web analytics
header

Save Gondrong Unhas!


Oleh: Zulfikar Natsir
(Mahasiswa FH-UH Angkatan 2010)
 Kita hidup di masa yang lucu. Terlalu lucu untuk ditertawai. Bukan karena lawakan verbal atau acting jenaka yang membuat terpingkal. Tapi karena kebodohan tiada tara yang justru berasal dari sekelompok orang yang memperkenalkan dirinya sebagai seorang pendidik di Kampus Merah. Kelompok yang memiliki tugas mulia dalam mencerahkan masyarakat dan menjadi panutan bagi mereka yang mereka didik. Kenyataannya dalam kurun 2 tahun terakhir cerita pengebirian lembaga kemahasiswaan, sanksi akademik yang irasional hingga pembunuhan karakter mahasiswa yang dilakukan oleh birokrasi yang bebal semakin menggema. Dengan semangat world class university kerja-kerja lembaga kemahasiswaan dimata-matai, penyeragamaan pola pikir dan penampilan juga turut mereka urusi. Sampai ke titik di mana panjangnya rambut seorang mahasiswa atau yang akrab disebut “gondrong” dijadikan barometer baru dalam pemberian sanksi akademik di Fakultas Kehutanan semester ini.
Foto: Esa Ramadana
Gondrong, riwayatmu dulu
Menurut awal mula sejarah, rambut gondrong dipopulerkan pertama kali oleh suatu kelompok yang melakukan counter culture, yakni kaum Hippies di tahun 1960-an di Amerika Serikat. Hippies memiliki ciri khas yang berbeda dengan fashion umum lainnya, mereka memakai pakaian warna–warni, berpakaian seenaknya, rambut dibiarkan panjang tak dicukur, dan memlihara janggut bagi kaum pria. Hippiesdijadikan dasar gerakan untuk bebas dari budaya yang dominan saat itu serta mengharapkan terjadinya perubahan sosial dan politik di antaranya, gerakan anti perang Vietnam dan hak asasi manusia, gerakan mahasiswa, perempuan, gerakan hak kaum homoseksual, dan pelestarian lingkungan hidup.
Di Indonesia, menjamurnya model rambut gondrong tidak lepas dari pengaruh musik rockyang didominasi musisi yang berambut gondrong. Sebut saja, Godbless, Gang Pegangsaan, dan Slank. Rambut mereka yang panjang menjadi simbol kebebasan anak muda saat itu dalam berkarya di dunia seni.
Dalam perkembangnya, budaya rambut gondrong di Indonesia mendapat kecaman dari pencitraan yang diberitakan media. Stereotypinglelaki berambut gondrong disimbolkan sebagai identitas seorang pelaku kriminal. Hal ini dapat di lihat lewat judul-judul pemberitaan yang mendiskreditkan rambut gondrong seperti yang dimuat di harian Pos Kota pada Oktober 1973: “7 Pemuda Gondrong Merampok Bis Kota”, “Waktu Mabuk di Pabrik Peti Mati: 6 Pemuda Gondrong Perkosa 2 Wanita” dan “5 Pemuda Gondrong Memeras Pakai Surat Ancaman”. Upaya mengkriminalisasikan rambut gondrong menjadi salah satu cara Orde Baru pada saat itu mengontrol gejolak dan ketidakpuasan generasi muda terhadap kekuasaan pada saat itu.
Di Unhas sendiri fenomena gondrong tidak jarang untuk ditemui. Hampir di semua fakultas mahasiswa berambut gondrong dapat kita jumpai. Bahkan banyak dosen yang dulunya dikenal sebagai aktivis juga memanjangkan rambutnya. Ketua KPK yang berasal dari fakultas hukum pun, Abraham Samad dikenal sebagai aktivis tulen dengan rambut gondrong pada zamannya.
Aturan dan akal sehat
Perlahan-lahan birokrasi fakultas memberlakukan aturan baru tentang cara berpakaian yang dianggap sopan bagi mahasiswanya. Mulai dari pakaian, alas kaki, hingga tata krama dalam kelas. Dalam kacamata mahasiwa aturan yang diberlakukan tersebut dianggap wajar untuk menghargai proses belajar formal dalam kelas. Tetapi lain halnya ketika panjang rambut seorang mahasiswa pun harus diurusi dan berpengaruh terhadap nilai sampai penjatuhan sanksi akademik. Birokrasi sebagai pihak yang memiliki kuasa dalam pembuatan aturan melakukan reproduksi wacana yang sadis kepada  mahasiswa berambut gondrong. Focault mengatakan, “pada saat kuasa terkonsolidasikan menjadi ‘dominasi’, resistensi masih tetap mungkin dilakukan, hanya saja jauh lebih sulit dilakukan. Dominasi sendiri menunjuk pada relasi kuasa yang bersifat asimetris yang didalamnya orang-orang yang tersubordinasi memiliki sedikit ruang untuk bermanuver karena ‘ruang kebebasan untuk bertindak sangat terbatas’ oleh karena efek dari kuasa”. Berlakunya larangan berambut gondrong adalah pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat an sich bagi mahasiswa. Apalagi aturan yang dibuat tidak berlandas dari aturan  yang jelas dari Dirjen Pendidikan Nasional ataupun renstra universitas melainkan hanya akal-akalan birokrasi saja.
Fenomena larangan gondrong tak boleh dianggap sebagai masalah sepele bagi sivitas akademika Unhas. Seperti penyakit yang mewabah, virusnya akan menyebar ke setiap fakultas jika riak-riak perlawanan urung muncul dari kawan-kawan Fakultas Kehutanan. Kita jangan lupa arogansi birokrasi Fakultas Teknik yang menjatuhkan sanksi akademik bagi mahasiswanya yang menyebar ke birokrasi Fakultas Sastra beberapa waktu lalu.
Panjang atau pendek rambut seorang mahasiswa adalah pilihannya sendiri. Penulis yakin seorang yang waras tidak akan menemukan relevansi antara rambut pendek ataupun gondrong dengan isi kepala seorang mahasiswa. Kecuali…logika kita telah mati!

Related posts: