web analytics
header

Tiga Serangan Untuk Lemahkan KPK

Guru Besar Hukum Universitas Bosowa Prof. Marwan Mas (Kiri), Dosen Ilmu Pemerintahan Unismuh Makassar Andi Luhur Andi Prianto (tengah) Koordinator Peneliti Badan Pekerja ACC Wiwin Suwandi saat Diskusi Tematik dengan tema "Urgensi Revisi UU KPK dan Penuntasan Kasus E-KTP di Cafe Chopper, Senin (3/4). Kas

Guru Besar Hukum Universitas Bosowa Prof. Marwan Mas (Kiri), Dosen Ilmu Pemerintahan Unismuh Makassar Andi Luhur Andi Prianto (tengah) Koordinator Peneliti Badan Pekerja ACC  Wiwin Suwandi saat Diskusi Tematik dengan tema
Guru Besar Hukum Universitas Bosowa Prof. Marwan Mas (Kiri), Dosen Ilmu Pemerintahan Unismuh Makassar Andi Luhur Prianto (tengah) Koordinator Peneliti Badan Pekerja ACC Wiwin Suwandi (kanan) saat Diskusi Tematik dengan tema “Urgensi Revisi UU KPK dan Penuntasan Kasus E-KTP di Cafe Chopper, Senin (3/4). Kas

Makassar, Eksepsi Online – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bosowa Prof. Marwan Mas mengatakan, upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu melalui tiga bentuk serangan. “Serangan yudisial, serangan kriminalisasi dan serangan legislasi”. Hal ini ia ungkapkan saat Diskusi Tematik dengan tema “Urgensi Revisi Undang-Undang KPK dan Penuntasan Kasus E-KTP yang dilaksanakan oleh Anti Corruption Committee bekerjasama Transparency International Indonesia di Café Chooper, Jl. Kasuari No.14, Makassar, Senin (3/4).

Menurut Prof. Marwan Mas, serangan yudisial dilakukan dengan mengajukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) untuk di judicial review di Mahkamah Konstitusi. Salah satu yang berhasil dan dinilai juga ada bagusnya adalah Pasal 53 sampai Pasal 62 UU KPK terkait pemeriksaan di pengadilan tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, serangan kriminalisasi. Serangan ini ditujukan kepada para pimpinan maupun penyidik KPK. Jika kita melihat kriminalisasi sudah tiga kali dilakukan. “Ada tiga kali konflik yang terjadi antara KPK dengan Polri pada 2009, 2012 dan 2015,” kata Prof. Marwan Mas.

Dia menjelaskan, kasus kriminalsiasi pertama terhadap pimpinan KPK dialami Bibit-Chandra pada tahun 2009. Saat itu Kabareskrim Polri Susno Duaji merasa disadap oleh KPK dalam pencairan dana pengembalian uang  Bank Century. Kasus kedua yaitu perebutan proses penyidikan kasus korupsi Simulator SIM dengan tersangka Joko Susilo. Saat itu yang mengalami kriminalisasi Novel Baswedan selaku penyidik KPK. Ketiga pada 2015 yang menimpah pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjayanto.

Serangan ketiga menurut Prof. Marwan Mas melalui legislasi. Caranya dengan melakukan revisi terhadap UU KPK. Hal ini selalu terjadi karena hingga kini pemerintah (eksekutif, Red) masih memasukkan revisi UU KPK ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas).

“Itu masuk di prolegnas sehingga selalu diungkit-ungkit terus oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mestinya Presiden Joko Widodo secara konsisten kalau memang dia tidak mau mengubah, tidak mau merevisi, maka secara konsep jangan dimasukkan ke prolegnas, kalau dimasukkan ke prolegnas jadi masih ada intrik politiknya,” jelasnya.

Ia menilai UU KPK saat ini tidak perlu direvisi. Kalau pun  ingin direvisi, revisi tersebut mengarah pada penguatan KPK. “Kewenangan yang perlu ditambahkan adalah kewenangan KPK untuk memilih dan menetapkan sendiri penyidik internalnya diluar kepolisian dan kejaksaan,” pungkasnya. (Kas)

Related posts: