web analytics
header

LAMPU HIJAU BAGI KORUPTOR (Nawa Cita Atau Duka Cita?)

12108820_151453825204750_106822838385296489_n

Oleh: Didi Muslim Sekutu (Anggota Lembaga Kajian Mahasiswa Pidana Universitas Hasanuddin)

Tidak bisa kita pungkiri bahwa dinamika praktik korupsi sangat mempengaruhi kehidupan suatu negara. Salah satu permasalahan bangsa Indonesia yang menghambat kemajuan adalah ketidakmampuan dari sektor penegakan hukum. Sebagai negara yang berdaulat, komitmen pemerintah Indonesia terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sangat jelas. Bahkan hal ini merupakan janji suci Presiden Jokowidodo lewat program prioritas yang kita kenal sebagai NAWA CITA. Tetapi belakangan menuai tanya dikalangan masyarakat, pasalnya Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan pernyataan perihal rencana pemberian remisi bagi warga binaan yang akan dipermudah dengan merevisi PP No. 99 Tahun 2012 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan permasyarakatan atau dengan mengesahkan RPP warga binaan sebagai pengganti No 99 Tahun 2012. Hal inilah yang menimbulkan berbagai stigma dikalangan para pendekar anti korupsi.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ketentuan tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan permasyarakatan yang sebelumnya diatur dalam PP No. 99 Tahun 2012 memperketat narapidana korupsi,terorisme, dan narkoba mendapat remisi. Dalam substansi Revisi PP No. 99 Tahun 2012 pemerintah bermaksud untuk melonggarkan syarat pemberian remisi agar koruptor tidak perlu berlama-lama dipenjara. Narapidana diseluruh Indonesia melebihi kapasitas adalah salah satu alasan pemerintah ingin merevisi PP tersebut. Berdasarkan data dari Dirjen Pemasyarakatan per Juli tahun 2016, Jumlah tahanan napi seluruh Indonesia mencapai 197.670 orang dan hanya 3.801(1,92 %) orang yang diantaranya adalah napi korupsi. Alasan yang tak mendasar dan sulit untuk diterima karena over capacity lapas bukan disebabkan oleh napi korupsi. Dari perspektif hukum, negara telah mengeluarkan produk legislasi dalam bentuk peraturan pemerintah, oleh karena itu pemerintah seharusnya melaksanakan peraturan yang telah ia buat sendiri bukan bersikeras untuk melakukan perubahan, jika benar demikian maka dapat dikatakan pemerintah tidak taat pada aturan.

Dari aturan hukum mengenai prosedur pemberian remisi diatur dalam pasal 34 ayat 2 dan ayat 3 PP Nomor 99 tahun 2012. Khusus untuk Narapidana kasus korupsi selain harus memenuhi syarat yaitu berkelakuan baik dan telah menjalani pidana lebih dari enam bulan maka diberikan syarat khusus lagi yaitu bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tidak pidana yg dilakukannya. Dari segi subjek, perlu juga memperhatikan hak terpidana dalam rangka menciptakan keadilan tetapi kita harus lihat dalam konteks sifat kejahatan apa yang dilakukan. Kalo dikatakan itu deskriminatif dengan artian bahwa memberikan perlakuan yang tidak sama terhadap terpidana, maka saya rasa ini bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Oleh karena itu substansi dari aturan ini tidak boleh dihilangkan karena pada prinsipnya tetap mengakomodir hak Narapidana/Warga Binaan khususnya kasus korupsi untuk mendapatkan Remisi (pengurangan hukuman) asalkan dilakukan sesuai dengan prosedur yg telah ditentukan.

Semangat NAWA CITA yang salah satu poinnya adalah menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya nampaknya akan terdegradasi dengan mencuatnya rencana melonggarkan syarat pemberian remisi karena selama ini semangat yang kita bangun adalah semangat mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan mereformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi. Akan tetapi, nawacita tersebut akan menjadi DUKA CITA jika tanpa diikuti oleh langkah yang konkrit sebagai implementasi pemberantasan korupsi. Uraian di atas merupakan berbagai permasalahan yang dihadapi Indonesia karena tidak jelasnya gagasan arah pemberantasan korupsi, terlepas dari pro dan kontra wacana revisi PP No.99 Tahun 2012, pada intinya segala aturan harus bisa memenuhi rasa keadilan kepada masyarakat.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan