web analytics
header

Pulang Kembali

Ramli (Pengurus LPMH-UH)

Tiap kali nuansa kampung kuresapi, enggan rasanya beranjak ke kota. Padahal di usiaku ke 17 tahun, belum pernah sekali pun kunikmati ramainya kota. Tapi aku ragu saja ke sana. Cukup bagiku meneropong kota di puncak bukit, lima puluh kilometer dari rumah, tempat kebun teh ayahku yang sempit.

Jauh di lembah bukit sana, nampak kerlip lampu menari, lebih indah dari bintang. Semua itu membuatku bimbang memutuskan, haruskah kuberanjak ke kota melanjutkan kuliah? Aku takut tersiksa merindukan kampungku. Tentang damainya sinar mentari pagi, siulan burung genit di pohon beringin belakang rumah, keakraban para warga, dan kehangatan kedua orang tuaku. Semuanya kutakutkan tak ada di kota. Bimbangku bertambah mendengar cerita ayah semasih kuliah di kota dahulu. Katanya suasana kota tak menyenangkan, menggerahkan. Penghuni kota seperti robot, ujarnya. Tak punya kepekaan dan selalu sibuk sendiri, terburu waktu.

Hari terberat bagiku adalah hari ini. Begitu dilematis. Aku memaksakan ke kota melanjutkan kuliah, sedang orang tuaku meminta tetap tinggal, terutama ayah. Katanya, masa depanku terjamin jika mengurusi kebun teh, daripada mempertaruhkan nasib di kota. Nasehat ayahku selalu mencontohkan dirinya, mahasiswa tanpa ijazah. Tak ada cerita kebanggaan baginya, kecuali kala jadi provokator teman-temannya menuntut hingga rektor turun karena memperjual-belikan ijazah.

Jika niatku ke kota kuutarakan, ia palingan senyum-senyum sendiri dan mengulangi inti pesannya, bahwa ketenangan di kota hanya bagi pesuruh para penguasa materi yang cacat nurani. Bagi pembela kebaikan dan kebenaran, dunia seperti tak berkawan. Begitulah dia. Sulit dimengerti, tak pernah juga ia menyesal sebagai mantan calon sarjana. Malah bangga jadi seorang petani miskin di kampung terpencil.

Aku ingin berbeda. Niatku tetap besar kuliah di kota. Orang tuaku pun merestui kepindahanku di kota, walau kesannya terpaksa. Aku memang ngotot. Kupertimbangkan jika tetap di kampung, percuma telapak kakiku menapaki kerikil tajam. Menyusuri bukit sejauh 6 kilometer setiap hari sekolah, demi mendapat ijazah sekolah. Lebih lagi, aku lulus di perguruan tinggi favorit tanpa tes. Terlalu sayang jika kesempatan emas ini kusia-siakan untuk menciptakan duniaku sendiri. Membuktikan nasibku berbeda dengan ayah adalah tantangan bagiku. Tapi prinsipku, tetap jadi pembela kebenaran dan kebaikan seperti pesannya.

Aku memastikan beranjak ke kota sore hari. Perpisahan menjadi sesi paling merisaukan. Tak sanggup rasanya menatap mata orang tuaku yang seakan meringis, “jangan pergi!” Tapi apa boleh buat, membiarkan mereka berdua di rumah panggung adalah keharusan, demi kemajuan kehidupanku. Terngiang selalu pesan guruku saat kuungkap raguku beranjak ke kota, bahwa pergaulan jangan sebatas di kampung, walau terpaksa tak mengacuhkan sesuatu yang dicintai. Semakin dilematis kurasa. Seakan menyeret inginku meninggalkan mereka.

Saat ini aku duduk berhadapan dengan ibuku. Dia hanya tertunduk dan menjentikkan kukunya. Enggan bergurau lagi seperti biasa. Di dapur, ayahku sibuk mengemas kardus berisi bekalku. Ini akan jadi perpisahan pertama.

“Sudah selesai Nak. Kamu sudah siap kan?” tanya ayah sambil berjalan ke gerbang pintu menenteng kardus. “Ingat-ingat pada Tuhan selama perjalanan nanti.”

Terlihat wajah mereka nampak tegar. Tapi bisa kutebak, aku yang anak satu-satunya, akan mereka rindukan. Aku pun pura-pura tegar juga. Ingin kumusnahkan keharuan yang membuat kami merasa berat saling merelakan. Takutku jika tangisan mereka pecah, lalu suasananya semakin memberatkan.

“Aku sudah siap Ayah,” tuturku. “Ibu, jangan lupa ingatkan ayah untuk tidak terlalu memaksakan dirinya bekerja di kebun,” candaku. Senyum mereka pun merekah. “Semoga ayah dan ibu baik-baik saja di sini. Jangan khawatirkan aku. Akan kulaksanakan pesan kebaikan Ayah dan Ibu. Aku pasti merindukan kalian. Pasti aku pulang jika libur,” tuturku, berharap mereka mengiklaskan kepergianku.

Akhirnya kuseret langkahku menuruni anak tanggal menuju tepian jalan berkerikil. Aku siap berlalu menunggangi ojek yang sedari tadi menungguku selesai pamitan. Selepas melambaikan tangan dan melempar senyuman terpaksa, pandanganku ke arah depan saja. Tak tega aku berbalik dan semakin menyesakkan perasaan mereka. Sampai waktu pun meraibkan mereka di balik tepian bukit. Aku gundah sendiri, membayangkan mereka pasti merasa sangat kehilangan. Aku merasa durhaka.

***

Dua bulan kurasakan susahnya beradaptasi dalam kehidupan kota. Sepertinya benar kata ayah, hidup di kota begitu menggerahkan. Selalu kesepian di tengah keramaian. Berteman dengan banyak orang memang mudah, hanya bagi mereka yang dapat mengakses dan membagi mahalnya fasilitas kebahagiaan. Semuanya butuh uang. Setiap orang sibuk dengan kepentingannya sendiri. Hidup penuh persaingan, saling menjatuhkan, kecuali menghambakan diri pada komunitas pemenang persaingan citra dan rela mengikuti gaya hidup mereka yang hedonis. Penghuni kota dari kampung, seperti aku, terpaksa munafik agar diterima dalam pergaulan.

Kusadari sudah, ternyata benar kesimpulan ayah bahwa kota dihuni para petopeng. Mereka berpacu terlihat bahagia dari luar, tapi jiwanya kering kerontang, tak bernilai. Di kota, tak ada lagi diri sendiri, sebab kita harus menjadi seperi apa yang orang lain inginkan. Pandangan itu aku pelajari dari teman baruku, Anton. Ia sama sepertiku, datang dari pelosok negeri dan ia kini berubah menjadi orang kota. Aku ingin seperti dia.

Kepalsuan kehidupan kota memaksaku menghapus kenangan tentang kampung. Kututupi identitas diriku sebagai anak kampung. Sangat memalukan pastinya, ketahuan sebagai orang kampung  yang keseringan main di kebun. Kunantikan selalu ajakan Anton dan teman lainnya untuk menghabiskan malam minggu di bawah lampu disko. Aku mulai terbiasa melupakan kedua orang tua dengan meneguk cairan ajaib. Begitu menyenangkan. Akhirnya kusadari satu hal yang kusesali dan harus kuterima dalam hidupku: dilahirkan dari orang tua kampung yang miskin.

Orang tuaku memang bisanya hanya memberikan petuah. Tak lebih berharga daripada uang seribu rupiah. Mereka sepertinya tak punya usaha untuk memenuhi keinginanku. Padahal aku anak tunggal mereka. Dua kali sudah aku minta dikirimi uang melalui surat. Maklumlah, untuk beli handphone saja mereka perhitungan, tepatnya tak mampu. Tapi entah kenapa, hanya balasan surat kedua yang sampai kepadaku, bersama serecehan uang dan petuah lagi untuk berhemat. Pusing harus bagaimana. Mereka sepertinya terlalu kolot untuk memahami kehidupan kota.

Beruntung aku mengenal Anto, pemuda berada yang tidak segan meminjamiku benda canggihnya. Dia selalu membuatku merasa tak keki berlagak anak kota. Aku tak tahu alasannya. Kuduga ia kasihan melihatku, polos dan sepi teman bergaul. Kurasa sangat dekat dengannya saat ia mentraktirku di sebuah restoran cepat saji. Di sanalah ia menceritakan bahwa jalan hidupnya sebagai anak kampung berubah drastis setelah mengenal Pak Adam, dosen yang terkenal punya banyak proyek. Katanya, Pak Adam punya lowongan pekerjaan dengan imbalan yang besar. Akhirnya aku tertarik. Aku butuh pekerjaan agar tak butuh lagi uang dari orang tuaku. Aku ingin tak membutuhkan mereka.

Selepas kuliah, kami pun bergegas ke rumah Pak Adam. Sampai di Istana Pak Adam, setelah memencet bel, kami hanya berdiri di gerbang pintu. Bangunan rumahnya jauh berbeda daripada rumahku di kampung. Terlalu indah untuk tak mengacuhkan detail rumah Pak Adam. Nampak taman yang lebih luas dari bangunan, dinding rumah penuh ukiran patung, dan bunga taman warna-warni di sana-sini. Di langit-langit ruang tamu, terlihat hiasan kepingan kaca kerlap-kerlip. Pagarnya juga sangat tinggi. Aku yakin, banyak lagi harta benda Pak Adam yang masih tersembunyi, sehingga perlu dijaga dua satpam sekalian. Dia benar-benar orang kota.

Tak lama menunggu, lelaki berkumis datang menghampiri. “Pak, ini Bagas, anak kampung yang aku ceritakan kemarin. Katanya dia siap untuk kerja sama Bapak,” tutur Anto, memperkenalkanku dengan lelaki berbadan tambun itu.

Dia manjabat tanganku, sangat erat. “Oh, kamu yang namanya Bagas. Benar kamu siap kerja?” Aku diam saja. “Ah, jangan khawatir, kau pasti dapat hasil yang banyak.”

“Iya Pak. Terima kasih banyak jika ada  perkerjaan untuk saya,” jawabku segan.

“Okelah. Mudah kok kerjanya. Cuma mengantar barang ke pemesan,” tuturnya. “Oh iya, nanti malam kau ikut saja sama Anto. Setidaknya kau belajar dululah caranya.”

Waktu berjalan, kami pun berjumpa lagi dengan malam Minggu. Seperti biasa, aku hanya perlu menunggu Anto di depan rumah kos datang menjemputku dengan mobil mininya. Kami akan pergi lagi berdisko di tempat biasa. Malam ini, Anton minta kami berangkat sejam lebih cepat dari biasanya, tepat jam 7. Katanya, kami harus mengunjungi beberapa tempat hiburan malam untuk mengantar barang ke pemesan.

Sepanjang perjalanan, terhitung sebanyak 8 tempat hiburan kami singgahi. Hanya sekadar menyampaikan pesanan orang yang sudah menunggu di ruang khusus sesuai perjanjian. Kuduga, isi kotak ini sepertinya sangat berharga sehingga penyerahannya pun selalu di tempat sembunyi. Tapi aku tak mau pikir. Sigap saja, setiap kali bingkisan itu selesai kuserahkan, tanpa basa-basi, aku langsung bergegas menuju mobil. Pekerjaan ini gampang bagiku. Imbalannya pun besar.

Setelah kelar mengantar barang, kami akan melewati malam dengan dentuman musik sang DJ. Rasa penasaranku muncul saat sedang asyik berjingkrak dengan para pemuja malam. Rasanya aku masih sadar saat itu. Ingin sekali kutahu isi bingkisan kecil yang selesai kuantarkan, meski  Pak Adam dan Anton telah mewanti-wanti untuk tidak banyak tanya. “Anton, itu bingkisan isinya apa sih?” tanyaku.

“Tak perlu kau tahu. Yang pasti besok ke rumah Pak Adam saja. Kita pasti dapat jatah. Ingat, antar satu kotak, Rp. 100.000. Sudahlah, jangan dipikirkan. Nanti bisa-bisa kau dipecat kalau berbuat nekat,” pungkasnya.

Akhirnya, setiap kali malam Minggu berakhir, sangat kunanti malam Minggu selanjutnya bersama rasa penasaran yang coba kuredam. Keadaan ini telah berulang selama enam bulan. Terbayang selalu esoknya aku dapat komisi Rp. 800.000 tanpa neko-neko. Sangat menyenangkan. Aku yakin, orang tuaku tak akan pernah memberi jatah per minggu sebesar itu, meski aku memohon dengan sangat. Tapi sudahlah, lebih baik kupikirkan kesenangan apa lagi yang ingin kubeli dengan uang sebanyak itu.

Malam yang kupuja datang kembali, malam Minggu. Akan kulalui beberapa persinggahan lagi sebelum kujelang Anto di tempat biasa untuk mengutuk malam. Memang malam ini aku berangkat sendiri dengan motor Anto. Aku memilih mengantar bingkisan sendiri setelah dijanjikan bonus Rp. 50.000 per bingkisan. Setelah pesanan kedelapan kelar kuantarkan, aku menuju ke lokasi pelanggan baru, pemesan kesembilan. Seperti biasanya, aku akan menelpon nomor pemesan untuk berjanjian tempat bertemu. Akhirnya kami berjumpa di bilik kecil, tempat yang kami sepakati. Seperti seringnya, pemuda berpenampilan preman akan menyambutku dengan mimik datar.

“Barangnya Bang,” Kusodorkan bingkisan itu seperti biasa. Entah apa yang terjadi, pistol pun langsung ditodongkan tepat di dahiku. Aku disungkurkan dan kedua tanganku langsung diborgol.

“Kau tahu ini isinya apa?” Tanya pria sangar itu, seperti menggertak. Aku kebingungan. Hanya bisa kugelengkan kepala, isyarat tak tahu dan tak mengerti. Mereka membuka kotak itu, lalu menampakan isinya padaku, daun bergerigi. Akhirnya kusadari kenapa Anton dan Pak Adam selam ini merahasiakan isi kotak itu. Riwayatku tamat sudah. Ternyata selama ini aku jadi kurir barang haram, ganja.

***

Tiga tahun berlalu waktuku di balik jeruji. Mau tidak mau, akan kubawa pulang penyesalanku ke kampung. Harus kuterima kemungkinan aku disumpah-serapahi ayah dan ibuku. Namun harus kuseret diriku kepada mereka. Kupulang bersama rasa rindu dan malu. Tak ada harganya diriku lagi. Tak pernah memberi kabar bertahun-tahun, lalu pulang tanpa kebanggaan. Entah dapatkah keangkuhanku dahulu terlupakan hanya dengan permintaan maaf. Tapi bagaimana pun juga, tekadku bulat, hari ini aku harus pulang. Kubawa semua kekecawaan dari kehidupan kelamku. Setidaknya aku akan berjanji tak lagi meninggalkan mereka. Aku siap jadi orang kampung lagi, hidup dalam kedamaian, dan menjadi petani.

Kususuri kembali jalan pulang yang pernah kulalui tiga tahun lalu. Bumi banyak berubah setelah kepergianku. Hingga perjalanan menumpang mobil sewa selama tiga jam membawaku tepat di lokasi rumahku, seharusnya. Tapi rumah panggung beratap jerami itu telah tiada. Kuyakini, tepat di sinilah kuhabiskan 17 tahun hidupku. Masih kutandai pohon beringin besar yang berdiri kokoh di balakang rumahku dahulu. Kini hanya tersisa serpihan papan lapuk ditumbuhi jamur. Terbukti, musim berulang kali silih berganti. Pasti telah lama orang tuaku pergi dari sini.

Aku mencemaskan mereka. Tak ada jejak tertinggalkan untuk kutelusuri menuju dekapan mereka. Syukurlah, gerombolan pemuda melintas, seperti barusan dari menggarap kebun.

“Permisi Bang. Tahu tidak ke mana penghuni bekas rumah di sini?” Tanyaku.

“Wah, maaf. Kami orang baru di sini. Baru seminggu lalu kami bekerja untuk menggarap lahan milik perusahaan perkebunan ini,” jawab salah satu pemuda.

Jawaban itu membuatku tersentak. Dunia benar-benar telah berubah. Gudang kenanganku telah tersingkir entah ke mana. Tapi seingatku, ayah masih punya sepetak tanah di kampung sebelah. Kuharap menjumpai mereka berdua di sana. Kerinduan memacu semangatku kembali menanjaki tepian bukit. Sampai sekitar dua puluh menit berlalu, tampak rumah panggung beratapkan jerami berdiri di antara pepohonan yang menjulang tinggi. Akhirnya aku jadi gugup melangkahkan kakiku ke sana.

“Cari siapa Nak?” sapaan serak dari arah belakang mengagetkanku. Sontak aku berbalik dan terpaku menatapnya. Kulihat lelaki tua dengan patahan ranting kayu di bahunya. Dia juga terpaku menatapku. Kami saling menerka. Tapi kesan tentang tompel berambut di pipi kirinya tak akan terlupa. Dia ayahku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Keharuan meneggelamkanku, hingga tak sadar hanyut dalam pelukannya.

“Ayah, maafkan aku. Seharusnya aku tak meninggalkan Ayah dan Ibu. Aku menyesal telah memaksakan kehendakku. Ternyata benar kata ayah, kota itu kejam. Maaf,” tuturku.

keheningan kami lalui sekitar beberapa menit. “Sudahlah Nak. Aku tak memaksakanmu jadi apa-apa. Kau kembali dengan selamat, itu sudah cukup bagi kami. Kau ingat pesanku sebelum pergi, bahwa perjalanan hidup adalah pelajaran. Dan tempat pulang paling mendamaikan adalah kampung halaman, bersama kami Nak. Sudahlah, ayo cepat ke rumah. Ibumu dari dulu sangat merindukanmu,” tuturnya, coba menenangkanku.

Kami lalu berjalan menuruni lembah, sampai kutatap wajah sendu perempuan di teras rumah. Motif dasternya masih kuingat. Dia Ibuku. “Pak, itu siapa?” tanya ibuku yang rambutnya tampak kusut dan beruban. Kelopak matanya menyempit, seperti coba membaca raut wajahku. Tanpa ada kata lagi. Ia buru-buru menghampiriku, lalu memelukku. “Anakku, ke mana saja kau selama ini? Ibu sangat merindukanmu Nak,” tuturnya sambil terisak tangis.

Hingga sore menjelang, kami habiskan waktu berjam-jam, bergantian berkisah tentang hidup sebelum kebersamaan ini. Tapi kesalahanku tentang kotak setan akan tetap jadi rahasia. Tak tega rasanya mencabik perasaan mereka tentang kekalahanku melawan kehidupan kota. Akhirnya kuutarakan alibi kepada mereka bahwa aku di-drop out dan dipenjarakan karena membongkar kasus pungutan liar para dosen di kampus. Kutahu, ini pasti menggugah ayah yang juga gagal jadi sarjana karena melawan kebobrokan birokrat kampus. Terang saja, ayah tak mempermasalahkannya, malah mengutarakan perasaan bangganya kepadaku.  

“Maafkan aku tak bisa menjadi seorang sarjana,” akuku.

Mereka hanya melempar senyuman selepas aku berkisah. “Aku bangga padamu Nak. Jalan yang kau tempuh sudah tepat. Kebaikan dan kebenaran harus tetap dibela tanpa memandang status, walau harus berkorban. Ingat, bakti kita bukan untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain,” tuturnya dengan sumringah. Aku hanya terdiam setelah itu.

“Nak, besok ikut ayah ke kantor desa untuk musyawarah masyarakat. Kebun sejumlah petani di desa ini telah dirampas perusahaan besar. Lahan di bukit atas pun telah dipagari. Masyarakat tak boleh melewati perkebunan itu. Entah apa yang mereka tanam. Sangat rahasia. Yang pasti, aku tidak akan merelakan tanah warisan kakekmu di bukit sebelah dicaplok si biadab itu. Pak Adam Said sialan. Ia katanya dosen kaya, tapi tak tahu malu. Kudengar dia mengajar di tempatmu kuliah dulu. Kau tak mengenalnya?”

Penjelasan itu mengejutkanku. Adam Said? Akan kuragukan jika saja ayah tak memperlihatkan fotonya. Dia mantan bosku di kota.

Related posts:

Aku dan Sayapku

Oleh: Anggya Nurayuni (Peserta Ko-Kurikuler Jurnalistik 2023) Di suatu pagi yang cerah, di atas rindangnya pepohonan hutan, seekor Merpati cantik

Rayuan Perempuan Gila

Oleh: Elmayanti (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Aku mengatur napas, mencoba terlihat biasa saja. “Ini sudah sampai mana?” tanyaku pada Kirtan,

Misteri Ayam Geprek Pak Jamal

Oleh: Muh. Abi Dzarr Al Ghiffariy (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Alkisah, terdapat sebuah toko ayam geprek legendaris yang selalu ramai