengayom, pelindung, dan pengaman. Masyarakat pada akhirnya akan berpikir masa bodoh untuk mematuhi hukum karena banyak dari penegak hukum melanggar hukum itu sendiri.
Kembali pada ungkapan “kebenaran untuk yang benar, bukan untuk yang kuat ataupun lemah” sejatinya, akan menimbulkan berbagai macam kontradiksi dengan kenyataan yang ada. Bagaimana tidak, hukum di negeri ini pada praktiknya dapat dibeli oleh segelintir orang berkantong tebal yang memperoleh uang dengan menyerap keringat orang-orang kecil.  Ya, inilah Indonesia, negara yang kebenaran dan kebohongan menjadi hal yang sulit untuk dibedakan.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan