web analytics
header

Penyitaan Buku Kiri dan Wajah Murung Peradaban

buku
Sumber: ms. pngtree.com

Oleh : Muh. Yusril Sirman

(Wakil Kordinator Divisi Litbang LPMH UH periode 2018-2019)

Belum lama ini, ramai terdengar kabar mengenai adanya penyitaan buku yang dilakukan oleh sejumlah pihak dari aparat kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mereka melakukan razia dan menyita buku-buku yang dituduh memuat propaganda Partai Komunis Indonesia (PKI) serta paham komunisme, di dua toko buku Ki Ageng yang terletak di Jalan Brawijaya No. 67 dan No. 24, di Desa Tulungrejo, Kecamatan Pare, Kediri.

Dilansir dari tirto.id (27/12/18), seorang anggota TNI yang terlibat razia tersebut mengaku penyitaan dilakukan agar buku-buku itu tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Adanya insiden tersebut secara tidak langsung justru menodai marwah intelektualitas bangsa ini dan semakin memperburuk citra peradaban Pancasila.

Peradaban Pancasilais yang seharusnya berdasarkan atas kemanusiaan yang adil dan beradab, dengan salah satu cita-cita idealnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang telah diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Bagaimana tidak, penyitaan buku-buku yang diduga menggangu ketertiban umum oleh aparat kepolisian dan TNI ini, semakin menambah daftar catatan buruk pemerintah dalam melakukan penertiban atas dalih mengganggu ketertiban umum. Bahkan, standarisasi mengganggu ketertiban umum itu pun tidak jelas. Tapi tetap dilakukan juga, bahkan dengan cara yang  prosedurnya dianggap tidak sesuai dengan tata laksana aturan yang mestinya.

Rentetan kasus serupa

Peristiwa penyitaan buku secaman ini bukanlah merupakan hal baru. Kasus penyitaan buku yang dianggap berbau komunisme juga pernah terjadi pada tahun 2016 lalu. Peristiwa semacam ini sama seperti mencoreng marwah dunia intelektual bangsa.

Pada tahun 2016, aparat TNI menangkap empat orang aktivis karena tudingan menyebar paham komunisme di Ternate, Maluku Utara dan bersama mereka turut pula disita sejumlah buku koleksi pribadi yang diduga memuat ajaran komunisme.

Banyak kasus yang mencoreng marwah dunia intelektual kita. Mulai dari pemberhentian sepihak forum-forum diskusi, pelarangan dan pembubaran pemutaran film tertentu, pembatasan aktivitas malam mahasiswa di beberapa kampus di Indonesia serta bahkan sempat terjadi kasus pembubaran paksa Perpustakaan Jalanan Bandung yang dilakukan oleh pihak militer pada akhir Agustus 2016 lalu. Sebenarnya juga masih banyak kasus serupa yang terjadi di Indonesia, namun hanya tidak muncul kepermukaan saja. Saya juga tidak akan mungkin bisa paparkan satu-persatu dalam tulisan kali ini.

Beberapa kasus seperti contoh di atas justru menimbulkan pertanyaaan, apakah pemerintah sangat anti dengan adanya budaya intelektualisme? Atau mungkin, pemerintah memang enggan untuk mewujudkan cita-cita kita bersama, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang telah diamatkan oleh UUD 1945.

Sementara, apabila kita tinjau kembali sembilan program prioritas yang telah disusun oleh pemerintah saat ini yang kemudian disebut Nawacita, antara lain menjanjikan akan adanya peningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan, meningkatkan produktivitas dan daya saing masyarakat di kancah internasional. Sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan sejajar bangsa-bangsa Asia lainnya. Sembilan program prioritas inilah yang kemudian terejawantah ke dalam suatu program khusus yang disebut dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental.

Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana cara pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, ketika kita masih dilarang untuk membaca buku? Bagaimana mungkin kemudian pemerintah dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain, kalau forum-forum intelektual kerap kali mendapatkan kecaman dan bahkan sampai ditutup secara sepihak? Bagaimana bisa juga, bangsa ini melakukan revolusi mental, sedang di sisi lain, ruang-ruang intelektual seringkali dibatasi atas tuduhan adanya propaganda dan menggangu ketertiban umum?

Padahal yang dilakukan oleh para penjual buku, para aktivis pendidikan dan terkhusus teman-teman mahasiswa lainnya, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membantu mewujudkan cita-cita yang telah diamatkan oleh UUD 1945, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Menyoal penanganan hukum oleh aparat

Dikutip dari Beritagar.id (28/12/2018), Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, mengatakan, perampasan ratusan buku oleh TNI dan Polri merupakan tindakan kesewenang-wenangan. Aparat penegak hukum, kata Anggara saat itu, semestinya bertindak sesuai prosedur yang ditentukan dalam hukum yang berlaku dalam melakukan upaya paksa tersebut. Dalam keterangan tertulisnya, Angga juga mengatakan, penyitaan yang dilakukan khususnya terhadap buku-buku yang merupakan sumber literasi bagi masyarakat tersebut semestinya tidak dilakukan secara represif.

Pernyataan tersebut dikeluarkan Anggara Suwahju setelah dikonfirmasi terkait dengan klarifikasi yang dikeluarkan pihak dari TNI yang diwakili oleh Dandim 0809 Kediri Letkol Kav Dwi Agung Sutrisno, yang menyatakan bahwa buku yang mereka amankan itu akan ditindaklanjuti untuk dilakukan kajian khusus mengenai isi buku yang diduga mengandung ajaran komunisme itu.

Terkait penyitaan barang cetak, seperti buku yang mengandung konten yang bertentangan atau melawan undang-undang, sebenarnya pernah diatur melalui Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum.

Pada pasal 1, poin 1, 2 dan 3 UU tersebut menyebutkan bahwa :

  1. Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum.”
  2. Keputusan Menteri Jaksa Agung untuk melarang beredarnya barang cetakan seperti tercantum dalam ayat (1) tersebut. dicantumkan dalam Berita-Negara.”
  3. Barangsiapa menyimpan, memiliki, mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan, menempelkan, memperdagangkan, mencetak kembali barang cetakan yang terlarang, setelah diumumkannya larangan itu dihukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya 1 tahun atau denda setinggi-tingginya lima belas ribu rupiah.”

Dalam Tambahan Lembar Negara yang memuat Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tersebut menjelaskan bahwa maksud dari “menggangu ketertiban umum” pada pasal 1 di atas adalah :

“Pengertian “mengganggu ketertiban umum” haruslah dihubungkan dengan dasar-dasar tata-tertib kehidupan dari Rakyat dan Negara pada suatu saat. Merusak kepercayaan Rakyat terhadap Revolusi, Sosialisme dan Pimpinan Nasional adalah contoh terkemuka akan tetapi tidak satu-satunya dari pengertian mengganggu ketertiban umum. Tulisan-tulisan dan gambar yang merugikan akhlak dan memajukan pencabulan adalah contoh jenis lain dari pengertian tersebut. Jenis-jenis tulisan apa yang tidak dapat ditolerir untuk dibaca oleh masyarakat, sangat erat pula hubungannya dengan kesadaran hukum Rakyat pada suatu ketika, dengan peristiwa-peristiwa yang dialami Rakyat dan Negara, dengan kepribadian Indonesia dan lain-lainnya. Apakah sesuatu tulisan bisa diartikan dapat mengganggu ketertiban umum, diserahkan kepada Menteri/Jaksa Agung untuk menilainya.”

Meskipun belakangan undang-undang itu kemudian dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 20/PUU-VIII/2010. Dengan amar putusannya menyatakan antara lain : “Permohonan pengujian formil oleh para Pemohon tidak dapat diterima; dan Permohonan pengujian materiil oleh para Pemohon dikabulkan untuk sebagian”.

Putusan MK diatas menyatakan bahwa, penyitaan yang dahulunya merupakan kewenangan kejaksaan, harus melalui perintah pengadilan dan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang. Penyitaan dapat dilakukan atas perintah ketua pengadilan setempat. Apabila tidak ada surat perintah, penyitaan tersebut tidak sah. Maka tindakan aparat yang menyita buku tersebut perlu dipertanyakan dasar hukumnya.

 

Aparat kepolisian dan TNI boleh saja melakukan tindakan represif terhadap adanya pengaduan masyarakat terkait dengan adanya aktifitas tertentu yang kemudian menggangu ketertiban umum masyarakat setempat. Namun dalam pelaksanaannya, aparat kepolisian dan/atau TNI tidak boleh seenaknya saja melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap pengaduan tersebut. Harus ada prosedur tertentu yang kemudian perlu dilakukan terlebih dahulu, misal adanya perintah langsung dari pengadilan untuk melakukan penyitaan dan semacamnya. Semua harus berjalan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Terlebih juga, seharusnya tidak adanya tumpang-tindih kewenangan, demi kebaikan kita bersama, terkhusus pada pihak-pihak yang dilaporkan nantinya.

Sebab, dalam Pasal 28C poin 1 dan 2 UUD 1945 telah dinyatakan bahwa :

  1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
  2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”

Kebutuhan setiap warga negara atas pendidikan merupakan hak dasar yang kemudian harus dipenuhi oleh negara, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan juga merupakan hak setiap warga negara yang salah satu manfaatnya bisa didapatkan dari buku, buku apapun itu.  Selama tujuannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, demi menciptakan peradaban Pancasilais yang berdasarkan atas kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka dari itu, mari bersama wujudkan peradaban Pancasila yang adil dengan cara yang beradab, serta tetap pada koridor hukum yang berlaku. Salam Peradaban.

 

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan