web analytics
header

Laut itu Menyaksikan

Ombak-Malam-di-Pantai-Gili-TrawanganSumber gambar: Google

 

Cerpen Oleh: A.M. Ikhsan (Mahasiswa FH-UH)

Lautan menari, merayu orang-orang agar tidak segera pulang, rayuan itu berhasil, malam kian larut, tetapi mereka enggan pergi. Namun berbeda denganku, aku memang tak beranjak, bukan karena termakan rayuan lautan, aku tetap menetap karena kamu ada di sampingku. Aku masih merasa nyaman bisa memandangmu dan tak akan pernah berhenti untuk nyaman. Andai bisa, aku ingin agar waktu berhenti.

****

Malam itu untuk pertama kalinya aku membenci waktu. Entah mengapa waktu seperti mempermainkanku, berjalan lambat saat menunggu, berlari cepat saat kita bersama. Bersama menatap lautan lepas dan membayangkan janji-janji masa depan yang ku harap dapat terwujud. Dan juga, untuk pertama kalinya aku memilih menanggalkan prinsipku untuk tidak mendekapmu. Kau tahu kenapa? Karena kurasa tanganku terlalu pendek untuk tubuhku sendiri, tetapi cukup panjang untukmu. Malam ini aku ingin bercerai dengan kesunyian, dan berkhianat dari kebisuan. Aku ingin meninggalkan kesepian dan memilih bercumbu dengamu, berpaling dari keheningan dan membicarakan masa depan bersamamu.

“Apa?” tanyamu. Seketika memecah lamunanku.

“Apanya yang apa?” jawabku sambil bertanya.

“Kenapa kau menatapku seperti itu?”

  “Hanya untuk memastikan ini bukan khayalanku sebelum tidur.”

  “Memangnya kau sering membayangkanku?”

  “Tidak sering, tapi selalu, setiap saat. Kau tahu aku hanya tidak percaya dapat sedekat ini denganmu, karena bagiku kau hanyalah ketidakmungkinan yang selalu aku  semogakan.”

  “Apa yang membuatmu berfikir bahwa kau tidak mungkin mendekatiku?”

  “Karena kau terlalu sempurna, terlalu indah untuk bersama pendosa sepertiku.”

Tiba-tiba kau terdiam dan kembali memandangi lautan, dengan tatapan yang penuh kesyahduan. Tatapan yang membuatku jatuh cinta setiap harinya. Akupun melepaskan dekapan, berfikir kalau saja pernyataan terakhirku membuatmu kecewa. Tapi kau malah menggenggam tanganku erat dan pandanganmu tetap mengarah kelautan. 

Kau tahu lagi-lagi kau membuatku jatuh cinta, kau membuatku jatuh cinta tiga kali dalam sehari, sudah seperti meminum obat. Kebisuan lagi-lagi menguasai situasi, mungkin karena sekarang hati kitalah yang saling menyapa. Mencoba saling merekatkan satu sama lain. Kalau seperti itu buat apa ada kata yang terucap. Kalau hati sudah saling berincang dalam diam, buat apa aku menunggu tatapanmu kalau genggamanmu sudah cukup menenangkanku. Aku suka berada di dekatmu.

“Sudah jam sebelas,” ucapmu lirih.

“Selamat malam,” kataku cepat.

“Aah, seharusnya aku yang mengatakannya kamu hanya tinggal menjawab, begitu  kesepakatannyakan?”

“Anggap saja aku membayar hutangku, karena beberapa hari yang lalu aku lupa untuk menjawabnya.”

  “Emmm, kau masih ingat? padahal aku sudah  lupa.”

  “Suasana di sini sudah mulai sepi, bagaimana kalau kita pulang?” tanyamu tanpa menungguku untuk bicara.

Aku hanya diam, bukan karena tidak mendengar pertanyaanmu, tetapi aku belum ingin pulang. Aku ingin mengucapkan janji yang ku buat dua hari lalu. Janji untuk diriku sendiri, aku ingin memilikimu dalam ikatan yang naif. Ikatan yang dibuat para pujangga terdahulu, untuk membenarkan egonya agar mereka bisa saling membatasi.

Akupun kembali menatapmu lamat-lamat, mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan empat kata singkat. Padahal setiap harinya aku berucap ribuan kata.Tetapi tersendat saat ingin mengungkapkan empat kata sederhana. Ini yang membuatku benci jatuh cinta. Karena cinta selalu menarik perasaan lainnya, seperti rindu, cemburu dan rasa takut.

Mencintaimu benar-benar membuatku menjadi palsu, menjadi seorang pecundang ulung.

Pukul 23.15. Ahh waktu sungguh kejam. Selalu memberikan sedikit darinya untuk orang-orang yang ingin mengambil keputusan. Kau lalu berdiri, memberi isyarat untuk pulang. Tiba-tiba tanganku menarikmu untuk kembali duduk, seolah berkhianat kepada ketakutanku, bagian tubuhku yang lain berucap.

“Maukah kau menjadi kekasihku?” tanyaku.

“Serius?” tanyamu ragu. Dan untuk pertama kalinya kau berbicara sambil menatapku. Cukup lama kau menunggu jawaban dariku, dan tetap sambil menatapku. Aku suka momen ini, kau menatapku.

“Maukah kau menjadi kekasihku?”. Aku kembali mengulangi pertanyaanku dengan intonasi yang kubuat semeyakinkan mungkin. Tanganku yang satunya tiba-tiba refleks memegang pipimu yang hendak memalingkan pandangan. Aku ingin kamu tetap menatapku, menjawab dengan melihatku, agar aku tahu kalau kau berbohong. Aku tidak mau kau menerimaku karena rasa kasihan, aku ingin kamu menyambutku dengan perasaan yang sama. Dan jika kamu tidak memilikinya maka  jawablah, tidak.

Kau menarik nafas panjang dan kembali menatap lautan. “Haruskah kita menjadi sepasang kekasih?”

“Bukankah kita sudah saling mengatahui perasaan masing-masing?” tanyamu beruntun.

“Aku tidak pernah tahu perasaanmu dan terakhir kali aku menanyakannya, kau bilang tidak menyukaiku. Walaupun aku tahu itu hanyalah sebuah candaan,” terangku.

“Apalagi yang harus aku perjelas, bukankah aku sudah memperlakukanmu dengan cukup spesial. Tidak cukupkah perlakuanku kepadamu, tidak cukupkah bait-bait puisi yang kutulis dengan kata yang sirat akan makna. Dan aku tahu kamu selalu sadar kalau puisi itu untukmu.”

“Iya aku tahu, tapi aku ingin….”

“Aku mencintaimu,” katamu. Sebuah pernyataan yang membuatku membisu seketika. Kau tahu lagi-lagi aku tidak pernah menyangka bahwa pernyataanmu akan sekuat itu. Kau mencintaiku? Tapi aku terlalu mencintaimu.

“Kau sekarang sudah mendengarnya secara langsung. Aku tidak butuh ikatan senaif itu, aku hanya ingin kau berjanji bahwa cintamu akan mengalahkan kefanaaan waktu. Waktu memang fana tapi kuharap perasaan kita abadi,” ucapmu lirih.

Aku masih terdiam, bukan karena kehabisan kata. Aku diselimuti rasa takut yang luar biasa, yah rasa takut kehilanganmu. Pernyataan terakhirmu membuat diriku benar-benar mencintaimu secara berlebihan. Ibu, maaf, kalau saat ini ada nama lain yang bersanding dengan namamu di hatiku.

Dan malam itu juga aku yakin, aku telah berhasil menuliskan namaku di hatimu, entah di urutan ke berapa yang pasti namaku sudah ada di langit-langit cintamu. Sebelum kita benar-benar beranjak pulang, aku memberanikan diri untuk merapatkan bibirku ke keningmu,agar nantinya ketika kau merapatkan keningmu ke tanah, kau tidak akan lupa menyebut namaku dalam baris doamu.

Teruntuk “Kamu”.

Related posts:

GARIS TAKDIR

Oleh: Imam Mahdi A Lekas lagi tubuhku melangkahMelawan hati yang gundahKe ruang samar tanpa arah Sering kali, ragu ini menahan

Dialog Temaram dalam Jemala

Oleh: Naufal Fakhirsha Aksah (Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas) Bagaimana kabarmu? Kabar saya baik, Tuan.  Bagaimana sejak hari itu? Sungguh, saya

Bukan Cerita Kami

Oleh: Akhyar Hamdi & Nur Aflihyana Bugi Bagaimana kau di kota itu, Puan? Kudengar sedang masuk musim basahTidak kah ingin