web analytics
header

Mengapa Gerakan Mahasiswa Semakin Sepi?

Sumber: Griyapena

Sumber: Griyapena
Sumber: Griyapena

Andi Muhammad Samman

(Koordinator Departemen Diklat Anggota HMI Komisariat Hukum Unhas Cabang Makassar Timur)

Reformasi mengingatkan kita bahwa gerakan mahasiswa di masa lalu menjadi sebuah romantika kemenangan besar gerakan mahasiswa dan selalu coba ditransformasikan pada setiap pengaderan lembaga kemahasiswaan hari ini. Mahasiswa dianggap kelas yang paling bertanggungjawab atas penegakan moral dalam masyarakat, setidaknya itu dibuktikan melalui keruntuhan era orde baru dimana mahasiswa menjadi aktor utama dalam melengserkan Soeharto.

Keruntuhan orde baru ternyata tidak ditanggapi secara progresif oleh mahasiswa di generasi selanjutnya. Ada keresahan yang kemudian memunculkan asumsi  dan pertanyaan, ke mana arah gerakan mahasiswa akan berlabuh kini? Beberapa pertanyaan seperti, apa penyebab kemunduran dan kepekaan mahasiswa terhadap realitas sosial hari ini; apakah kepentingan antar kelompok mahasiswa yang saling bersinggungan? Intelektualitas mahasiswa yang bergeser ke arah budaya konsumtif?  Ataukah ada relasi kekuasan birokrasi kepada kelompok mahasiswa tertentu yang menyebabkan sekat sesama mahasiswa?

Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan itu dan dengan melihat stagnasi gerakan mahasiswa hari ini, tulisan ini secara sederhana mencoba melihat realitas kekinian mahasiswa ‘zaman now’ yang baru saja menginjakkan kakinya di kampus. Penulis melihat ada pergeseran paradigma dari mahasiswa pergerakan ala Soe Hok Gie bergeser menjadi mahasiswa ala kompetitor perlombaan, dimana bercita-cita menang kompetisisi debat, menjadi penulis naskah ilmiah terbaik, lalu wajahnya dipasang di baliho depan kampus. Apakah ini sebenarnya bentuk pergerakan mahasiswa kekinian? Ataukah justru upaya meredam terciptanya mahasiswa kritis yang mampu menggoyahkan pemerintahan?

Penyebab Kemunduran Gerakan Mahasiswa

Ada beberapa pendapat sederhana yang penulis temukan mengenai hal apa yang menjadi penyebab kemunduran gerakan mahasiswa. Penulis berangkat dari sejarah kelam efek normalisasi kehidupan kampus di masa lalu, yang berimplikasi terhadap realitas gerakan mahasiswa sekarang.

Di masa lalu, anda tentu tidak lupa dengan kebijakan orde baru mengenai normalisasi kehidupan kampus yang dilakukan secara sentralistik oleh negara lewat program NKK/BKK. Kebijakan tersebut kemudian yang menjadi dasar mematikan organisasi internal kampus, semisal senat mahasiswa yang pada waktu itu pusat gerakan mahasiswa, kemudian diiringi dengan pendirian Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang mengalihkan energi mahasiswa kearah minat dan bakat persis seperti yang terjadi hari ini.

Tentu kita dapat curiga hal tersebut yang memutus kultur gerakan mahasiswa sehingga terjadi dekadensi arah gerakan mahasiswa di masa lalu dan era sekarang. UKM menyebabkan hilangnya ketertarikan mahasiswa untuk memahami realitas di luar kampus yang sarat dengan persoalan sosial, politik, dan ekonomi bangsa. Mengalihkan konsentrasi mahasiswa menyebabkan kemunduran gerakan mahasiswa. Efek pendirian UKM menyebabkan mahasiswa secara struktural dan kultural sukarela menerima kontrol birokrasi kampus melalui kebijakan yang hampir selalu dalam sejarahnya merupakan alat mematikan daya kritis mahasiswa, ibarat “musuh dalam selimut” bagi gerakan mahasiswa.

Pendapat kedua, penulis  mungkin lebih spekulatif dari pada pendapat pertama, bahwa penyebab lainya adalah bergesernya kultur intelektualitas mahasiswa ke arah budaya konsumtif. Konsumsi bukan hanya soal membeli barang dan memakainya, namun kebudayaan konsumtif menentukan cara kita berinteraksi dan hidup di lingkungan sosial kita.

Budaya konsumtif yang dibangun melalui budaya populer yang kemudian oleh industri kapitalisme menciptakan produk-produk yang memaksa mahasiswa berorientasi untuk menghidupkan citranya menjadi penyusup dalam mematikan nalar kritis manusia. Setidaknya itu yang dikatakan Herbert Marcuse dalam One Dimensional Man (1964) bahwa citra menjelma menjadi mantra gaib yang menyusup ke segala sisi kehidupan individu dan masyarakat, bahkan memainkan peranan besar dalam dunia politik dan kekuasaan.

Meminjam istilah Pierre Bourdieu mengenai Habitus yang berubah dan mengkondisikan perubahan lingkungan kultural serta menciptakan keadaan dimana produksi wacana kritis melalui budaya intelektual terkikis habis disebabkan oleh perubahan gaya hidup mahasiswa itu sendiri, yang orientasinya adalah citra.

Dalam pandangan Jean Baudrillard, ia melukiskan hal tersebut sebagai hiperrealitas yang merupakan kondisi kaburnya tanda dan realitas yang dalam penggambaranya melalui analogi larutnya Televisi (TV) ke dalam kehidupan dan larutnya kehidupan ke dalam TV. Kondisi itu menggambarkan sesuatu yang nyata, menjadi utama, lalu berkuasa.

Kita kemudian menjadi budak simulasi, yang menciptakan lingkaran yang tidak berpangkal. Sederhananya, kemunduran gerakan mahasiswa disebabkan oleh pengaruh gaya hidup mahasiswa dan aktivis-aktivisnya yang semakin terpesona oleh budaya popular yang kita tahu dimotori oleh teknologi dan informasi, hiperrealitas media, dan dunia hiburan yang menyembunyikan kesenangan.

Pendapat terakhir penulis yaitu, adanya relasi kekuasaan birokrasi dengan institusi politik terhadap lembaga kemahasiswaan yang menyebabkan lemahnya independensi gerakan mahasiswa. Kondisi ini menciptakan relasi kekuasaan baru yang  menjangkit tubuh mahasiswa serta menjerat gerakan mahasiswa dalam pusaran kepentingan politik yang memperalat gerakan mahasiswa itu sendiri.

Itu dibuktikan dengan munculnya organisasi underbouw partai politik dan terlibatnya birokrasi kampus dalam kontestasi politik nasional maupun lokal. Tentu hari ini kita sering melihat politisi-politisi yang sedang berkontestasi politik di daerah “bergandengan tangan” dengan birokrasi kampus di hadapan mahasiswa-mahasiswanya. Sayangnya, mahasiswa baru menjadi “korban” utama pencitraan tersebut.

Dengan segelumit pendapat tadi, akhirnya gerakan mahasiswa yang idealnya independen mengalami stagnasi dan kemunduran orientasi gerakan sosial yang memunculkan ambiguitas dan kejumudan.

Membangun Gerakan Kolektif sebagai Solusi Alternatif

Amirul Mukminin Imam Ali as pernah berkata, kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Sebuah kalimat profetik seorang pemimpin Islam di masa lampau. Kalimat tersebut menyiratkan pentingya mengorganisir kebaikan dalam memukul mundur sebuah kedzaliman.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa di tengah produksi kebudayaan dan seringya terjadi friksi dan konfrontasi antar sesama organ mahasiswa dalam kampus, perlu kemudian solusi alternatif dalam membangun gerakan mahasiswa yang kian sepi.

Seharusnya kita banyak belajar dari revolusi Republik Islam Iran bagaimana kelompok Islam dan kelompok kiri sosialis bersatu menumbangkan rezim Syah Pahlevi. Bagaimana kemudian, pemuda menjadi motor revolusi yang fenomenal tersebut. Namun pemuda atau mahasiswa mesti maju sebagai generasi yang paling di depan memegang tanggungjawab intelektual. Intelektualitas mahasiswa di perguruan tinggi mesti menjadi menara api. Menara cahaya bagi masyarakat luas.

Mahasiswa yang menjadi aktor intelektual dalam institusi pendidikan tinggi mempunyai tanggungjawab membebaskan rakyat dari belenggu ketidakadilan, kebodohan dan kemiskinan. Keadaan yang semakin hari semakin mengkhawatirkan ini diharapkan sebagai pemicu bersatunya gerakan mahasiswa memupus sepinya jalan ini.

Diam bukan lagi emas, serta duduk di bangku perkuliahan dan memenangkan semua piala bukan lagi jalan yang benar. Di tengah ketertindasan dan hadirnya diskriminasi sosial, mahasiswa mesti membangun simpul gerakan sebagai solusi konkret melawan dominasi. Organisasi kemahasiswaan, organisasi kepemudaan, serta organisasi minat bakat mesti keluar dari tempat nyaman mereka dan bersatu. Karena dengan begitu, jalan perjuangan ini akan kembali ‘ramai’.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan