web analytics
header

Tugas Organisasi Mahasiswa Itu, Ikut Lomba dan Buat Event! Kritis itu Haram

studentrevolt
Sumber: Google

Oleh: Muhammad Aswar

(Kordinator Departemen Penelitian, Pengembangan dan Pembinaan Kader HMI Komisariat Hukum Universitas Hasanuddin periode 2017-2018)

Organisasi Mahasiswa idealnya menjadi sebuah wadah perjuangan bagi kaum intelektual dalam mentransformasikan segala bentuk tanggung jawab kelasnya sebagai mahasiswa. Oleh karena itu besar tanggung jawab sosial dan harapan kepada organisasi mahasiswa dalam menciptakan mahasiswa yang mampu mentransformasikan fungsi mahasiswa, yaitu agent of analitis, social of control dan agent of change dalam realita sosial masyarakat.

Sejak dahulu, organisasi mahasiswa selalu turut andil dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Bahkan, embrio kemerdekaan bangsa ini dilahirkan oleh dua gerakan mahasiswa yang dipelopori oleh organisasi mahasiswa yaitu gerakan mahasiswa tahun 1908 atau yang dikenal dengan Angkatan 08 yang dimotori oleh Boedi Oetomo dan gerakan mahasiswa tahun 1928 yang terkenal Angkatan 28, yang dimotori oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) dan para pemuda pelajar dari berbagai perguruan tinggi di Hindia Belanda.

Namun, seiring berjalanya waktu semangat membebaskan rakyat dari belenggu ketidakadilan itu terkikis hari demi hari. Organisasi mahasiswa yang dalam sejarahnya adalah tempat berhimpun para kaum intelektual memperjuangkan kebenaran dan identitas kritisnya hari ini tidak lebih jadi tukang lomba dan pecinta event semata.

Organisasi Mahasiswa dalam Pergulatan Sejarah

Selain kesuksesan perjuangan mahasiswa di era pra kemerdekaan yang mampu menciptakan persatuan nasional dan dipelopori oleh Boedi Utomo dan PPPI pasca kemerdekaan tersebut, gerakan mahasiswa pada tahun 1966 juga dianggap sebagai gerakan yang paling fenomenal dalam sejarah gerakan mahasiswa Indonesia.

Di era tersebut organisasi mahasiswa tergabung dalam aliansi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) menjadi titik puncak pergerakan mahasiswa pada era itu.  Seperti yang dikatakan Fachry Ali dalam Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara bahwa aliansi KAMI aktif bergerak dan turun berdemonstrasi mendesak Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura)  yaitu: Turunkan Harga, Ritul Kabinet Dwikora dan Bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Gerakan tersebut dianggap mampu mengartikulasikan secara tepat apa yang menjadi kegelisahan dan tuntutan rakyat saat itu. Melalui Tritura, mahasiswa tahun 1966 mendapat dukungan masyarakat luas untuk menggerakkan reformasi yang berujung dengan kejatuhan penguasa.

Tumbangya rezim Soekarno melahirkan rezim masa orde baru yang kelam. Organisasi mahasiswa mendapat pukulan telak dari penguasa di era tersebut. Diberlakukanya Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang secara efektif berlaku tahun 1978 oleh Mendikbud Daoed Joesoef dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) didirikan di kampus-kampus pada tahun 1979.

Dijelaskan oleh Didik Supriyanto dalam Perlawanan Pers Mahasiswa Protes Sepanjang NKK/BKK bahwa Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF).

Kebijakan tersebut adalah cikal bakal ide menjauhkan mahasiswa dari aktivitas politik yang dinilai membahayakan posisi rezim, menuju kepada jalur kegiatan akademik, minat dan bakat. Pemberlakuan kebijakan tersebut tidak membuat organisasi mahasiswa berhenti bergerak melawan kediktatoran Soeharto.

Gerakan organisasi mahasiswa di rezim orde baru mencapai klimaksnya pada tahun 1998. Mahasiswa pun sudah mulai gerah dengan penguasa Orde Baru, ditandai dengan tumbangnya Orde Baru dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, pada tanggal 21 Mei 1998.

Organisasi Mahasiswa dan Kondisi Kekinian

Melihat perkembangannya, lembaga mahasiswa telah terbukti berperan besar dalam sejarah bangsa Indonesia. Matinya daya kritisme mahasiswa mengundang pertanyaan. Bagaimanasebenarnya kondisi mahasiswa di era sekarang?

Bergesernya pandangan dunia organisasi mahasiswa mengenai tanggungjawab sosialnya menjadi biang keladi hal tersebut. Persoalan yang terlihat sederhana namun, memiliki dampak yang sangat signifikan dengan masa depan bangsa ini. Sebab,  kegagalan organisasi mahasiswa dalam mentransformasi isu-isu sosial yang berkembang di lingkungannya, menciptakan kondisi kampus yang tidak sehat, dan organisasi mahasiswa menjadi bagian dari skema politik birokrasi dalam membunuh tanggungjawab sosial mahasiswa dalam masyarakat.

Awal ketika saya menginjakkan kaki dikampus, tergambar sebuah kondisi kampus di penuhi ruang-ruang diskusi yang terbuka dan menekankan kepada isu-isu sosial yang dihadapi masyarakat. Sebuah harapan yang selama satu setengah tahun ini tidak dapat saya temukan.

Hal lain yang bahkan tidak disangka adalah diskusi-diskusi yang kemudian oleh beberapa organisasi mahasiswa di kampus adalah agenda politik birokrasi. Berbagai macam hal pun ditawarkan sebagai upaya untuk menarik perhatian mahasiswa, seperti fasilitas sertifikat maupun konsumsi bagi pesertanya.

Akhirnya hasil diskurus wacana organisasi mahasiswa nihil, sebagian besar dari mereka mengerjakan proyek institusi negara. Di sisi lain kampus memberikan apresiasi besar kepada organisasi mahasiswa yang mendistribusi mahasiswa berprestasi dalam versi mereka dan mempunyai visi yang sama. Hal tersebut menciptakan mahasiswa yang haus akan eksistensi.

Relasi kuasa birokrasi kampus dan organisasi mahasiswa menciptakan kondisi yang memaksa organisasi mahasiswa yang tunduk patuh dengan arah orientasi kampus yang haus dengan eksistensi.  Seperti yang dikatakan Émile Durkheim, institusi sebagai sistem yang mempunyai aturan-aturan sosial yang bersifat kolektif dan memaksa,  siapapun harus tunduk terhadap kebiasaan suatu masyarakat. Kebiasaan organisasi mahasiswa saat ini, adalah sebuah transformasi misi politik birokrasi kampus.

Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya organisasi mahasiswa yang mengalami disorientasi, dikarenakan  adanya dinamika zaman dan segala bentuk tuntutanya yang menjadi bagian dari perubahan arah organisasi mahasiwa. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama.

Segala persoalan akan terlihat ketika sikap apatisme dan individualis menguasai alam bawah sadar para pelaku lembaga kampus. Dengan tidak berlebihan, idealisme mereka akan cenderung dikesampingkan ketimbang menyuarakannya sebagai bentuk tanggung jawab sebagai mahasiswa. Kecenderungan ini lambat laun akan membelenggu fikiran para mahasiswa untuk tidak terlibat dengan masalah rakyat dan memilih acuh tak acuh oleh berbagai alasan yang sebenarnya irrasional.

Sedangkan Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran punya harapan besar kepada kelompok mahasiswa. Harapan itu seperti yang ia katakan bahwa,

“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda,”

Oleh karena itu organisasi mahasiswa idealnya menempatkan mahasiswa ditengah barisan terdepan massa yang sedang memberontak. Engkau takkan pernah tahu kekuatan apa yang ada dalam diri mereka, daya pesona apa yang memancar dari diri mereka.

Mereka bagaikan rasul-rasul yang membawa agama baru sebab, mereka mahasiswa hidup dalam pergerakan, tumbuh berkembang dalam gelora semangat dan keyakinan. Maka tasbihkanlah tentang nilai-nilai kebenaran keadilan dan cinta kasih. Sebuah pertanda akan kembalinya marwah mahasiswa, gelora dan kekuatan besar telah jauh hari dikumandangkan oleh Marcello Monsini. Sebab, pada dasarnya ilmu yang diperoleh mahasiswa idealnya digunakan untuk membebaskan rakyat dari belenggu ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan. Bukan hanya sebatas menang lomba dan buat event.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan