web analytics
header

Antara Nilai, Adat dan Hukum Tertulis

Sumber: www.anneahira.com

Sumber: www.anneahira.com
Sumber: www.anneahira.com

Oleh : Andi Besse Sitti Fatimah (Sekretaris Umum Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas Periode 2016-2017)

Pada dasarnya hukum dianggap sebagai suatu hukum apabila mengandung gagasan atau konsep-konsep yang bersifat abstrak, dengan demikian hukum hadir untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu perlu adanya suatu penjabaran yang nyata demi mewujudkan ide atau gagasan-gagasan tersebut agar dapat dijadikan pedoman oleh masyarakat secara umum baik yang statis (masih berpegang teguh pada kebiasaan-kebiasaan adat) maupun dianamis yang senantiasa mengikuti perkembangan zaman.

Berkenaan dengan hal tersebut maka patokan terhadap hukum bukan sekedar blue print yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, melainkan hukum seyogyanya dipandang sebagai suatu hal yang dapat diamati dan dinilai melalui respon atau tingkah laku masyarakat yang menjadi subjek dalam menjalankan implementasi hukum tersebut.

Berdasarkan konsep tersebut maka yang menjadi titik fokus adalah hubungan antara hukum dan faktor-faktor non hukum, terutama faktor nilai dan sikap serta sudut pandang masyarakat yang biasa disebut kultur hukum.

Walaupun pembangunan menghendaki adanya suatu perubahan baik yang secara cepat ( revolusioner ) maupun perubahan yang diarahkan secara terencana dan bertahap akan tetapi menjadi kemutlakan pula untuk  dipeliharanya ketertiban dalam masyarakat. Hukum sebagai jembatan yang meyambungkan antara keadilan, kepastian dan kemanfaatan menuju ke muara ketertiban masyarakat sehingga memberi ruang gerak bagi perubahan masyarakat dan bukan malah menjadi suatu  interval antara perubahan yang dicita-citakan  dengan sisi fundamental masyarakat, terutama masyarakat adat.

Berakar dari pokok pikiran yang sama maka perlu adanya upaya pembangunan maupun pembaharuan hukum yang diartikan sebagai penyelenggaraan perubahan tertentu terhadap masyarakat (law is a tool of social engineering) dimana pembangunan yang dimaksud adalah perubahan masyarakat secara terkendali. Namun hukum cenderung dibatasi oleh lingkungan dimana ia berada, sehingga terjadi ketidakselarasan antara apa yang dicita-citakan (das sollen) dengan apa yang terlaksana sekarang (das sein). Dengan kata lain, muncul diskrepansi antara law in the books dan law in action.

Perubahan hukum meliputi seluruh sisi  kehidupan yang menghendaki hadirnya suatu tatanan hukum yang mampu mewujudkan tujuan hukum berdasarkan apa yang dikehendaki  oleh masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian dipahami bahwa hukum bukanlah institusi yang statis melainkan sesuatu yang dinamis, hukum berubah dari waktu ke waktu.

Implikasi peranan hukum dalam kehidupan manusia mengharuskan hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat yang serba berubah. Namun olehnya itu terkadang terjadi kontradiksi antara pembaharuan hukum (tertulis) dengan nilai-nilai yang tetap tumbuh dan dipelihara oleh masyarakat (adat). Dalam perspektif ini hukum yang baik harusnya memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar prosedur. Hukum yang demikian semestinya kompeten dan juga adil serta mampu mendeteksi keinginan publik serta punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif.

Perkembangan hukum dewasa ini tidak diiringi oleh perkembangan masyarakatnya, sehingga nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tetap saja tradisional dan statis. Keadaan yang demikian itu jelas memiliki andil dalam proses penegakan hukum (law enforcement) hingga saat ini. Semestinya hukum yang dianut Indonesia adalah hukum yang sarat akan nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sehingga tercapailah yang dimaksud dengan sistem nilai. Kemustahilan untuk menciptakan nilai  tersebut akan berdampak menjadi tidak bermaknanya suatu pelaksanaan hukum bagi masyarakat yang bersangkutan (adat).

Olehnya itu transformasi budaya dan masyarakat Indonesia dari masyarakat-masyarakat adat dengan kultur yang beraneka ragam menjadi masyarakat yang lebih homogen membutuhkan kesabaran dan persuasi yang tinggi. Sebagaimana yang dikemukakkan oleh Robert B. Seidmann bahwa, “the law of the non transferability.” (Hukum tidak dapat dipindahkan begitu saja dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.)

Dengan demikian hukum adalah konkretisasi nilai-nilai yang terbentuk dari kebudayaan suatu masyarakat, sehingga setiap masyarakat selalu menghasilkan kebudayaan yang mewujudkan hukum dengan ciri khasnya masing-masing sehingga tidak dapat dipungkiri bahwasanya ada suatu sisi sensitif dalam kebudayaan masyarakat (terutama masyarakat adat yang masih berpegang teguh pada kebiasaan atau kepercayaannya secara turun-temurun) yang tidak dapat diabaikan oleh hukum yang bersifat dinamis karena kesenjangan hukum demikian sangat potensial akan terjadinya konflik sosial dalam suatu negara.

Berdasarkan realita tersebut maka kajian yang komprehensif antara kebudayaan hukum (adat) dengan pembangunan hukum nasional adalah suatu keniscayaan, terutama implikasinya terhadap penegakan hukum.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan