web analytics
header

Praperadilan dan Perintah Penetapan Tersangka

Sumber: Detiknews

Sumber: Detiknews
Sumber: Detiknews

Dedy Chaidiryanto

(Dewan Pertimbangan Organisasi Ledhak Unhas 2017/2018)

Kasus dugaan korupsi Bank Century yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi perhatian, setelah PN Jakarta Selatan menjatuhkan putusan dalam sidang praperadilan. Namun, yang menjadi soal dalam putusan No. 24/Pid.Prap/2018/PN tersebut, dalam amar putusan memerintahkan kepada Termohon (dalam hal ini KPK) untuk melakukan proses hukum selanjutnya, sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Centurty dalam bentuk melakukan Penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, dan Raden Pardede dkk, atau melimpahkannya kepada Kepolisian dan atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

Pertanyaannya, apakah dasar hukum yang digunakan hakim (dalam hal ini hakim praperadilan) memerintahkan penegak hukum (dalam hal ini KPK) untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka? Pengandaiannya, jikapun KPK mengikuti perintah putusan praperadilan itu, sudah tentu KPK terlebih dahulu akan melakukan penyidikan terhadap nama-nama yang disebutkan dalam amar putusan tersebut. Tetapi bagaimana jika dalam proses penyidikan itu ternyata penyidik tidak dapat menemukan alat bukti sebagai dasar penetapan status seseorang menjadi tersangka? Dalam bacaan penulis, sudah jelas hakim praperadilan mengetahui alur perkara yang terjadi dalam dugaan kasus korupsi Bank Century ini, sehingga menjatuhkan vonis demikian, tetapi merujuk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara pidana, seharusnya lapangan praperadilan tidak melebar sampai dengan memerintahkan penegak hukum untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 77 mengatur bahwa yang menjadi objek praperadilan yaitu: a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan b) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Selanjutnya mengenai objek praperadilan diperluas objeknya dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam putusan No. 102/PUU-XIII/2015 yaitu objek mengenai penetapan tersangka. Secara formil kewenangan atau ruang lingkup yang diatur mengenai praperadilan hanya sebatas pengaturan dalam KUHAP beserta perluasan objek melalui putusan MK di atas.

Menurut MK, keberadaan pranata praperadilan adalah bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia yang bersifat post facto dan pengujiannya hanya bersifat formal yang mengdepankan unsure objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan. Penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik dan merupakan perampasan terhadap hak asasi seseorang. Maka MK menambah objek praperadilan yaitu dengan penetapan tersangka.

Adapun norma yang terdapat dalam hukum acara merupakan norma yang sempit, berbeda halnya dengan hukum pidana materil yang normanya berisikan mengenai larangan dan kewajiban. Ketika suatu perbuatan tidak dilarang atau tidak diwajibkan maka hal tersebut dapat dilakukan dan tidak tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Adapun hukum pidana formil yang normanya rigid dan tidak dapat ditafsirkan karena hukum acara berbicara mengenai tata cara/prosedur dalam sebuah proses peradilan pidana. Jadi, apa yang diatur dalam hukum acara merupakan tata cara yang dibenarkan, sedangkan yang tidak diatur adalah bukan tata cara yang dibenarkan.

Dalam amar putusan praperadilan perkara No. 24/Pid.Prap/2018/PN yang dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang melawan KPK sebagai termohon adalah: 1) Mengabulkan permohonan Praperadilan Pemohon untuk sebagian; Sebagian yang dimaksud adalah sebagaimana yang dimaksud pada amar putusan kedua, yaitu: 2) Memerintahkan Termohon untuk melakukan peoses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Centurty dalam bentuk melakukan Penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, dan Raden Pardede dkk, atau melimpahkannya kepada Kepolisian dan atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat; 3) Menolak Permohonan Pemohon Praperadilan untuk selain dan selebihnya: 4) Membebankan biaya perkara kepada Termohon, sebesar NIHIL.

Jika sebelumnya, pertanyaannya adalah apakah Praperadilan berwenang untuk memerintahkan kepada penegak hukum untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka? Maka menurut penulis, jawabannya adalah tidak berwenang. Karena penetapan tersangka merupakan kewenangan yang hanya dimiliki oleh penyidik berdasarkan alat bukti. Jika pertanyaanya apakah putusan praperadilan tersebut sah atau tidak, maka jawabannya adalah sah. Karena pada prinsipnya, segala putusan pengadilan adalah keputusan hukum negara oleh badan peradilan yang harus dijunjung tinggi dan dihormati dalam sebuah negara hukum. Tetapi yang menjadi soal kemudian adalah bagaimana putusan tersebut dapat dijalankan dalam sistem peradilan pidana? Berdasarkan pengaturan Pasal 77 KUHAP dan Putusan MK yang menambah objek praperadilan, maka seharusnya bunyi amar putusan praperadilan adalah; 1) Mengenai sah atau tidaknya penangkapan. Jika penangkapan itu sah, maka dilanjutkan ke proses berikutnya. Jika penangkapan itu tidak sah, maka hakim akan memerintahkan untuk melepaskan tersangka; 2) Mengenai sah atau tidaknya penahanan. Jika penahanan itu sah, maka hakim akan memerintahkan untuk dilanjutkan. Jika penahanan itu tidak sah, maka hakim akan memerintahkan untuk mengeluarkan tersangka dari tahanan; 3) Mengenai penghentian penyedikan/penuntutan. Jika penghentian penyidikan/penuntutan itu sah, maka hakim akan memerintahkan untuk menghentikan penyidikan/penuntutan. Jika penghentian penyidikan/penuntutan itu tidak sah, maka hakim akan memerintahkan untuk melanjutkan penyidikan/penuntutan; 4) Mengenai sah tidaknya penetapan tersangka. Jika penetapan tersangka itu sah, maka hakim akan memerintahkan untuk dilanjutkan ke proses berikutnya. Jika penetapan tersangka itu tidak sah, maka hakim akan memerintahkan untuk mencabut status tersangka.

Terhadap putusan praperadilan yang memerintahkan untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan perintah menetapkan tersangka merupakan hal yang menjadi perhatian. Perintah menetapkan tersangka dalam putusan praperadilan ini sesungguhnya merupakan hal yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara. Kewenangan menetapkan tersengka adalah otoritas penyidik berdasarkan alat bukti. Pada konteks ini, praperadilan hanya dapat menyatakan sah atau tidaknya penetapan tersangka. Jika KPK akan menetapkan nama-nama yang disebut dalam amar putusan tersebut sebagai tersangka, hal itu hanya dapat dilakukan apabila telah menemukan alat bukti sesuai dengan ketentuan KUHP (dalam putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yaitu dua alat bukti) berdasarkan proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dan bukan atas perintah putusan praperadilan yang memerintahkan untuk menetapkan nama-nama tersebut sebagai tersangka. Artinya, perintah praperadilan tersebut menurut hukum adalah sah karena merupakan putusan pengadilan, tetapi tidak dapat dijalankan dalam sistem peradilan pidana jika mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dasar Hukum:

UU No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana

UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014

Putusan MK No. 102/PUU-XIII/2015

Putusan PN Jaksel No. 24/Pid.Prap/2018/PN

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan