web analytics
header

Telaah Konsep BLU Menuju PTN Badan Hukum

http://static.panoramio.com/

Oleh: M. N. Faisal R. Lahay

Isu pembadanhukuman Unhas kembali mencuat. Ihwal itu ditengarai UU Pendidikan Tinggi yang telah disahkan 2012 lalu. Sistem pengelolaan perguruan tinggi negeri berbadan hukum kembali diterawang. Lantas bagaimana dengan konsep Badan Layanan Umum (BLU) yang tengah berlaku di Unhas dan sejumlah perguruan tinggi saat ini?

 

Konsep pengelolaan keuangan berbasis Badan Layanan Umum (BLU) yang berlaku pasca keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 hingga saat ini di sejumlah perguruan tinggi, membuat Eksepsi kembali mencari berbagai sumber yang membahas mengenai konsep tersebut. Baik sumber yang berasal dari internet, maupun dari hasil diskusi dengan beberapa pakar.

Beruntung, banyaknya ahli hukum dalam bidang administrasi negara di Fakultas Hukum Unhas, membuat Eksepsi tak terlalu kewalahan mencari narasumber berita ini. Selain sudah banyak tertera di beberapa sumber literasi dan internet, pembahasan mengenai konsep ini memang merupakan salah satu materi dalam matakuliah Hukum Keuangan Negara di FH-UH. Sehingga secara deskriptif, prinsip ini paling tidak sudah pernah dipelajari oleh mahasiswa hukum.

Prinsip BLU sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Dalam peraturan tersebut, BLU didefinisikan sebagai instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan 24 September 2008, Unhas telah resmi menjadi BLU. Hal itu membuat pengelolaan keuangan Unhas menjadi jauh lebih fleksibel dibanding sebelumnya.

Eksepsi kemudian mencoba mendatangi Prof. Dr. Mathen Arie, S.H., M..H, pakar Hukum Administrasi Negara FH-UH, untuk memintai sedikit komentarnya. “Unhas ini memang masih BLU, belum jadi badan hukum sendiri. Jadi kewenangannya masih terbatas, sesuai dengan yang dari pusat,” komentarnya singkat.

Perbedaan mendasar yang terdapat pada dua hal itu (badan hukum dan BLU, red) sebenarnya memang sudah jelas. Hal itu disampaikan oleh Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H., Wakil Dekan (WD) II FH-UH. “Kalau badan hukum, itu terkait status kelembagaan. Tapi kalau BLU, hanya sebatas pada mekanisme pengelolaan keuangan,” jelasnya.

Anshori yang ditemui oleh Eksepsi di Dapur Jurnal FH-UH itu, menambahkan bahwa BLU ini sebenarnya merupakan pola pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel. “Misalkan kalau bukan BLU, semua masuk dulu ke kas negara, masuk perencanaan, baru bisa digunakan sesuai dengan keperluan masing-masing instansi. Tapi kalau BLU, bisa langsung digunakan. Hanya per tiga bulan dilaporkan,” tambah dosen bagian Hukum Tata Negara FH-UH ini.

Anshori membuka bungkusan rokok filternya. Ia pun mulai membakar dan menghisapnya. Kepulan asap keluar dari mulutnya. Kopi susu pesanannya tak lama kemudian datang. Diantar oleh salah seorang pegawai kantin yang sudah berusia paruh baya. Wartawan Eksepsi turut menunggu sejenak. Wawancara yang berlangsung menjelang azan zuhur itu pun kembali berlanjut.

“Contohnya, rumah sakit. Itu rumah sakit seandainya bukan BLU, bagaimana dia bisa menangani para pasien yang setiap hari ada? Masa harus tunggu pasien sakit datang baru bersurat ke pusat untuk dimintai obat?” ujarnya.

Sembari menikmati kopi susunya yang masih hangat, ia menegaskan, tak semua instansi bisa menerapkan konsep pengelolaan keuangan BLU. “Tidak semua kampus bisa jadi BLU lho. Unhas ini harus melolosi beberapa syarat dulu, sebelum akhirnya ditetapkan sebagai BLU oleh Kementerian Keuangan,” tegasnya.

Badan hukum dan BLU memang bukan merupakan dua hal yang bisa dibandingkan. Bagi orang awam, tentu agak sulit memahami perbedaan serta posisi keduanya dalam dunia administrasi negara.

“Ini yang kadang juga bikin orang ambigu. BLU itu hanya fleksibilitas dalam mekanisme pengelolaan keuangan. Sedangkan badan hukum, itu fleksibilitas pengelolaan organisasi,” tandas pria kelahiran 7 Juni 58 tahun silam itu.

Pengubahan status Unhas menjadi badan hukum juga sebenarnya tidak serta-merta hanya boleh dilihat dari perspektif pembiayaan. Karena lebih dari itu, dengan dibadanhukumkannya Unhas, maka kewenangannya dalam pola pengelolaan akademik juga turut terotorisasi. Hal itu tentu akan memberi ruang gerak bagi Unhas untuk menentukan sendiri program studi yang hendak dibuka atau ditutup.

“Jika sudah berstatus badan hukum, jadi gampang kita kalau mau buka program studi. Kalau masyarakat butuh lulusan program studi A, kita bisa buka. Kalau sudah tidak dibutuhkan, kita bisa tutup lagi,” paling tidak itu gambaran positif darinya terkait status badan hukum pada perguruan tinggi negeri.

Related posts: