web analytics
header

Menelisik Legalitas Hukum Pemberian Remisi dan Pembebasan Bersyarat bagi Koruptor

Dwi Arianto Rukmana
Dwi Arianto Rukmana (Anggota Divisi Jaringan Kerja Periode 2014-2015)
Bom waktu yang dipasang dalam sebuah gedung, lambat atau cepat akan meledak dan menghamburkan seluruh isi gedung. Begitulah korupsi di sebuah negara bisa disamakan dengan bom waktu. Kita tidak bisa memastikan kapan meledak dan menghancurkan seluruh isi negara.

Dalam memberantas dan menghalau perkembangan korupsi, seluruh upaya di lakukan, termasuk mendorong penegak hukum untuk lebih garang memerangi korupsi. Selain itu, pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat juga diupayakan. Hal ini dilakukan tidak lain untuk menyelamatkan negara Indonesia.

Menelisik lebih dalam pemberian remisi dan pembebasan bersyarat harus melalu pendekatan normatif hukum. Hal ini diharapkan, apabila ada pihak yang ingin melemahkan semangat tersebut, dapat dilawan dengan tindakan-tindakan sesuai dengan langkah-langkah hukum pula. Ringkasnya, remisi dan pembebasan bersyarat bukan hak asasi manusia yang timbul sejak lahir, tetapi merupakan hak reward atas prestasi yang telah digapai semasa menjadi narapidana.

Dasar hukum pemberian remisi dan pembebasan bersyarat tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Kemudian dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Tata cara pelaksanaannya lalu diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

Syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu syarat administratif dan syarat substantif. Syarat administratif adalah syarat yang harus dipenuhi, berupa kelengkapan berkas. Sedangkan substantif adalah syarat inti, khusus, dan penting yang harus dipenuhi. Apabila syarat substantif ini tidak terpenuhi, maka status hukum pemberian remisi atau pembebasan bersyarat batal demi hukum atau setidak-tidaknya dapat dibatalkan.

Syarat substantif pemberian remisi tertuang yang dalam Pasal 34-Pasal 34C PP Nomor 99 Tahun 2012, harus didahului dengan pemberian rekomendasi dari penegak hukum, khususnya KPK. Rekomendasi itu harus menyatakan bahwa narapidana membantu penegak hukum mengungkap kasus yang menjeratnya, sehingga patut diberi status justice collaborator. Selain itu, rekomendasi penegak hukum, khususnya KPK, juga harus memperhatikan kepentingan umum, keamanan, dan rasa keadilan masyarakat.

Syarat substantif pembebasan bersyarat terdapat dalam Pasal 43A dan Pasal 43B PP Nomor 99 tahun 2012. Selain harus memenuhi kedua syarat sebagaimana syarat remisi, narapidana juga harus melewati 2/3 dari masa pemidanaan dan harus menjalani asimilasi setengah dari sisa pemidanaan.

Secara yuridis, syarat tersebut harus dipenuhi secara kumulatif (keseluruhan) agar pemberian remisi atau pembebasan bersyarat dapat dilakukan. Di sisi lain, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menganggap bahwa PP Nomor 99 tahun 2012 ini diskriminatif terhadap narapidana. Tapi perlu diingat, zaman Menteri Amir Syamsuddin, PP Nomor 99 Tahun 2012 sudah pernah diuji materiil dan putusan akhirnya, PP tersebut tetap berlaku. Itu artinya aturan tersebut memang harus bersifat diskriminatif agar komitmen anti korupsi tetap terjaga.

Sayang seribu sayang, komitmen tersebut luntur. Pertengahan 2014 mungkin hal yang sangat membanggakan bagi Koruptor sebab Kemenkumham mengeluarnya Surat Edaran Nomor M.HH-13.PK.01.05.06 TAHUN 2014 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam kutipan surat edaran tersebut, poin 2 menjelaskan pemberian batasan waktu jawaban justice collaborator dari penegak hukum adalah 12 hari kerja setelah pengajuan. Pertimbangan surat edaran tersebut ingin memberikan kepastian hukum karena PP Nomor 99 tahun 2012 tidak mengatur batas waktu jawaban pemberian justice collaborator. Hal ini menjadikan angin segar bagi koruptor untuk mengajukan remisi dan pembebasan bersyarat.

Banyak yang beranggapan bahwa Surat Edaran Nomor M.HH-13.PK.01.05.06 TAHUN 2014 bertentangan dengan PP Nomor 99 tahun 2012, karena dinilai memberikan pintu selebar-lebarnya untuk koruptor mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Korupsi seakan dinilai sebagai kejahatan biasa, bukan extra ordinary crime.

Dalam hirarki peraturan perundang-undangan, apabila ada aturan hukum yang saling berseberangan, maka kembali ke asas lex superior derogat legi inferiori (aturan yang lebih tinggi diutamakan daripada aturan yang lebih rendah). Negara kita negara hukum, sehingga prosesnya harus berdasarkan aturan hukum. Harus juga diperhatikan asas presumption of legality, bahwa setiap aturan yang dibuat oleh lembaga negara harus dianggap benar dan berlaku umum sebelum ada putusan yang membatalkannya, karena berdasarkan legalitas yang dikeluarkan kelembagaan negara.

Tantangan bagi semua kalangan, baik pemerhati hukum, peneliti kajian korupsi, aktivis antikorupsi, lembaga swadaya masyarakat, dan khususnya KPK, untuk berperang melalui jalur litigasi, yaitu mengajukan uji materiil tentang Surat Edaran Nomor M.HH-13.PK.01.05.06 TAHUN 2014 yang dinilai tidak sesuai dengan semangat antikorupsi. Apabila tidak dibatalkan, surat keputusan pembebasan bersyarat atau pemberian remisi legalitas hukumnya akan terus berlaku. Aturan itu tetap berlaku selama tidak dibatalkan keabsahannya, walaupun dinilai bertentangan.

Pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap koruptor, harus menjadi perhatian khusus karena korupsi merugikan negara dan juga menyengsarakan rakyat. Kedudukan Surat Edaran Nomor M.HH-13.PK.01.05.06 Tahun 2014 ingin memberikan batasan waktu untuk mecari kepastian hukum tentang pemberian status justice collaborator yang tidak diatur dalam PP nomor 99 tahun 2012. Menjadi perhatian bagi KPK untuk memahami bahwa landasan hukum PP nomor 99 tahun 2012 dan Surat Edaran Nomor M.HH-13.PK.01.05.06 TAHUN 2014 saling berkaitan. Artinya, apabila ada permohonan pernyataan tentang justice collaborator untuk melengkapi pemberian remisi dan pembebasan bersyarat, maka KPK harus menyatakan bahwa narapidana bukan justice collaborator dengan memberikan permohonan penolakan secepatnya, yaitu kurang dari 12 hari kerja, agar pembebasan bersyarat tidak dikeluarkan.

Perubahan yang digandangkan terhadap PP nomor 99 Tahun 2012 harus ditanggapi berdasarkan pandangan normatif hukum, bukan digemborkan menurut pandangan sosial. Aturan yang sekarang berlaku wajib dijalankan dan ditegakan. Jangan terlalu jauh menatap revisi PP Nomor 99 Tahun 2012, lalu mengabaikan aturan yang berlaku. Kedepannya, setelah diundangkan revisi PP nomor 99 tahun 2012 dan dinilai mengandung cacat hukum, maka terbuka ruang mengajukan uji materiil. Sedangkan bila perubahan nanti sudah sesuai dengan landasan normatif, filosofis, dan sosiologis, maka harus didukung secara penuh dan tetap harus dikawal penerapannya.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan