web analytics
header

Sulawesi Selatan Darurat Agraria

Sumber : Belitungtimes

Oleh :

Muhammad Badai Anugrah

Kepala Departemen Penguatan Organisasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Wilayah Sulawesi Selatan

Praktik monopoli atas sumber daya agraria semakin masif. Konteks ekonomi-politik neoliberalisme yang menyokong pembebasan aliran kapital dari kepentingan sosial maupun mekanisme regulasi sedang terjadi. Penguasaan hidup sepanjang wilayah kelola rakyat merupakan bagian dari politik ruang dalam sistem kapitalisme, menjadikan pertaruhan rakyat atas sumber agraria semakin besar.

Eskalasi terkait dengan isu-isu agraria ruang publik, termasuk dinamika sosial dan politik di Sulawesi Selatan dalam konteks pemanfaatan ruang. Permasalahan pada isu hutan, perkebunan dan pertambangan telah menjadi icon expansi kapital industri yang menyengsarakan petani dan nelayan.

Beberapa kasus perampasan tanah oleh PT. Perkebunan Nusantara (PTPN)  XIV di Kabupaten Enrekang, Tanah Luwu, Wajo, Takalar dan Bone. Penguasaan hutan pinus oleh PT. Adimitra Pinus Utama di Kabupaten Gowa, perampasan tanah masyarakat suku Kajang oleh PT. Lonsum dan perampasan tanah masyarakat Karonsi’e Dongi oleh PT. Vale di tanah Luwu menjadi contoh.

Selain itu, perjuangan petani di Kabupaten Sidrap melawan PT. Bulidan dan PT. Mergareksa, perjuangan petani Malili melawan PT. Sindoka, perlawanan masyarakat Kawasan Karst melawan korporasi pertambangan PT. Bosowa, PT. Semen Tonasa, PT. Conch dan korporasi asing lainnya, juga  contoh isu agraria tersebut.

Di Bidang Perkebunan

Terindentifikasi ada 160.420 Ha konsesi lahan perkebunan. Konsesi tersebut tersebar di 12 Kabupaten di Sulawesi Selatan (Sulsel) yakni di Kabupaten Tanah Toraja, Bone, Bulukumba, Luwu Raya, Luwu  Utara, Luwu Timur, Enrekang,  Jeneponto, Gowa, Pinrang, Sidrap dan Soppeng. Di 12 kabupaten tersebut terdapat konsesi lahan perkebunan dan peternakan seluas 203,696.4 Ha, namun didominasi dengan perkebunan.

Terkait lahan perkebunan sawit, lima kabupaten dari 14 kabupaten di Sulawesi Selatan, yakni Luwu Timur, Luwu Utara, Enrekang, Wajo, dan Sidrap, sebagian  lahannya dikuasai oleh PTPN XIV. Besar lahan dengan tanaman sawit adalah 51,156.00 Ha, sisanya 59,630.00 Ha dikuasai oleh 5 perusahaan lainnya.

Di Bidang Pertambangan

Teridentifikasi ada 757 perusahaan namun hanya 414 perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Peningkatan perizinan tambang terus mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2016 terdapat 414 IUP, hanya terdapat 172 perusahaan yang berstatus Clean and Clear dan 242 perusahaan lainnya Clean and Clear. Hingga tahun 2018 diperkirakan akan terjadi peningkatan secara signifikan. Kasus-kasus pertambangan di Sulawesi Selatan yang menonjol, terdapt di beberapa kabuapten, seperti Kabupaten Gowa, Maros, Barru, Enrekang dan Luwu Utara.

Di Bidang Kehutanan

Sekitar 4 juta Ha luas daratan Sulsel, sekitar 2.1 juta Ha-nya merupakan wilayah kawasan hutan. Total luas kawasan hutan di Sulsel 2.725.796  Ha, dengan total luasan Hutan Lindug (HL): 1. 232.683 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HTP): 19,752.88 Ha, Hutan Produksi (HP): 26.932,84 Ha, TWA/TN.L/CA/TB TAHURA/SM/TN: 3.285,62 Ha dan Hutan Produksi Konversi (HPK): 248.552,97 Ha.

Sehingga artinya  ± 58,30% dari total 4.576.453 Ha luasan Sulsel adalah hutan. Dari sekitar 3.030 desa yang ada di Sulsel, terdapat 1.028 desa maupun kelurahan yang berada dalam kawasan hutan. Sebagian yang besar masyarakat menggantungkan hidup untuk mengelola tanah atau sumber daya hutan. Denagn sisanya yang merupakan wilayah perkotaan, pemukiman, pertanian, konsesi-konsesi pertambangan dan perkebunan skala besar.

Di Bidang Infrastruktur

Perampasan ruang kelola nelayan pencari kerang Katalassang oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota dan pengusaha (GMTDC) juga terjadi. Reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) di Pesisir Barat Kota Makassar oleh PT Yasmin-Ciputra dengan alokasi 157,23 Ha dengan persentase 50, 47 Ha untuk Pemerintah Provinsi Sulsel dan sisanya untuk pengembang, merupakan contoh.

Pada tahap pembangunannya saja, reklamasi CPI telah mengorbankan 45 Kepala Keluarga (KK) kelompok nelayan yang bermukim di kawasan pesisir Pantai Losari. Mereka tergusur.  Hingga kini reklamasi CPI tetap mengancam bencana ekologis di Kota Makassar.

Di Bidang Energi

Di Kota Makassar akan ada rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Makassar Peaker yang berkapasitas sebesar 450 Megawatt (MW) dengan bahan bakar batu bara, prosesnya akan menghasilkan limbah dari proses uap panas dan air limbah sebagai buangan proses produksi listrik.

Air limbah PLTGU berasal dari beberapa tempat antara lain, coal run of basin, boiler area, turbin area, dan fluegas Desulfurization (FGD) plant. Limbah ini sangat berbahaya bagi lingkungan apabila tidak diolah terlebih dahulu, karena umumnya limbah mengandung zat beracun seperti raksa (Hg), Kadmium (Cd), Timbal (Pb).

Pembangunan kawasan industri di Kabupaten Bantaeng dengan alokasi 3000 Ha, disana juga sedang berlangsung pembangunan PLTU 2×300 MW oleh perusahann asing asal China dan Malaysia yaitu PT. HWADI dan PT. Bantaeng Sigma Energi dan akan dibangun 7 smlter.  Sementara itu telah selesai dibangun 2 pabrik smelter nikel oleh PT. TITAN dan PT.HWADI. Hal tersebut mengancam sumber-sumber agraria masyarakat dan bencana ekologis di Kabupaten Bantaeng sendiri.

Kasus Terkait Konflik Tenurial

Pelanggaran HAM terkait perampasan ruang hidup milik rakyat menyebabkan penolakan yang signifikan dan massif. Tahun 2016-2017 terjadi rentetan teror, intimidasi dan kriminalisasi di Sulsel. Sebanyak 14 petani Seko di Kabupaten Luwu Utara, dipenjara karena menolak investasi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Seko Fajar Prima.

Delapan orang petani di Pattapang dilaporkan ke Polres Kabupaten Gowa oleh PSKL karena dituduh merusak areal Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sutera Alam.

Selain itu, terdapat juga dua petani di Kabupaten Gowa yang ditahan karena menolak pembangunan bendungan Karalloe. Ada juga dua orang petani ditahan karena penolakannya terhadap pembangunan bendungan Pamakkulu.

Sementara, ada empat warga Kabupaten Takalar yang terkena kriminalisasi oleh Direktorat Polisi Air (Ditpolair),  akibat mereka menolak kegiatan pertambang pasir laut Takalar.  

Lebih lagi, lima petani di Maiwa Kabupaten Enrekang yang diteror, diintimidasi serta perusakan traktor dan sawah/kebun mereka oleh Brimob yang berjaga di eks-HGU PTPN XIV.

Kriminalisasi petani/warga oleh PT. SINDOKA yang berjumlah 57 orang dan juga krisis pangan bersumber dari kebijakan sektor agraria, mencerminkan bahwa tidak secara sungguh-sungguh menjalankan mandat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 serta amanat TAP MRS No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Krisis pangan yang banyak terjadi akibat dari timpangnya penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria sebagai basis produksi fundamental pangan. Ketimpangan ini setidaknya dapat dibaca melalui konflik agraria yang terus mengemuka bahkan semakin masif. Karakter umum konflik ialah ‘’merampas dan mengusir’’ rakyat dari sumber-sumber agraria yang dikelola untuk mempertahankan kehidupannya. Maupun di daerah lumbung pangan juga terjadi karena investasi yang bergerak tanpa kendali.

Kehadiran investor tidak sekedar merusak keseimbangan ekologi atau menyebabkan terjadinya konflik agraria. Namun lebih dari pada itu, investasi juga berkonstribusi dalam perubahan fungsi lahan pertanian.

Berlahan tapi pasti konflik agraria dan ketimpangan penguasaan agraria bahkan konversi lahan dengan berbagai dampaknya jelas menjanjikan kerawanan pangan. Berhubung lahan sebagai basis produksi pangan tidak berada dalam penguasaan masyarakat. Serta akan berdampak lanjutan pada volume kemiskinan akan semakin membesar.

Konflik agraria menyebabkan kemiskinan struktural, kriminalisasi dan krisis pangan. Kita bisa melihat bahwa secara signifikan ratusan ribu jiwa masyarakat Sulsel masih berada pada garis kemiskinan.

Jumlah ini bisa saja terus meningkat di tahun mendatang, jika kebijakan-kebijakan pembangunan yang semakin melemahkan akses petani dan nelayan terhadap hak-hak dasar mereka. Serta Penurunan kualitas lingkungan hidup disertai efek domino pada sektor riil.

Jika negara ini hendak mengentaskan kemiskinan di pedesaan, penulis beranggapan bawah pemerintah harus memberikan akses kepada rakyat untuk mengelolah sumber-sumber agraria.

Selanjutnya, tentu saja harus diikuti dengan peningkatan akses kepada modal, teknologi, dan pasar. Dalam kerangka inilah, pentingnya menjalankan Reforma Agraria sebagai jalan ke luar untuk mengatasi persoalan struktural yang dihadapi oleh petani dan nelayan. Reforma Agraria penting dijalankan sebagai agenda bangsa dan strategi dasar negara untuk membangun struktur politik, ekonomi dan sosial yang berkeadilan.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan