web analytics
header

Sujud Terakhir

Rizman Hadiwijaya (Anggota Magang LPMH-UH)

Entah bagaimana aku mendeskripsikan hati dan perasaanku kala itu. Bak tubuh tersengat listrik. Seperti anak kucing di tengah hutan mencari induknya. Ingin kumenjerit tapi tak sanggup. Inginku menangis tapi tak kuasa. Bagaimana tidak, sesosok manusia yang selama ini kujadikan inspirasi dalam hidup, akan kurindukan selamanya. Dialah tempatku bersandar kala kugundah, menjadi tameng terdepan kala menjerit, juga sosok yang membuatku percaya bahwa malaikat nyata adanya. Tapi kini dia pergi meninggalkan sejuta kenangan, beribu cita dan impian, menuju singgah sana keabadian .

Hari itu tepat Senin, 9 Februari, sekitar 6 tahun yang lalu. Suasana sore menjelang malam, ketika mentari berpamitan sejenak meninggalkan hiruk-pikuk dunia. Terdengar suara merdu seraya memuji keagungan Tuhan dari menara masjid. Tak ada  firasat apapun yang kurasa. Seperti biasa, bersama sosok itu, kulangkahkan kaki ini untuk sejenak bersimpuh di hadapan Yang Maha Kuasa. Tak keluar sekata pun dari mulutunya selama perjalanan. Hanya senyum yang terus ia tebar ke orang-orang. Hingga tibalah kami di rumah Allah. Aku dan sosok itu seperti jemaah lain, segera mengambil barisan. Kami di barisan yang berbeda.

Perasaan ini mulai gelisiah, layaknya senja yang terusik gemuruh petir dan hujan. Ibadahku kala itu tak lagi fokus. “Allahuakbar,” seru imam untuk bersujud menghadap Allah.

Semua jemaah pun serentak merendahkan dirinya dan mengagungkan kebesaran Allah. Selepas itu, semua orang bangun dari sujud dan melanjutkan salat ke rakaat berikutnya.  Hatiku semakin gelisah tak keruan. Nurani semakin bertanya, “Perasaan apa ini ya Allah?”

Selang beberapa saat, keanehan terjadi. Terdengar suara bising dan teriakan di tengah salat. “Apa ini?” Pikirku, saat itu jemaah salat di serang orang asing, atau mungkin hanya suara anak kecil. Tapi suara itu seperti teriakan orang dewasa.

Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku seraya berbisik. Bisikan itu lirih sambil berkata, “Bapakmu, bapakmu, bapakmu.”

Serentak tubuh ini tegang dan kaku. Entah bagaimana aku mendefiniskikan tubuh, hati, dan perasaanku detik itu. Tanpa pikir panjang, segera kuberbalik dan membatalkan salatku. Saat kuberbalik, mataku terfokus pada satu objek. Sosok manusia berpakain putih dengan peci haji putih di kepala terbaring, tersungkur tak berdaya di depan mataku. sosok itu yang berjalan bersamaku tadi menuju masjid ini.

Selang beberapa lama, sosok lain yang juga bagian dari hidupku dan malaikat hidupku, muncul. Sambil berlari dari arah jemaah perempuan, ia berteriak diiringi tangis tersedu-sedu. Hampir semua orang membatalkan salatnya. Semua terganggu dengan suara tangis dan teriakan dari jemaah lain. Kesedihan semakin kurasakan. Tangis dari sosok perempuan itu membuatku semakin sedih. Perempuan itu biasa kupanggil Ibu.

Sosok yang terbaring itu semakin tak berdaya. Jemaah yang lain berbondong-bondong mengangkat sosok itu menuju rumah. Suasana gelap gulita dengan beribu pertanyaan di nurani menemani perjalananku menuju rumah, sambil menenteng sajadah yang dikenakan sosok itu tadi. Sampai di rumah, kembali kulihat sosok itu terbaring kaku tak berdaya. Kini ia dikelilingi dengan jumlah orang yang lebih banyak. Adik dan kakakku pun
terlihat kaget. Mungkin mereka bertanya-tanya, ”Apa ini? Atau “Peristiwa apa
yang baru saja aku lewatkan?“

Akhirnya peristiwa yang menggelisahkan hatiku belakangan ini terjadi. Sosok itu dinyatakan dokter tak bernyawa lagi. Serentak ketika kalimat itu keluar dari mulut dokter, semua orang berteriak dan menangis. Suasana pada saat itu begitu tidak keruan. Terdengar tangisan serta bisikan-bisikan di telingaku, “Bapakmu Nak! Bapakmu Nak!” Kesedihanku pun pecah, dan semakin pecah saat kulihat  kesedihan Ibu yang hanya bisa kugambarkan dengan air mataku.

Kini, di hadapanku sosok itu tidur. Terbaring kaku dan tak berdaya. Kesedihan terlihat di seluruh sudut rumah. Keluarga, kerabat, tetangga mulai berdatangan. Tapi aku tak melihat sosok Ibu saat itu. “Ke mana Ibu?” tanyaku dalam hati.

Tak lama Ibu keluar dari kamar dengan tubuh lemas. Terlihat jelas kesedihan nampak dari raut wajah Ibu, seolah masih tak percaya. Ibu menyuruh semua orang pulang, sambil berkata dengan suara terbata-bata. “Semua pulang. Bapak belum meninggal. Dia hanya tidur.” Ibu masih tidak bisa menerima kenyataan.

Tak lama sahabat karib sosok itu datang dan meyakinkan Ibu bahwa ini adalah takdir yang
sudah digariskan Tuhan jauh sebelum kita ada di dunia. Kita milik-Nya. Kapan pun Dia menginginkan kita, Dia berhak untuk mengambil. Dengan perkataan itu, Ibu mulai percaya denga peristiwa ini, tetapi masih belum bisa menerima kenyataan.

Tak kusangka sosok itu kini betul-betul meninggalkanku, meninggalkan adik dan kakakku, meninggalkan ibuku, meninggalakan kami semua. Sosok yang selama ini selalu kupanggil Bapak. Ya, Bapak atau Ayah. Seakan tak percaya perjalananku ke masjid saat itu menjadi perjalanan terakhirku bersamanya. Sujud itu juga menjadi sujud terakhirnya menghadap Allah. Bapak kembali kepangkuan Allah di rumah Allah. Bapak pergi dalam keadaan tenang. Bapak pergi dengan seyuman manis di wajahnya dan doa orang-orang terkasihnya.

Terima kasih Bapak, selama ini kau telah menjadi garda terdepan melindungi keluarga ini. Terima kasih atas petuah-petuah khas dan imbinganmu selama hidup. Terima kasih  telah menjadi Bapak terbaik dalam hidupku. Teriring maaf jika selama hidupku, perilaku, dan kataku menyakiti hati dan perasaanmu. Maaf jika selama hidupmu aku pernah menjadi pembangkang atas nasihat-nasihatmu. Hanya seuntai doa yang kukirim menemani perjalananmu menuju singgasana keabadian bersama orang-orang beriman, sembari berharap kita sekeluarga akan kembali dipertemukan nanti, dengan demensi kehidupan yang berbeda.

Enam tahun kepergian Ayah, masih dan akan terus terpatri kerinduan itu. Begitu terasa kehilangannya. Layaknya anak yang lain, masih ingin kemerasakan kehangatan kasih sayang seorang ayah. Terbesit rasa iri di hati ketika kulihat teman sebaya bersama ayahnya bercengkerama dan bersukacita. Tetapi sekali lagi, ini adalah garis hidup yang sudah ada jauh sebelum kita terlahir di dunia. Bahagia itu kini kudapat bersama Ibu, sosok pahlawan, yang semakin membuatku percaya malaikat itu betul-betul nyata adanya. Menjadi ibu sekaligus ayah buat anak-anaknya. Banting tulang, berkerja keras, demi kebahagiaan anak-anaknya. Terima kasih Ibu. Kasihmu tak terhingga sepanjang masa.

I miss you Dad. I love you Mom.”

Related posts:

Aku dan Sayapku

Oleh: Anggya Nurayuni (Peserta Ko-Kurikuler Jurnalistik 2023) Di suatu pagi yang cerah, di atas rindangnya pepohonan hutan, seekor Merpati cantik

Rayuan Perempuan Gila

Oleh: Elmayanti (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Aku mengatur napas, mencoba terlihat biasa saja. “Ini sudah sampai mana?” tanyaku pada Kirtan,

Misteri Ayam Geprek Pak Jamal

Oleh: Muh. Abi Dzarr Al Ghiffariy (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Alkisah, terdapat sebuah toko ayam geprek legendaris yang selalu ramai