web analytics
header

Kewarganegaraan: Ilusi atau Nyata?

Sampul buku Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan

Sampul buku Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan
Sampul buku Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan

Munif A

(Anggota Magang LPMH-UH Periode 2017-2018)

Resensi Buku

Judul              : Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan Dari Marx sampai Agamben

Penulis           : Robertus Robet & Hendrik Boli Tobi

Peneribit         : Marjin Kiri

Tahun             : 2014

Tebal              : ix + 219 hlm, 14 x 20,3 cm

Kewarganegaraan telah menjadi hal yang paling esensial sepanjang hayat individu. Dengan dunia yang telah terpetakan garis-garis artifisial kenegaraan sekaligus arus deras globalisasi yang tak terbendung, kompleksitas kehidupan tentu hal yang niscaya. Untuk di Indonesia sendiri, kewarganegaraan mungkin dapat diasosiasikan pada perjuangan pahlawan-pahlawan nasional menentang penjajah, Pancasila ataupun Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bendera merah putih, lagu Indonesia Raya, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn), Kartu Tanda Penduduk (KTP), tim nasional sepak bola, acara televisi si Unyil, dan bahkan produk-produk kapitalis komprador (pribumi). Berbagai hal tersebut setidaknya telah dapat merepresentasikan “kewarganegaraan”.

Jika menarik definisi, kewarganegaraan dapat memiliki pengertian serta pemaknaan yang begitu luas. Ia dapat berupa ikatan identitas, subjek politik, seperangkat hak dan kewajiban, ataupun anggota dari komunitas tertentu. Kewarganegaraan mencakup perihal ekonomi, kebudayaan, politik, hukum, dan lainnya. Buku ini telah membahasnya dengan cukup komprehensif dan mengakomodir berbagai spektrum. Dengan terpetakan menjadi 10 bab yang merepresentasikan delapan pandangan mengenai kewarganegaraan, dari Marx hingga Agamben.

Pandangan pemikir mengenai kewarganegaraan dalam buku ini diawali oleh Marx. Walaupun kerangka pembahasannya tidak menjadikannya sebagai permasalahan yang sentral, ia menaruh keraguan mendalam akan kewarganegaraan. Untuk menarik garis umum pemikirannya, Marx menuduh kewarganegaraan sebagai identitas semu yang justru mengaburkan pertentangan dalam masyarakat; kontradiksi antar penindas dan yang tertindas[1]. Marx hanya menyinggung kewarganegaraan pada karyanya On the Jewish Question sebagai kritik atas esai Bruno Bauer yang membahas perjuangan bangsa Yahudi agar memperoleh kewarganegaraan Jerman.Bauer berpendapat bahwa untuk mendapatkan status kewarganegaraan, bangsa Yahudi harus menanggalkan agamanya, sebab agama adalah hal yang mengalienasi mereka. Marx setuju akan agama sebagai sumber alienasi umat manusia, tetapi ia mengkritik keras Bauer sebab Bauer gagal memahami kontradiksi dan sumber utama alienasi dalam masyarakat, yakni Kapitalisme.

Max Weber menelisik kewarganegaraan melalui alur sejarah ekonomi[2]. Weber memulainya dari zaman antik Yunani Kuno, dimana kota adalah sebuah organisasi pertahanan sekaligus perpaduan antar benteng dan kota. Karena dalam situasi yang rentan akan invasi maupun ekspansi bangsa Persia dan lainnya, kewarganegaraan lahir seiring kebutuhan akan mempertahankan kota. Tahap sejarah ekonomi selanjutnya yakni zaman abad pertengahan[3], raja memberikan sistem pertahanan ke Adipati (lord) yang membuatnya semakin menguasai sarana-sarana produksi dalam masyarakat. Kewarganegaraan semakin berkembang menjadi suatu ikatan kelas-kelas dalam masyarakat. Hingga memasuki tahap modern seiring bergugurannya kekuasaan kerajaan dan gereja, kapitalisme menjadi tahap sejarah selanjutnya dengan ditandai pesatnya perkembangan negara bangsa (nation state). Akibat dari negara bangsa, kewarganegaraan bergeser dari ikatan kelas dalam masyarakat menjadi sesuatu yang lebih abstrak; bangsa.

Bab selanjutnya membahas pandangan liberal dengan mengeksplorasi pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke. Liberalisme memiliki titik tolak pada hak individual warga negara dan relasinya dengan negara. Penekanannya pada tiga hal; otonomi diri, peran dan fungsi hak individu, dan pembatasan kekuasaan negara yang dibatasi hanya sekedar pelindung properti[4] individu dalam masyarakat. Liberalisme, sebagaimana akar filsafatnnya adalah kebebasan maupun kesetaraan, penekanannya lebih kepada seperangkat hak individu ketimbang kewajiban sosial dalam bernegara. Hak yang memiliki dua tipe[5]; sipil-politik (freedom from) dan ekonomi-sosial-budaya (freedom to), liberalisme hanya menekankan pada tipe hak pertama. Namun, ada beberapa kecacatan dari pandangan ini, salah satunya adalah bahwa dengan kapitalisme kesetaraan tak akan pernah benar-benar ditegakkan. Negara sebagai pelindung kepentingan-kepentingan pribadi kian disamarkan dan seolah-olah menjadi kepentingan publik serta tidak berdayanya negara di hadapan pasar bebas.

Adapun T. H. Marshall mendefinisikan kewarganegraan sebagai keanggotaan penuh dan setara dalam komunitas politik tertentu. Iasendiri erat dengan gagasan negara kesejahteraan (walfare-state). Ia melandasi pandangannya sebab ia menemukan kecacatan dari padangan liberalisme yang berujung pada market failure (kegagalan pasar) dan ketimpangan di atas sistem kapitalisme, tetapi enggan disangkutpautkan sebagai pemikir sosialis. Garis umum pemikirannya ialah fungsi kewarganegaraan lah yang mendamaikan pertentangan kelas dalam masyarakat itu dengan peran negara menyediakan tipe hak yang kedua: ekonomi-sosial-budaya. Kewarganegaraan sebagai identitas bersama mengubah buruh (labour) menjadi citizen (warga negara) dengan jaminan hak-hak ekonomi-sosial-budaya oleh negara.

Lebih lanjutnya, pandangan Multikulturalisme turut mengambil bagian dalam buku ini. Multikulturalisme, yang awalnya dikembangkan oleh pemerintah federal Kanada pada tahun 1971, mengacu pada keberagaman kebudayaan dalam masyarakat. Adapun faktor keberagaman diakibatkan oleh kolonialisme, industrialisasi, perang, dan lainnya. Multikulturalisme dianggap menjadi jawaban akan persinggungan antar kebudayaan secara horizontal, mendamaikan pertentangan kebudayaan mayoritas dan minoritas. Namun, selanjutnya multikulturalisme membawa pada ekstrimisme kebudayaan tertentu akibat gagalnya ia membawa integrasi.

Selanjutnya, buku ini menjelaskan pandangan republikanisme cukup mendalam. Sebagaimana ia berkembang di masa Yunani dan Romawi kuno, bagian ini menggali cukup dalam gagasan Aristoteles, Cicero dan Machiavelli. Kedua pemikir republikanisme itu memiliki perbedaan cukup signifikan mengenai kewarganegaraan. Aristoteles menekankan warga negara sebagai zoon politikon dan Cicero menekankan sebagai homo legalis. Aristoteles mendefiniskan warga melalui tindakan/kebebasan dalam polis, sedangkan Cicero melalui hak dan kewajiban yang diberikanoleh hukum. Kewarganegaraan berdasarkan republikanisme merujuk pada keterlibatan aktif seseorang dalam mencapai common good atau kebajikan dalam hidup bersama.

Bab delapan memuat pemikiran Foucault. Kewarganegaraan dalam kacamata Foucault tidaklah melekat secara begitu saja, tetapi ia adalah produk dari teknologi kuasa. Sebagai salah satu yang dapat dikategorikan pemikir post-modern, pemaknaan subjek menurutnya tidaklah otonom melalui rasio sebagaimana pemahaman subjek ala Cartesian, tetapi subjek dideterminasi, dinormalisasi serta dibentuk secara historis oleh kekuasaan. Maka begitu pula dengan kewarganegaraan, ia tidak bersifat stabil, imanen, dan terberi serta mertatetapi secara diskursif dibentuk sedemikian rupa melalui hukum, administrasi penduduk, ekonomi, kebudayaan, serta gender. Sederhananya, kewarganegaraan dibentuk oleh kuasa yang tersentral (negara). Sederhananya, kewarganegaraan tidak lain bersifat artifisial sebab diproduksi oleh teknologi kuasa.

Satu bab sebelum bab terakhir membahas pandangan Agamben. Filsuf kontemporer asal Italia ini menjelaskan mengenai homo sacer[6], yang dimana homo sacer itu diartikan sebagai subjek yang terlindungi sekaligus dikeluarkan melalui hukum. Konsepsi Agamben berlandaskan oleh state of execption[7]yang dimiliki oleh kedaulatan. State of execption merupakan penundaan atau peniadaan hukum melalui hukum itu sendiri, untuk contoh kasus semisal genosida tahun 1965, terorisme 9/11, dan bahkan Jamaah Ahmadiyah yang dibahas di buku ini. Agamben menekankan bahwa kewarganegaraan tidak lain sekedar produk mesin antropologis, yang memberikan kualifikasi ideal yang mana “warga negara”. Eks-PKI, warga negara Islam di Amerika Serikat, dan Jamaah Ahmadiyah, tidak mencapai kualifikasi “warga negara” menurut kedaulatan negara, maka dari itu hak-hak mereka dikebiri sedemikian rupa. Eks-PKI dan berjuta-juta orang dibantai sedangkan warga negara Islam di Amerika Serikat dan Jamaah Ahmadiyah dipersekusi oleh negara. State of Execption ini merupakan akar dari totalitarianisme seluruh betuk negara. Agamben juga menegaskan bahwa homo sacer dan state of execption hingga kini terus berdaur ulang dan diciptakan.

Akhir bab membahas kewarganegaraan Indonesia dimulai dari masa kolonialisme hingga kini. Orang-orang Indonesia dijuluki sebagai monyet inlander oleh kekuasaan Belanda selama masa kolonialisme, hingga berkembang berbagai peristilahan setelah proklamasi, mulai dari Marhean yang dikembangkan oleh Soekarno, Proletariat oleh PKI, kaum Murba bagi Tan Malaka, hingga yang paling umum: Rakyat. Selanjutnya, kewarganegaraan di Indonesia diproyeksikan oleh rezim otoriter Orde Baru sebagai “Manusia Indonesia Seutuhnya” yang dilandasi akan Garis-Garis Besar Haluan (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Orang-orang Indonesia dibentuk seakan-akan agar tunduk pada pembangunan. Buku ini ditutup oleh solusi dari kedua penulis. Terutama Robertus Robet seorang republikanis menekankan pada pemulihan hak-hak Jamaah Ahmadiyah, perempuan dan kaum miskin dalam mencapai common good. Namun, menurut peresensi, konsepsi politik kewargaan yang diidealkan tidak pernah dapat benar-benar tercapai jikalau kapitalisme tetap mengakar, yang kemudian menihilkan kesetaraan dan tetap berkompromi kepada sebuah institusi koersif dan hirarkis: negara, yang akan dengan mudahnya memproduksi homo sacer. Mengembalikan politik ke warga hanya dapat direalisasikan melalui demokrasi langsung serta entitas-entitas masyarakat yang otonom dan sama sekali tidak tersentral oleh satu titik kedaulatan.

Catatan Kaki

[1] Untuk fase sejarah yang sedang berlangsung yakni corak produksi kapitalisme, yang dirujuk Marx tidak lain adalah pertentangan antara Borjuasi dan Proletariat.

[2] Sejarah Ekonomi yang dimaksud adalah sejarah sistem Eropa-Kontinental.Rentetan sejarah ekonomi mencakup; zaman komunal primitf, perbudakan, feodalisme, dan saat ini adalah kapitalisme.

[3] Zaman abad pertengahan adalah zaman feodalisme.

[4] Properti, jika merujuk Locke, adalah life, liberty, dan estate.

[5] Pembidangan kedua tipe hak ini diawali oleh Isaiah Berlin. Hak sipil politik bersifat negatif (negative freedom) yang berarti negara melindungi hak-haknya sedangkan hak ekonomi-sosial-budaya besifat positif (positive freedom) yang berarti negara memberikan hak-hak itu.

[6] Homo Sacer adalah manusia yang direduksi oleh hukum sedemikian rupa sehingga hak-haknya tidak dapat lagi ia miliki. Dalam tradisi hukum Romawi, Sacer diartikan “ia yang telah dihakimi atas kejahatan”.

[7] Menurut Agamben, State of Exeception merupakan penundaan atau pengaburan norma hukum yang baru melalui negara. Sebuah hukum tidak dihapus, tetapi ditiadakan ataupun ditunda, dan bahkan dikaburkan.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan