web analytics
header

Mencerdaskan Bangsa, Lewat Budaya Literasi

Oleh: Muhammad Ibnu M R 
(Sekretaris Bidang Advokasi PD IPM Kota Makassar)

“Mencerdaskan kehidupan bangsa,” begitulah potongan dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Semangat para the founding father dalam memasukan kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan tanpa sebab. Negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, bahkan berada pada peringkat empat dunia dalam hal jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang bisa menjadi sumber daya manusia yang dapat diandalkan, berdbanding terbalik dengan semangat untuk mencerdaskan kehidupan para masyarakat Indonesia. Menilik kembali makna kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa dalam UUD, data dari UNICEF menjelaskan bahwa 2,5 juta anak di Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan, yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP), data yang sangat fantastis, di tengah-tengah prestasi Indonesia yang mendapatkan peringkat ke empat dalam hal jumlah penduduk. Tidak kah itu sangat memalukan buat kita sebagai bangsa Indonesia? keberhasilan terbesar suatu Negara ketika tidak ada lagi anak di Indonesia yang merasakan nasib putus sekolah.

Ki Hajar Dewantara sebagai pelopor pendidikan di Indonesia tentunya akan menangis ketika mengetahui bahwa 2,5 juta anak Indonesia mengalami putus sekolah, semangat yang dibangun tokoh pendidikan tersebut dalam mencerahkan dunia pendidikan masih gagal diteruskan oleh pemerintahan Indonesia, bagaimana saya tidak mengatakan seperti itu. Anggaran pendidikan dalam APBN mencapai Rp 419,2 triliun atau 20 persen dari total belanja negara Rp 2095,7 triliun, dengan dana yang sebanyak itu mengapa pendidikan di Indonesia belum juga mencapai kata layak ? anak yang putus sekolahpun mencapai 2.5 juta ? sungguh prestasi yang sangat buruk. 

Pendidikan yang sejatinya menjadi hak setiap warga Negara yang tertuang dalam Pasal 28C (1) tentunya menjadi barang mewah pada sebahagian masyarakat di kelas bawah. Biaya pendidikan yang mahal, kuantitas guru yang tidak memadahi, tentunya menjadi salah satu dari sekian banyak penyebab banyaknya anak putus sekolah di Indonesia. Kemudian, sistem pendidikan yang membebani para siswa, yang di mana sekarang pendidikan tidak lagi mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Seperti pada penentu usaha siswa dalam belajar bertahun-tahun, ujian nNasional (UN). UN hanya menciptakan ketakutan-ketakutan yang menurunkan generasi bermental penakut. Ketakutan itu muncul karena siswa merasa ada perasaan tertindas yang tidak bisa dijelaskan karena memang menjelaskan tujuannya sendiri saja memang tidak jelas. Ini yang bisa kita maksud tidak memanusiakan manusia. Melupakan kata Ki Hadjar, pendidikan adalah pembudayaan nilai-nilai, dan hanya manusia yang mengerti akan budaya.

Penjabaran saya, tentunya bukan hal yang berangkat dari kebohongan, saya berangkat dari basis fakta yang terjadi di masyarakat. . Anak yang putus sekolah, biaya pendidikan yang mahal dan tidak tetap sasaran, dan hilangnya nilai-nilai luhur di sistem pendidikan Indonesia, menjadi hatrick pada permasalahan konkrit pemerintah dalam hal pendidikan. 

Mengembalikan semangat pendidikan lewat budaya literasi

Mengembalikan semangat pendidikan adalah hal yang mutlak bagi pemerintah lakukan, tentunya pemerintah tidak ingin dicap sebagai penghianat Ki Hadjar Dewantara yang telah menjadi pelopor pendidikan di Indonesia. Perlu dibangunya kesadaran kepada para anak untuk meningkatkan budaya literasi, seperti pentingnya membaca, menulis dan berdiskusi. Dengan contoh, pemerintah ada baiknya mendirikan sekolah jalanan, atau ruang baca umum, yang khusus untuk para anak putus sekolah. Hal itu dapat saya nilai mampu meningkatkan semangat belajar, yang kini telah mulai pudar dikalangan anak Indonesia. Membumikan budaya literasi dikalangan anak jalan merupakan sikap yang bijak.

Pendirian sekolah jalanan bagi anak yang putus sekolah merupakan langkah yang efektif, jika memang pemerintah belum sanggup menyekolahkan 2,5 juta anak secara formal. Sekolah jalanan yang fungsinya menampung para anak putus sekolah harus menumbuhkan jiwa literasi yang telah lama hilang, semisalnya, pada sekolah jalanan tersebut lebih banyak waktu yang diisi untuk mengajak para anak membaca buku-buku yang bersifat edukatif, guna mengembalikan jiwa mereka untuk giat belajar. Pendirian sekolah jalanan yang berbasis literasi tentunya tidak memakan dana dan waktu yang banyak.

Hal di atas tentunya merupakan persoalan yang mudah dilakukan oleh pemerintah selama mereka masih punya niat. Di samping pendirian sekolah jalanan, pembangunan ruang baca umum bisa meningkatkan minat bagi para anak jalanan untuk datang membaca, ruang baca yang didesain khusus anak jalanan harus memiliki tempat yang nyaman dan menarik untuk didatangi, lewat ruang baca tersebut, pemerintah bisa mendidik para anak jalanan untuk datang membaca, kemudian saling bertukar pikiran lewat buku yang telah mereka baca, tentunya sekali lagi ini tidak memakan dana yang banyak, dan waktu pembuatan yang relatif singkat.

Lewat semangat literasi ini juga, bisa menumbuhkan kembali nilai-nilai luhur yang telah lama menghilang, dengan contoh memberikan pengetahuan bagi para anak untuk mengetahui hakikat dari pendidikan dan pentingnya pendidikan, lewat diskusi-diskusi ringan. Bahwa pendidikan seyogyanya harus mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan malah menakuti kehidupan bangsa lewat sistem pendidikan yang tidak karuan. Sekali lagi, pendidikan adalah hak bagi segala rakyat Indonesia, guna mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa, pun tidak cukup dengan semangat pendidikan saja yang harus ditumbuhkan, semangat literasi juga harus dibumikan, guna menciptakan karakter anak yang cerdas dan kritis menghadapi Indonesia yang berkemajuan.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan