web analytics
header

Kepergianmu

Sumber: google.com

hari-ayah-600x399-59054c53769773e74c8835dfSumber: google.com

Nur Hikmah

(Pengurus LPMH-UH Periode 2017-2018)

Awan gelap mulai muncul diiringi suara petir yang menggelegar. Burung-burung pun kembali ke sarangnya. Derai hujan mulai membasahi bumi, kian lama kian deras. Bau tanah mulai merasuk keindra penciumanmu. Desiran angin mulai menerpa wajahmu. Kau hanya bisa terpaku menatap hujan. Kesedihan jelas terpancar dari matamu. Senyum yang selalu merekah dibibirmu, kini telah lenyap. Suara isak tangis tak dapat diredam oleh hujan. Saat semua orang menangis, kau tampak tegar. Kau berusaha kuat didepan orang lain. Meskipun hatimu hancur, kau tak menunjukkannya. Kepergian orang yang kau cintai itu, membawa pergi separuh jiwamu. Bertahun-tahun lamanya kau tak bertemu dengannya. Hingga tiba hari dimana dia dijemput oleh sang malaikat maut pun, kau masih tak bisa melihat rupanya untuk terakhir kalinya. Bahkan sampai saat ini kau tidak bisa berkunjung ke pemakamannya.

-#-

 Perkenalkan, aku Rangga Saputra Wijaya, mahasiswa salah satu perguruan tinggi di kota Makassar. Saat ini, aku tinggal di salah satu kos di dekat kampus. Aku lahir di pulau Jawa dan dibesarkan di kota Bone,Sulawesi Selatan. Ayahku bernama Rudi Wijaya dan ibuku bernama Melinda. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Adikku bernama Khalista Saputri Wijaya dan Viola Saputri Wijaya.

Matahari mulai bangkit dari peraduaannya. Kicauan burung mulai terdengar di telingaku. Aku mencoba membuka mata dan bangkit dari tidurku. Aku melirik jam pada ponselku, sekarang sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi, aku harus bergegas ke kampus. Setelah kurang lebih dua jam, aku pun siap berangkat ke kampus. Aku melangkahkan kakiku keluar dari kos. Aku bergegas menaiki motor butut kesayanganku.

Hari ini matahari bersinar sangat cerah, kuharap ini pertanda baik untukku. Aku mulai mengendarai motorku menuju kampus tercinta, tempatku menimba ilmu. Sesampai di kampus, aku melakukan rutinitas perkuliahan seperti biasa. Ditengah proses perkuliahan, tiba-tiba ponselku berdering. Aku langsung mengecek layar ponselku, ternyata itu telepon dari adikku di kampung. Perasaanku jadi tidak enak, tidak biasanya adikku menelepon diwaktu seperti ini. Tanpa pikir panjang, aku pun langsung meminta izin kepada dosen untuk keluar dan mengangkat teleponnya.

 

 “Assalamualaikum kak”, ucapnya dengan suara serak.

“Waalaikumsalam dik, ada apa?”, jawabku dengan nada khawatir.

“Kakak lagi dimana?”, tanyanya.

“Kakak lagi di kampus, kenapa menelepon dik?”, tanyaku semakin penasaran.

Adikku terdiam cukup lama, aku mulai mendengar suara isak tangisnya. Aku semakin khawatir dibuatnya. Tak lama dia mulai bersuara, “Ayah sudah tidak ada kak, dia telah pergi meninggalkan kita semua”, ucapnya sambil terisak.

            Aku langsung terpaku mendengar kata-kata adikku. Seketika itu juga, aku merasa duniaku ikut runtuh. Bagiku ini terasa sangat tiba-tiba. Aku tahu, ayah sudah lama terbaring di tempat tidur karena penyakit stroke-nya. Penyakit itu membuat ayah mengalami kelumpuhan total. Sejak sepuluh tahun yang lalu ayah tinggal di rumah keluargadi Jawa untuk berobat. Dan sejak itu juga, aku, ibu dan kedua adikku tinggal terpisah dengan ayah.Kami tidak pernah lagi melihat ayah.

Walaupun  begitu, kami tidak pernah melupakan ayah. Kami selalu menelepon keluarga di Jawa untuk menanyakan keadaan ayah. Mereka hanya terus mengatakan ayah tidak ada perkembangan. Tetapi aku percaya, suatu saat nanti ayah pasti akan sembuh. Namun, itu semua hanya harapanku saja. Kini, ayah telah tiada, pergi untuk selamanya. Aku merasa semua ini hanya mimpi. Kilas balik ingatanku tentang ayah mulai muncul satu persatu.

Saat dia mengajariku berjalan. Saat dia mendekap erat tubuhku. Saat dia memberiku nasehat. Semuanya masih terekam dengan jelas dibenakku. Dia yang selalu melindungiku. Dia yang menjadi panutanku. Dia yang menjadi alasanku untuk cepat sukses. Ya, dialah. Ayahku.

Setelah terpaku cukup lama, aku langsung tersadar. Badanku terasa kaku untuk bergerak, seolah tenagaku telah terkuras habis. Aku mencoba melangkahkan kakiku kembali ke kelas. Setelah mendapat izin dari dosen yang sedang mengajar, aku pun bergegas pulang ke kos. Perjalananku ke kos, kini terasa sangat jauh. Hatiku terasa sangat hampa. Aku merasa ada yang hilang dari diriku. Aku kehilangan sosok ayah. Aku mencoba untuk terus menguatkan diriku.

Akhirnya, setelah cukup lama, akhirnya aku sampai dikos. Aku langsung menuju kamarku dan berkemas. Tak lupa, aku menelepon sopir mobil yang akan  membawaku pulang menuju kampung tempatku dibesarkan.

Aku teringat perkataan adikku tadi sebelum menutup telfon, “Kak, ayah akan dimakamkan di Jawa, ibu sudah berangkat ke sana, kita semua tidak bisa ikut karena biayanya sangat mahal, tapi aku harap kakak bisa pulang ke rumah dan berkumpul dengan keluarga yang lain”.  Aku sadar untuk saat ini, kami semua tidak bisa berangkat ke Jawa, tapi pasti aku akan pulang ke rumah. Aku tidak bisa membiarkan adik-adikku bersedih sendiri disana.

Setelah menunggu kurang lebih satu jam, mobil yang akan membawaku pulang telah tiba di depan kos. Aku pun segera masuk ke dalam mobil demi mempercepat ketibaanku dirumah. Diperjalanan pulangku, kuhabiskan waktu dengan mengingat kenanganku bersama ayah. Tak terasa air mata menetes  mataku. Aku langsung menghapusnya. Aku tak bisa menangis. Aku teringat kata-kata ayah,“Laki-laki itu tidak boleh menangis, kau satu-satunya putra ayah, kau harus bisa menjaga ibu dan kedua adikmu”. Meskipun saat itu aku masih sangat kecil, tapi aku tidak pernah lupa kata-kata ayah. Aku merindukanmu ayah, sosok yang sangat aku cintai. Meskipun kita sudah tidak pernah bertemu bertahun-tahun lamanya, namun kau selalu kukenang di hatiku.

Related posts:

GARIS TAKDIR

Oleh: Imam Mahdi A Lekas lagi tubuhku melangkahMelawan hati yang gundahKe ruang samar tanpa arah Sering kali, ragu ini menahan

Dialog Temaram dalam Jemala

Oleh: Naufal Fakhirsha Aksah (Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas) Bagaimana kabarmu? Kabar saya baik, Tuan.  Bagaimana sejak hari itu? Sungguh, saya

Bukan Cerita Kami

Oleh: Akhyar Hamdi & Nur Aflihyana Bugi Bagaimana kau di kota itu, Puan? Kudengar sedang masuk musim basahTidak kah ingin