web analytics
header

Pemerintah Harus Memperhatikan Nilai Imateril Pada Ganti Rugi Atas Pengadaan Tanah

pa
Suasana kuliah umum keperdataan yang menghadirkan Prof. Anwar Boharima sebagai pemateri, Rabu (21/11). Sumber: dokumentasi pribadi.

Makassar, Eksepsi Online – Prof. Anwar Borahima selaku pembicara pada kegiatan kuliah umum yang diadakan oleh Asosiasi Mahasiswa Hukum Perdata Universitas Hasanuddin (AMPUH) dengan tema Perspektif Hukum Pemberian Ganti Rugi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, menyampaikan bahwa pemerintah dalam memberikan ganti rugi atas tanah sebenarnya harus memperhatikan nilai imateril dari tanah tersebut, bukan hanya harga dalam bentuk materil saja.

Ia menambahkan bahwa seharusnya Pemerintah dalam memberikan ganti rugi atas pengadaan tanah tersebut tidak boleh hanya menghitung secara harga materil objeknya saja, namun harus juga secara nilai keseluruhannya terkmaksud nilai imateril.

“Contohnya ketika saya memiliki laptop seharga dua juta rupiah, namun ketika saya diminta untuk menjual dengan harga seperti itu saya tidak akan mau. Kenapa? karena bisa saja isi dalam laptop saya lebih berharga dari dua juta rupiah dan mejadi tak ternilai secara materi,” ujar Prof. Anwar dalam kuliah umum yang merupakan rangkaian open recruitment AMPUH ini.

Prof. Anwar juga menjelaskan terkait nilai, menurutnya nilai keseluruhan dari besar kecilnya ganti rugi harus dihitung dari nilai bidang-perbidang tanah, meliputi; tanahnya, ruang atas dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan langsung dengan tanahnya dan kerugian lain yang dapat diderita.

Lebih lanjut, Ia menambahkan bahwa dari dulu masyarakat selalu saja mengeluh jikalau tanahnya dijadikan sebagai lahan pembangunan, karena masyarakat pasti akan merasa tidak puas dengan pemberian ganti rugi atas tanah yang diberikan oleh pemerintah.

“Banyak orang tua terdahulu yang justru mengatakan rasanya lebih enak sewaktu masa penjajahan Belanda, karena ketika itu, jika ganti rugi yang diberikan untuk pengambilan tanah oleh Belanda tidak memuaskan, maka mereka dapat terkena sanksi pidana,” jelasnya dalam kegiatan bertempat yang berlangsung di Ruang Video Conference Prof. Laica Marzuki (21/11).

Namun, kata Prof. Anwar, setelah Indonesia merdeka rasanya masyarakat hampir selalu dirugikan, apalagi dalam perkembangannya beberapa anggota legislatif justru mendukung kebijakan pemerintah, dalam hal ini eksekutif yang cenderung merugikan rakyat.

Sedangkan, jika merujuk kepada definisi pengadaan tanah, pengadaan tanah yang dimaksud adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti rugi yang layak dan adil kepada pihak yang berhak menerimanya.

Terkait definisi tersebut, Prof. Anwar mengatakan bahwa seharusnya masyarakat yang tanahnya digunakan untuk kepentingan umum seharusnya menjadi sejahtera karena akan diberikan ganti rugi yang layak dan adil. Namun sayangnya, kata Prof. Anwar, didalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak dijelaskan secara rinci mengenai tolak ukur layak dan adil.

“Sebenarnya itulah yang menjadi akar permasalahannya, apa yang menjadi tolak ukur sesuatu dikatakan layak dan adil? Di dalam peraturan perundang-undangan kita tidak dijelaskan secara rinci mengenai hal tersebut,” ujarnya.

Prof. Anwar juga mengatakan, Iman Sudikno dalam suatu seminar pada tahun 1992 menjelaskan bahwa, peraturan perundang-undangan Indonesia cenderung menghitung objek ganti rugi atas tanah secara materiel, padahal itu hanya dapat berbicara layak dan adil apabila kita membahasnya secara imateril.

Lebih lanjut, penilai pertanahan dalam perundang-undangan adalah orang yang melakukan penilaian secara independent dan profesional, telah mendapatkan izin praktek dari menteri keuangan dan telah mendapatkan lisensi dari lembaga pertanahan untuk menghitung nilai atau harga objek pengadaan tanah. Sehingga, kata Prof. Anwar, terdapat kata nilai didalam penjelasan tersebut, oleh karena itu pemerintah dalam memberi ganti rugi harus menghitung nilai materil dan  nilai imaterilnya secara keseluruhan.

Terakhir, Prof Anwar juga mengingatkan bahwa hukum Indonesia mengenal adanya asas pemisahan horizontal, bahwa tanah dan benda-benda yang ada diatasnya itu terpisah. “Dan satu hal lagi yang harus kita pahami, bahwa di Indonesia ini pemilik tanah itu adalah rakyat, dan bukan negara,” tutupnya. (Mys)

Related posts: