web analytics
header

Barang Siapa Berfilsafat Maka Dia Kafir: Melepaskan Dogma-Dogma

lilin peradaban 2Oleh :

Muh. Yusril Sirman

(Pengurus LPMH-UH periode 2018-2019)

Pada pembahasan awal, kita sudah membuktikan bahwa seseorang yang berfilsafat atau mempelajari filsafat tidak serta-merta menjadi seseorang yang kafir. Bahkan terdapat beberapa contoh, para filsuf yang justru mempunyai kontribusi besar terhadap ajaran yang berkenaan dengan konsep keagamaan.

Kalau ada anggapan bahwa orang yang berfilsafat itu kafir, karena ia kerap kali mempertanyakan keberadaan Tuhan, maka saya fikir orang yang beranggapan seperti itu adalah orang yang tidak mempelajari sejarah kenabian secara komprehensif.

Dalam sejarah kenabian, kita bisa buktikan bahwa Nabi Ibrahim A.S justru berfilsafat dengan mempertanyakan Tuhannya. Pada akhirnya, Nabi Ibrahim A.S disebut sebagai Bapak Tauhid.

Mempertanyakan keberadaan Tuhan untuk sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Namun saya fikir, hal tersebut merupakan sesuatu yang baik untuk memperbaiki bagaimana konsep ketuhanan kita. Dalam sejarah kenabian dibuktikan bagaimana para nabi diutus untuk membenarkan konsep-konsep ketuhanan yang salah. Bagaimana konsep ketuhanan yang salah?

Secara sederhana dapat saya katakan sebagai Konsep Ketuhanan yang Materialis. Contohnya Nabi Nuh A.S yang diutus oleh Allah SWT untuk memperbaiki perilaku kaumnya. Saat itu kaum Nabi Nuh. A.S menyembah berhala atas dasar khurafat/mitos, bahwa patung berhala tersebut memiliki kekuatan khusus.

Contoh diatas hanya satu dari sekian banyak contoh dalam sejarah kenabian. Tentunya masih banyak kisah lainnya tentang bagaimana para nabi diutus untuk memperbaiki konsep ketuhanan umat manusia. Namun, pembahasan mengenai sejarah kenabian dan konsep ketuhanan tidak akan saya bahas panjang lebar dalam tulisan kali ini.

Untuk tulisan lanjutan ini, saya akan coba mendeskripsikan filsafat sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan yang justru dapat membebaskan kita dari dogma-dogma pemikiran yang selama ini menyesatkan dan membuat kita menjadi pribadi yang tidak merdeka secara pemikiran.

Filsafat sering kali diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang sesat. Apabila kita definisikan berdasarkan asal katanya, filsafat terdiri dari dua suku kata, yaitu Philo atau Philos yang artinya cinta dan Sophia atau Sophos yang berarti kebijaksanaan. Secara istilah dapatlah kita artikan filsafat sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mengantarkan seseorang akan kecintaannya terhadap kebijaksanaan.

Beberapa ahli filsafat juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kebijaksanaan sebenarnya adalah kebenaran yang absolut, yang dalam ajaran agama biasanya disangkutpautkan dengan kebenaran akan Tuhan atau keberadaan Tuhan. Oleh karena itu beberapa tokoh berpendapat bahwa jika filsafat dan agama pada hakikatnya sama-sama mencari kebenaran yang absolut. Lantas kenapa filsafat dan agama harus dipertentangkan?

Filsafat juga seringkali disebut sebagai induk segala ilmu pengetahuan, baik itu ilmu pengetahuan teoritis maupun praktis. Loh, kok bisa? Karena pembahasan dalam filsafat secara umum dibagi menjadi tiga.

Pertama, adalah epistemologi yang membahas mengenai apa itu pengetahuan dan alat-alat pengetahuan manusia.

Kedua, ontologi yang membahas mengenai keberadaan alam semesta dan bagaimana hubungan manusia dengan alam semesta, yang biasanya berkenaan dengan ilmu teoritis seperti biologi, ilmu hitung, ilmu ukur dan lain sebagainya.

Terakhir, aksiologi yang membahas mengenai penilaian terhadap sesuatu dalam konteksnya yang berkenaan dengan ilmu praktis/terapan, seperti ilmu hukum, ilmu ekonomi dan lain sebagainya.

Berdasarkan pembagian inilah, orang yang mempelajari filsafat seharusnya mampu untuk berpikir secara menyeluruh dan komprehensif mengenai segala sesuatu. Berfikir untuk dapat memecahkan suatu permasalahan dengan memberikan solusi yang tepat dengan pertimbangan-pertimbangan yang baik dan benar.

Bahkan Plato salah seorang filsuf  Yunani, mengatakan bahwa konsep pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang menguasai filsafat. Serta kesengsaraan di dunia tidak akan pernah berakhir sebelum para raja-raja (pemimpin) menguasai filsafat atau sebaliknya filsafat yang menguasai raja-raja.

“Filosofi sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang suatu keadaan atau hal yang nyata. Sebab itu filosofi disebut juga berpikir merdeka dengan tiada dibatasi kelanjutannya,”(Mohammad Hatta, dalam bukunya : Alam Pikiran Yunani).

Dari kutipan diatas bisa kita lihat bahwa Bapak Prokplamator kita, khususnya Mohammad Hatta dan umumnya para  Founding Fathers kita mampu mengantarkan kita menjadi bangsa yang merdeka sampai saat ini. Salah satu faktornya karena mereka adalah pribadi yang sudah merdeka sejak dalam pikiran.

Mereka telah melepaskan ego pribadi dan meleburkan ego pribadi mereka menjadi ego bangsa yang universal. Sehingga dalam suksesinya dapat mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia berdasarkan gerak kolektif.

Pertanyaannya kemudian, Bagaimanakah konsep pribadi yang merdeka secara pemikiran?. Konsep merdeka dalam pikiran yang saya maksud adalah ketika kita tidak menutup diri dengan segala bentuk wacana atau diskursus yang hadir dari berbagai macam pandangan dan ideologi  di dunia. Menutup diri akan adanya wacana atau diskursus dari berbagai lintas pandangan dunia dan ideologi, sama dengan menutup diri akan pentingnya ilmu pengetahuan.

Kita bisa mengambil contoh dari sekian maraknya propaganda receh pada zaman orde baru tentang bagaimana buruknya konsep Komunisme ala Marx. Kemudian sering kali disangkutpautkan dengan hal-hal negatif pada orang-orang yang beraliran Marxian. Bahkan sampai dengan pemberian label PKI (Partai Komunis Indonesia) yang cenderung bermakna buruk pada orang-orang tersebut.

Orang-orang seperti ini yang kemudian tidak pernah sekalipun mengonsumsi satupun buku terkait dengan konsep komunisme Marx dan cenderung enggan untuk melakukan diskursus terkait dengan konsep tersebut. Akan tetapi, karena telah termakan dengan isu propaganda receh tadi, maka dia secara sepihak memberikan label atau citra buruk terhadap orang-orang yang berpahaman demikian.

Padahal apabila kita mengkaji sejarah pemikiran para Founding Fathers, mereka adalah orang-orang yang banyak bergelut dengan konsep-konsep sosialisme Marx, seperti Ir. Soekarno, Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Bahkan secara radikal terdapat orang-orang yang mengatakan bahwa tokoh sekelas Nabi Muhammad SAW pun adalah seorang Marxis. Namun kemudian muncul pertanyaan, Marxis yang seperti apa?

Orang-orang yang enggan bersentuhan dengan ilmu filsafat pasti akan langsung kejang-kejang dan tersinggung mendengar pernyataan diatas. Padahal argumentasi-argumentasi semacam itu hanya perlu diselesaikan dengan memberikan beberapa pertimbangan dengan akal sehat dan tidak perlu sampai mengangkat senjata.

Dengan mempelajari filsafat, tidak akan serta-merta membuat anda menjadi seorang filsuf. Namun, orang-orang yang memperlajari filsafat dituntut untuk mampu menghadapi segala macam diskursus yang ada dengan pertimbangan akal sehat. Meskipun harus melibatkan berbagai macam wacana dan lintas pandangan dunia maupun lintas ideologi sekalipun. Sehingga akhirnya akan melepaskan kita dari dogma-dogma yang menyesatkan, serta membuat kita menjadi pribadi yang merdeka sejak dalam pikiran.

Bersambung . . .

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan