web analytics
header

Melawan Ahistorisnya Pendidikan Hukum

Sumber: Macquarie University Law Society

Sumber: Macquarie University Law Society
Sumber: Macquarie University Law Society

Muhammad Aldi Sido

(Koordinator Divisi Litbang & Advokasi Media LPMH-UH periode 2016-2017)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 memuat tujuan dan misi bangsa Indonesia. Tujuan tersebut tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Dalam pembentukannya, para pendiri bangsa kita merancang suatu konsep bernegara yang dilaksanakan berdasarkan beberapa poin tujuan negara. Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia; kedua, memajukan kesejahteraan umum; ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa; dan keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Misi negara Indonesia selanjutnya dimanifestasikan ke dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state), yang diwujudkan ke dalam beberapa pasal dalam konstitusi, diantaranya Pasal 28 H, Pasal 33, dan Pasal 34 UUD 1945. Konsep welfare state atau negara kesejahteraan merujuk pada model ideal sebuah pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warga negaranya. Model welfare state memfokuskan pada perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan atas hak konstitusional warga negara (right of citizenship) disatu pihak, dan kewajiban negara (state obligation), dipihak lain.

Dalam implementasinya, pendidikan merupakan aspek yang paling fundamental dalam mewujudkan tujuan bangsa Indonesia. Suatu negara yang maju membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berkompeten. Pendidikan menjadi tonggak pembentukan moral, sekaligus jalan keluar pengentasan kemiskinan dalam suatu negara. Olehnya, negara dalam hal ini diwajibkan menyelenggarakan metode pendidikan yang bermuara pada pembentukan masyarakat sejahtera.

Pendidikan hukum merupakan salah satu elemen penting dalam pendidikan yang dilaksanakan oleh negara. Strategi pendidikan hukum yang diwujudkan ke dalam institusi pendidikan adalah basis strategis pembentukan struktur dalam masyarakat, dalam hal ini negara berperan penting untuk membentuk dan mengontrol tingkah laku masyarakat menuju tujuan pembangunan yang dicita-citakan. Meminjam istilah Jalaluddin Rakhmat, negara melakukan “normative-reeducation”, atau strategi kontrol dan perubahan sosial melalui penanaman norma pada masyarakat, dengan mekanisme pendidikan ulang terhadap norma yang ada melalui basis pendidikan. Dengan kata lain, institusi pendidikan merupakan salah satu metode kontrol sosial dalam strategi tujuan pembangunan oleh negara.

Ketidakefektifan dan Ahistorisnya Pendidikan Hukum Kita

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH-UH) adalah satu dari sekian banyak universitas yang memiliki pendidikan hukum yang saat ini tengah menggenjot pembangunan kualitas sumber daya manusia yang ahli pada bidang hukum. Dalam visinya sejak didirikan 65 tahun yang lalu, FH-UH memiliki tujuan menjadi pusat unggulan pengembangan insani dan ilmu hukum yang berbasis pada benua maritim Indonesia. Menunjang visi tersebut, maka dibentuk metode pembelajaran hukum yang diselenggarakan berbasis pada kurikulum yang disusun sedemikian rupa. Sehingga membentuk satu mekanisme pendidikan hukum yang diajarkan kepada mahasiswa pada pertemuan-pertemuan di kelas.

Pada semester awal di Fakultas Hukum Unhas, ada dua mata kuliah penting yang menjadi dasar untuk menunjang mata kuliah lainnya yaitu Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia. Kedua mata kuliah ini adalah mata kuliah pengantar yang berisi rumusan-rumusan dasar hukum seperti definisi hukum, asas-asas hukum, tujuan hukum, hingga bagaimana hukum yang berlaku di Indonesia. Menariknya, pada proses pembelajaran di kelas tentang definisi, mahasiswa baru akan selalu ‘dicekoki’ bahwa hukum itu multitafsir, sehingga definisi hukum hingga hari ini belum mencapai satu obyektivitas yang dapat diterima secara umum.

Hukum menjadi berbeda berdasarkan ahli yang mendefinisikannya. Konsekuensi hal tersebut, maka pada kajian-kajian yang lain juga akan dipersepsikan multitafsir. Contohnya pada pengertian keadilan. Sebagian mahasiswa kemudian mempersepsikan bahwa makna keadilan adalah tergantung bagaimana konteks sesorang melihatnya. Adil menurut sebagian mahasiswa hukum adalah apa yang tercantum dalam perundang-undangan. Hal ini kemudian menjadi kredo yang diturunkan temurun bahkan hingga ia menjadi penegak hukum. Hasilnya, kala makna keadilan tersebut dibenturkan pada realitas sosial yang terjadi di masyarakat maka akan terjadi alienasi makna. Masyarakat yang bersinggungan dengan hukum yang berlandaskan konteks dan status sosialnya dalam mempertanyakan keadilan, akan merasa asing terhadap persepsi keadilan para penegak hukum. Itulah yang menyebabkan hingga hari ini banyak kasus hukum yang menimpa masyarakat bawah yang dirasakan kehilangan makna keadilannya. Seorang nenek yang mencuri kayu bakar dihukum dengan penjara, sedangkan pejabat yang terindikasi korupsi dihukum ringan bahkan bebas.

Pada dasarnya, benturan makna keadilan yang selalu mengaitkan mayarakat atas dan bawah sesungguhnya berasal dari kredo yang diajarkan pada ruang-ruang kelas, bahwa ‘semua sama kedudukannya dihadapan hukum’. Mahasiswa didoktrin bahwa seseorang, baik ia pejabat ataupun buruh kala berhadapan dengan hukum akan diperlakukan dengan sama tanpa mengenal latar sosialnya. Sehingga dalam implementasinya, hukum menjadi sesuatu yang ampuh untuk mengatasi masalah yang ada tanpa campur tangan kekuasaan atau intervensi apapun. Itulah cita-cita pendidikan hukum sesuai adagiumnya. Sayangnya, kredo tersebut sebenarnya ahistoris. Adagium tersebut tidak pernah selaras dengan kenyataan sejarah penegakan hukum Indonesia atau dengan kata lain, tidak pernah benar-benar terjadi. Kenyataannya penegakan hukum tidak pernah betul-betul mencontohkan bahwa setiap orang sama kedudukannya dihadapan hukum. Kelas sosial menentukan bagaimana seseorang berurusan dengan hukum. Tengoklah pada kasus yang menimpa seorang anak kecil berinisial AAL berusia 15 tahun asal Palu, Sulawesi Tengah pada tahun 2012 lalu. Ia di sidang karena diduga mencuri sendal jepit. Walaupun tergolong dugaan pencurian biasa, akan tetapi karena yang dicuri adalah sendal jepit milik Brigadir (Pol) Satu, Ahmad Rusdi Harahap, AAL harus menghadapi jerat pasal 362 KUHP dengan ancaman maksimal tuntutan 5 tahun penjara. Pada kasus lain, perlakuan berbeda dilakukan terhadap kasus hukum yang menyeret masyarakat kelas atas seperti pada kasus korupsi. Data Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun yang sama dengan kasus pencurian tadi, yakni pada tahun 2012 menunjukan koruptor rata-rata hanya dihukum di bawah dua tahun. Pada 2010, sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen hanya dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Sedangkan, 87 kasus divonis 3-5 tahun, 13 kasus atau 2,94 persen divonis 6-10 tahun. Ada pun yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya dua kasus atau 0,45 persen. Dua contoh ketimpangan penegakan hukum tersebut tentu kembali mempertanyakanya adagium yang selalu diajarkan dalam kelas dan menjadi kredo, doktrin klasik bahwa semua sama kedudukannya dihadapan hukum.

Pada konteks lain, metode pembelajaran hukum di ruang-ruang kelas hari ini sangat doktrinal dan tidak dialogis. Walaupun telah menyelenggarakan metode pembelajaran berbasis pelajar/mahasiswa Student Centered Learning (SCL), akan tetapi pada prakteknya kelas cenderung monolog dimana dosen sebagai pusat dan sumber kebenaran informasi pengajaran. Itulah mungkin yang menjadi sebab banyak kredo-kredo doktrinal yang diajarkan turun-temurun tetapi tidak kontekstual lagi dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada (ahistoris). Terlebih lagi, jika pada satu ruang kelas, jumlah mahasiswa terbilang banyak yang diperhadapkan pada satu orang dosen saja. Dapat diambil contoh pada Fakultas Hukum Unhas, berdasarkan data jumlah mahasiswa aktif per akhir tahun 2016 adalah 1982 mahasiswa. Jumlah yang terbilang tidak sedikit, untuk 96 dosen tetap yang ada. Selain itu, beberapa permasalahan klasik seperti tabrakan jadwal mengajar dosen dan ketidakjelasan garis-garis besar rancangan pembelajaran (GBRP) pada satu mata kuliah membuktikan adanya ketidakefektifan dalam proses pengajaran hukum yang berlangsung saat ini.

Membentuk Humanitas Hukum, Mengembalikan Mahasiswa Hukum pada Basis Sosialnya

SCL pada hakekatnya bukanlah suatu metode ajar melainkan sebuah paradigma. Paradigma tersebut menempatkan kampus sebagai pihak yang menciptakan situasi dan kondisi yang mampu membawa peserta belajar menemukan dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan membentuk komunitas belajar yang dapat menemukan dan menyelesaikan persoalan belajar.Lebih jauh Zeiss (1996) menguraikan bahwa kampus menciptakan lingkungan belajar yang mampu menciptakan hubungan partnership dengan peserta belajar dalam memelihara kegiatan pembelajaran. Dengan demikian kampus adalah sarana pemenuhan kebutuhan kepentingan mahasiswa dalam mengembangkan kreativitas dirinya baik di dalam dan di luar kelas, yang tidak hanya selesai pada menempatkan siswa sebagai pengajar menggantikan dosen yang menjadi fasilitator di ruang kelas saja, melainkan menjangkau hingga aspek eksternal ruang-ruang kelas seperti diskusi dan kajian non-formal di sudut-sudut kampus.

Paradigma SCL tidak dapat dikatakan selesai hanya pada menggantikan posisi dosen sebagai pengajar dalam kelas, melakukan presentase, lalu menempatkan dosen sebagai pendengar yang kemudian berakhir pada subyektivitas mahasiswa dalam menyimpulkan suatu hal. Kampus dituntut untuk menciptakan suasana bagaimana pelajar dapat dengan mudah mengembangkan materi keilmuannya pada setiap kondisi yang ada, di dalam hingga di sudut-sudut kampus. Sedangkan dosen, mestilah menjadi penengah kesimpulan yang obyektif hasil dari diskusi-diskusi mahasiswa tersebut. Dosen mesti meninggalkan ekslusivitas mereka dan kembali kepada mahasiswa sebagai mitra diskusinya. Dengan demikian, tercipta harmonisasi yang efektif pada pengembangan tiap bidang keilmuan. Pada konteks pendidikan hukum, metode pembelajaran mesti diprioritaskan bagaimana membentuk mahasiswa hukum yang tidak hanya tahu hukum melalui doktrinasi dalam kelas yang positivistik, tetapi paham terhadap realitas sosial yang menunggu mereka di masyarakat.

Basis sosial mahasiswa hukum pada dasarnya adalah masyarakat. Nantinya pada praksis dan implementasi hasil pengajaran dalam bangku kuliah ujung-ujungnya akan menemui masyarakat sebagai subyek hukumnya. Maka selama persiapannya di dalam kampus, mahasiswa seyogiyanya harus selalu turun ke masyarakat untuk menangkap realitas sosial dan mengkontekskan keilmuan hukum mereka. Jarang sekali di dalam mata kuliah yang ada pada perguruan tinggi hukum, menurunkan mahasiswa untuk belajar pada masyarakat. Memang, ada satu dua mata kuliah yang mengharuskan mahasiswa keluar dari kampus, tetapi muaranya selalu pada institusi pengadilan dimana praktik nyata ahistorikal pendidikan hukum kita terjadi. Alhasil, doktrin hukum yang dibawa dari dalam kampus menjadi senjata pembenaran pada segala tindakan hakim yang dilihat oleh mahasiswa dan kemudian menjadi contoh bagi mereka.Padahal nyatanya terdapat hubungan struktural kelas yang memengaruhi segala praktik hukum yang terjadi.

Menjawab ketidakselarasan antara apa yang didoktrinkan kepada mahasiswa hukum di ruang kelas dengan realitas sosial yang terjadi. Maka perlu upaya konkret perubahan tata pendidikan hukum yang ada. Mahasiswa jangan dijauhkan oleh basis sosial mereka. Mahasiswa hukum dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ada banyak metode pengajaran yang dapat dilakukan oleh dosen dalam membentuk kepribadian mahasiswa hukum yang humanis. Pengertian humanis di sini dimaksudkan bahwa para penegak hukum nantinya bukanlah robot atau ‘tukang jagal’ kekuasaan, melainkan insan yang melakukan praktik hukum dengan mengedepankan sisi kemanusiaan yang tahu betul makna keadilan yang obyektif, atau setidaknya dapat betul-betul melaksanakan adagium “semua sama kedudukannya dihadapan hukum”.

Contoh kasus sengketa tanah Bara-Baraya di Makassar hari ini yang bermuara pada konflik aparat TNI dan masyarakat bisa menjadi alternatif diaktifkannya kembali mahasiswa hukum, terlebih pada mahasiswa Fakultas Hukum Unhas untuk kembali pada basis sosialnya. Mungkin saja hari ini, tidak semua mahasiswa di Fakultas Hukum Unhas tahu persis masalah hukum tersebut. Olehnya, dosen haruslah cerdas dalam menempatkan mahasiswa untuk berpartsisipasi aktif pada penyelesaian suatu permasalahan hukum pada masyarakat sebagai bekal pembelajaran mereka pada kondisi yang lebih berat lagi nantinya. Tidak hanya terkurung kaku pada monologis pembelajaran dalam kelas atau praktik kompetisi/lomba yang siginifikansinya masih dipertanyakan. Ada beberapa macam metode yang dapat digunakan, salah satunya dosen menugaskan pemantauan perkembangan hukum, melakukan advokasi pada kasus tersebut, atau setidaknya melakukan wawancara langsung dengan masyarakat untuk mengetahui bagaimana struktur sosial apabila diperhadapkan pada hukum. Dengan demikian mahasiswa hukum menjadi lebih humanis, jauh dari kesan kaku dan eksklusif. Mereka menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat.

Kondusivitas diskusi sekitar Fakultas Hukum Unhas juga menjadi penting untuk diperhatikan. Ruang-ruang diskusi mesti dibuka lebar dan tanpa mekanisme yang berbelit serta kaku. Dilaksanakannya diskusi dan lapak baca yang diselenggarakan setiap hari Kamis atas inisiasi beberapa organisasi seperti Kelas Literasi, Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas, Himpunan Mahasiswa Islam Komsiariat Hukum, dan Organisasi Studi dan Aktualisasi Pancasila, menjadi contoh konkret bagaimana mahasiswa atas inisiatifnya berusaha mengembangkan dan memacu daya kritis mereka terhadap wacana yang berkembang di masyarakat serta kajian terhadap pertarungan ideologi yang ada di dunia. Hal tersebut  yang mesti disuburkan dan dipelihara, sehingga mahasiswa tidak selesai pada doktrinal saja melainkan mampu mengangkat nalar kritis permasalahan hukum yang ada. Pada akhirnya, upaya membangkitkan humanitas hukum dapat dilakukan dengan mengubah paradigma belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa, meninggalkan kesan ekslusivitas dosen terhadap mahasiswa dan ekslusivitas antara mahasiswa terhadap masyarakat, serta membangun sarana-sarana pembelajaran alternatif melalui pembentukan ruang diskusi dan membumikan budaya literasi. Dengan begini, pendidikan hukum kita dapat secara efektif melakukan kontruksi sosial yang sesuai dengan cita-cita negara sesuai dengan Pancasila sebagai landasan filosofisnya dan masyarakat sebagai basis sosialnya.

“When injustice becomes law, resistance becomes duty.”, Thomas Jefferson

REFERENSI

Paul Spicker, Poverty and Welfare State, Dispelling the Myths, London: Catalyst, 1995, hlm. 22. Dikutip dari Jurnal Departemen Kajian dan Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, Otonomi Keuangan PTN-BH, akses pada tanggal 28 Maret 2017.

Rakhmat, Jalaluddin, 2000, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar?, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,.

Prasetyo, Eko, Brengseknya Pendidikan Hukum Di Indonesia, Indoprgress.com, https://indoprogress.com/2015/05/brengseknya-pendidikan-hukum-di-indonesia/, Akses pada 30 Maret 2017.

Wibowo, Ari ,Kejamnya Keadilan Sandal Jepit, http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/09445281/Kejamnya.Keadilan.Sandal.Jepit., Akses pada 30 Maret 2017.

Damayanti, Anita, Rasio Dosen FH-UH, Perlu Penataan Kembali, Makassar: Buletin Eksepsi, 2016, edisi I/LPMH-UH/XXI/XII/2016.

Barr & Tagg:1995, Dikutip dari Guntur Saragih, Refleksi Student Centered Learding, selengkapnya di http://www.kompasiana.com/guntur_saragih/refleksi-student-centered-learningscl_57de4183d67a617040c58850, akses pada tanggal 30 Maret 2017.

Paul Spicker, Poverty and Welfare State, Dispelling the Myths, London: Catalyst, 1995, hlm. 22. Dikutip dari Jurnal Departemen Kajian dan Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, Otonomi Keuangan PTN-BH, akses pada tanggal 28 Maret 2017 pukul 23:00 Wita.

Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar?, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, hlm. 54.

Eko Prasetyo, Brengseknya Pendidikan Hukum Di Indonesia, Indoprgress.com, https://indoprogress.com/2015/05/brengseknya-pendidikan-hukum-di-indonesia/, Akses pada 30 Maret 2017 pukul 10:11 WITA.

Ary Wibowo, Kejamnya Keadilan Sandal Jepit, http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/09445281/Kejamnya.Keadilan.Sandal.Jepit., Akses pada 30 Maret 2017 pukul 10:20 WITA.

Anita Damayanti, Rasio Dosen FH-UH, Perlu Penataan Kembali, Makassar: Buletin Eksepsi, 2016, edisi I/LPMH-UH/XXI/XII/2016.

Barr & Tagg:1995, Dikutip dari Guntur Saragih, Refleksi Student Centered Learding, selengkapnya di http://www.kompasiana.com/guntur_saragih/refleksi-student-centered-learningscl_57de4183d67a617040c58850, akses pada tanggal 30 Maret 2017 pukul 11:50 WITA.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan