web analytics
header

Idealnya Ruang Kelas Sebagai Wadah Berdialektika

Sumber : www.itp.ac.id

Sumber : www.itp.ac.id
Sumber : www.itp.ac.id

Fadhilah Amalia Syarif

(Reporter LPMH-UH Periode 2017-2018)

Ruang kelas adalah suatu hal yang kompleks dan dinamis sesuai hakikat manusia. Kompleks yang dimaksud ditandai dengan aktivitas ideologis yang mempengaruhi aktor-aktor yang ada di dalam “ruang kelas” dan kedinamisan ini adalah konsekuensi logis dari ketidakparipurnaan manusia.

Di dalam ketidakparipurnaan inilah, pendidikan dimungkinkan sebagai usaha mencapai cita-cita yang sesuai pada hakikatnya sebagai manusia. Kesadaran akan ketidakparipurnaan menjadikan pendidikan sebagai aktivitas kreatif. Pendidikan seharusnya menjadi proses yang progres menuju pemenuhan hakikat manusia yang belum seutuhnya. Jika dibenturkan dengan pendidikan sebagai proses yang progress maka pengetahuan semestinya diperoleh melalui dialog terus-menerus dengan realitas secara utuh.

Realitas secara utuh yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang semestinya diproblemkan oleh subjek-subjek pencari pengetahuan melalui dialektika di antara mereka. Maka dari itu, ruang kelas harus dipahami dulu sebagai salah satu wadah dalam berdialektika, sehingga pahaman tentang ruang kelas seperti demikian akan memposisikan mahasiswa atau siswa sebagai kawan berpikir yang sama-sama memikirkan realitas yang diproblemkan sebagai suatu pengetahuan bersama. Bukan meposisikan mahasiswa atau siswa sebagai bejana kosong yang terus-menerus harus disuapi. 

Jika mahasiswa atau siswa diposisikan sebagai bejana kosong, yakinlah di ruang kelas dosen atau guru dianggap sebagai pendongeng di ruang kelas, karena tidak ada interaksi dua arah yang terjadi, dimana konsepnya yaitu mahasiswa atau siswa memposisikan dirinya sebagai orang yang sama sekali tidak tau apa-apa dan untuk mengetahui sesuatu apapun harus melalui dosen atau guru. Maka budaya malas belajar akan beranak-pinak dan budaya kritis mahasiswa atau siswa akan termatikan dalam pendidikan di negeri ini. Hal itu karena adanya anggapan, untuk apa mencari tahu jika ada dosen atau guru yang bisa memberi tahu, karena beliau lebih menjangkau pengetahuan tersebut dan anggapan mahasiswa atau siswa bahwa apapun yang dikatakan dosen atau guru di ruang kelas merupakan sebuah kebenaran yang tidak perlu dicari validitasnya, apa lagi untuk dibantah. 

“Ruang kelas” akan hidup jika ia selalu ada bersama dengan realita sosial yang dipermasalahkan dan lambat laun akan mati jika aktor-aktor dalam realitas sosial tersebut sudah enggan untuk saling berdialektika.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan