web analytics
header

Belah Durian di Kota Palopo

Oleh: M. N. Faisal R. Lahay
Bulan Februari bagi sebagian orang memang dipandang sebagai bulan penuh kasih sayang. Tak terkecuali bagi kami, Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH). Menyempatkan hadir di pernikahan salah dua kerabat, kami bertandang ke kota Palopo.
Perjalanan kami awali dari kampus Tamalanrea Unhas, Ahad pagi, (2/2). Bermodal dua mobil, di antaranya Toyota Kijang Innova dan Daihatsu Xenia, kami bertolak dari Makassar. Alhasil, kami harus rela berdesakkan hingga sampai ke tujuan. Meski demikian, canda tawa ternyata mampu jadi pengalih rasa lelah kami dalam perjalanan.
Dari dua puluh orang yang berangkat, hanya ada lima perempuan. Sehingga mereka ditempatkan bersama dalam satu mobil Innova. Sedangkan penulis sendiri, ditempatkan di mobil yang lainnya. Dua mobil berwarna hitam itu pun bergerak menuju Palopo.

Kru LPMH-UH berkunjung di Latuppa, Palopo, Senin (2/2)
Guyonan dalam kebersamaan kami mengiringi pelancongan ini. Maros, Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Barru, Pare-pare, dan Sidenreng Rappang (Sidrap). Itulah rute awal kami sebelum beristirahat. Pada persinggahan awal, kami hanya sempat makan siang dengan mie rebus di warung pinggir jalan poros Sidrap.
Persinggahan kami tersebut tak berlangsung lama, karena mengingat waktu yang ada hanya sedikit. Perjalanan pun kami lanjutkan. Beberapa derah lainnya kami lewati, antara lain Wajo dan Luwu. Dua daerah terakhir tersebut kami lewati sebelum akhirnya tiba di Kota Palopo.
Sesampainya di kota tersebut, kami langsung menghadiri acara mappacci[1]di kediaman calon mempelai wanita, Nurul. Setelah itu, kami beristirahat di rumah Ghina, anggota LPMH-UH yang juga ikut rombongan, di Jalan Batara. Perjalanan yang memakan waktu hampir delapan jam ini nampaknya membuat energi kami terkuras habis.
Keesokan paginya, Senin (3/2), kami bergegas menuju ke acara akad pernikahan di kediaman mempelai wanita. Kemudian dilanjutkan ke acara resepsi yang digelar di Merdeka Conventional Hall. Kostum batik jadi mayoritas pilihan kami dalam menghadiri kedua acara itu.
Seusai acara tersebut, kami memulai petualangan kami di kota Palopo. Kotamadya yang pernah mendapat gelar adipura di tahun 2006 ini, memang nampak betul keindahannya. Ruas jalan yang cukup luas, tatanan kota yang lebih rapi, serta kemacetan yang belum melanda, mungkin bisa jadi keunggulan kota ini dibanding Makassar.
Beruntung, Aziz, anggota LPMH-UH yang sudah menunggu di Palopo duluan, meminjamkan mobil miliknya agar kami bisa berkeliling. Sehingga kami tidak perlu berdesakkan lagi.
Beberapa tempat kunjungan utama kota itu sempat kami datangi. Di antaranya Masjid Jami Tua Palopo. Masjid tertua di kota tersebut, yang dulunya merupakan bagian dari daerah Luwu. Rumah ibadah ini sangat terlihat corak bangunan kunonya. Terutama pada bagian atapnya yang masih terbuat dari jerami.
Tak jauh dari masjid itu, ada juga bangunan bersejarah lainnya. Yakni Istana Datu Luwu, yang merupakan istana kerajaan Luwu. Patung badik panjang dan besar di depannya, sangat mencerminkan nuansa budaya yang amat kental di daerah tersebut.
Objek wisata air terjun di Latuppa jadi destinasi kunjungan kami selanjutnya. Jalanan bergunung menuju tempat itu dipenuhi dengan pohon durian di bagian kanan dan kirinya. Musim panen durian memang menjadi salah satu motivasi bagi kami untuk berkunjung kota ini.
Sesampainya di depan gerbang Latuppa, kami menyempatkan dulu untuk membeli beberapa buah durian di rumah penduduk setempat. Para penduduk mayoritas memang memiliki kebun durian sendiri. Sehingga harga durian yang mereka jual, jauh lebih murah dibanding yang ada di daerah lainnya, termasuk di Makassar.
Tiga buah durian seharga 35 ribu rupiah, jadi bekal kami sebelum masuk menuju air terjun Latuppa. Kami harus berjalan kaki sekitar satu kilometer lagi untuk sampai ke sana. Sehingga mobil mesti diparkir di luar.
Rasa letih kami akhirnya terbayar setelah kami sampai di lokasi air terjun. Terlebih saat kami membelah durian pertama kami di tahun ini. Kelegitan rasa durian asli Palopo kami nikmati di depan derasnya air terjun Latuppa. Kami pun meluangkan waktu lebih untuk berfoto dan bermain di sana.
Sepulangnya kami dari sana, kami menyempatkan lagi untuk membeli durian di Pasar Central Palopo Lagota. Harga durian di situ lebih mahal sedikit dibanding yang kami beli di Latuppa. Empat puluh ribu kami bisa mendapatkan tiga buah. Kami pun membeli beberapa buah sebagai oleh-oleh bagi keluarga kami di Makassar.
Sebelum kembali ke Makassar, malamnya kami diundang untuk menikmati durian di rumah Aziz, di daerah Ponrang. Keluarganya yang kebetulan memiliki kebun durian memberikan kami beberapa buah durian secara cuma-cuma. Didampingi dengan es buah, kami pun menyantap dengan lahap sajian durian tersebut yang entah ada berapa banyak jumlahnya. 
Kota Palopo memang punya daya tarik sendiri. Terutama pada saat musim panen durian seperti sekarang. Di saat para penduduk kota Makassar rela mengucurkan uangnya lebih untuk membeli durian di pinggir jalan, para penduduk Palopo tidak perlu mahal-mahal untuk mengonsumsinya. Bahkan bisa menikmatinya secara cuma-cuma. 


[1]Adat daerah Bugis sebelum akad pernikahan

Related posts: