web analytics
header

Apakah Hak Milik dan Hak Menguasai Negara Dapat Disamakan?

yusril. sumber goggle
Sumber: google

Oleh: Muh. Yusril Sirman

(Pengurus LPMH-UH periode 2018-2019)

Debat Calon Presiden yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tertanggal 17 Februari 2019  lalu, agaknya dianggap minim substansi dan tidak mendidik, setidaknya jika dibandingkan dengan debat Capres & Cawapres pertama yang bisa saya katakan sangat minim substansi dan sangat tidak mendidik. Setelah menyaksikan tayangan tersebut, saya sedikit terusik dengan pernyataan calon presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto, yang menyatakan bahwa :

“…… tanah itu benar, tapi itu adalah HGU, milik negara, setiap saat negara bisa ambil kembali, tapi dari pada jatuh ke tangan asing mending saya yang kelola ……”, kurang lebih demikian pertanyaan yang dikeluarkan oleh Capres nomor urut dua, yang saya kutip dari tribunnews.com (18/02/2019).

Pernyataan di atas sedikit mengusik nalar saya untuk sekedar mencari tahu apakah Hak Milik dapat  dipersamakan dengan Hak Menguasai? Ataukah pernyataan Prabowo Subianto memang keliru ketika ia mengatakan itu? Mari kita diskusikan bersama!

Apa itu Hak Milik?

Dalam pasal 20 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang seringkali disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hak Milik adalah, Hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6″.

Dikatakan sebagai hak terkuat dan terpenuh, karena hak milik merupakan satu-satunya hak yang memiliki kekuatan mengikat paling kuat dan paling penuh, jika dibandingkan dengan hak-hak kepemilikan atas tanah oleh orang dan hak-hak atas tanah lainnya, seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dll.

Lebih lanjut mengenai ketentuan siapa saja subjek yang dapat memiliki hak atas tanah dalam UUPA, yakni :

  • Hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI), (Pasal 22 ayat 1);
  • Badan hukum dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemerintah, (Pasal 22 ayat 2);
  • Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ini memperoleh hak milik, (Pasal 22 ayat 3).

Kemudian pada pasal 27, dijelaskan bahwa Hak milik hapus apabila :

  • tanahnya jatuh kepada negara, dikarenakan :
  1. pencabutan hak berdasarkan pasal 18 UUPA;
  2. penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
  3. diterlantarkan;
  4. ketentuan pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2) UUPA.
  • tanahnya musnah.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa Hak Milik tidak diperuntukkan bagi negara, karena negara bukan merupakan subjek dari Hak Milik atas tanah. Dalam hal ini, negara hanya memiliki Hak Menguasai, seperti penjelasan yang akan saya uraikan selanjutnya.

Apa itu Hak Menguasai?

Terminologi Hak Menguasai pada dasarnya termaktub dalam Bab XIV Undang-Undang Dasar 1945 tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, khususnya pada P asal 33 ayat (3), yang menyatakan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Hal inilah yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam UU Nomor 5 Tahun 1960, pada pasal 2 ayat (1), yang menyatakan bahwa, “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”

Poin penting dari dua pasal di atas sebenarnya adalah, bahwa seluruh kekayaan sumber daya alam yang ada di Indonesia diamanatkan pengaturan dan pengelolaannya kepada pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam suatu negara. Negara diharuskan untuk dapat mengatur dan memanfaatkan seluruh kekayaan sumber daya alam tadi, demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Maka, timbullah yang disebut dengan Hak Menguasai Negara (HMN). Akibat dari adanya Hak Bangsa, yang merupakan pengejawantahan dari hak setiap warga negara Indonesia untuk dapat menikmati segala kekayaan sumber daya alam yang ada sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Demi mempertahankan kelangsungan hidup dan untuk memenuhi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokoknya, yang meliputi sandang, pangan dan papan, maka setiap warga negara memiliki hak tersebut.

Apakah HMN bersifat kuat dan penuh, sama seperti halnya Hak Milik? Jawabannya tidak! Karena apabila HMN bersifat kuat dan penuh, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara bebas untuk memberikan, merampas, dan/atau mengalihfungsikan suatu lahan pertanahan dengan sesuka hatinya.

Makanya dalam pasal 2 angka (2, 3 dan 4) UUPA, diberikan batasan-batasan tertentu dari HMN, yakni :

2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :

  • mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
  • menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
  • menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkas

3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.                                                    

4. Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

******

Pernyataan Prabowo Subianto, yang juga selaku Ketua Umum dari Partai Gerindra pada tanyangan debat kedua Capres beberapa hari yang lalu, tentang “Tanah Milik Negara”, bisa dibilang kurang tepat penggunaannya. Itu dikarenakan, negara bukan sebagai pemegang Hak Milik atas bumi, air, ruang angkasa dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Justru negara hanya memiliki Hak Menguasai atas bumi, air, ruang angkasa dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu semua bertujuan untuk dapat dipergunakan dengan sebagai mestinya, demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kenapa Hak Menguasai? Karena apabila negara melakukan pengadaan fasilitas publik dengan dalih untuk kepentingan umum, maka negara harus memberikan ganti rugi yang setimpal kepada pihak yang bersangkutan. Contohnya, tanahnya diambil untuk pengadaan fasilitas publik tadi, karena kalau negara yang mempunyai Hak Milik, untuk apa ada ganti rugi? Karena dengan Hak Milik yang dimiliki sebuah negara, negara tersebut bebas mengambil tanah setiap warga negaranya. Bahkan untuk kepentingan pribadi sekalipun, dengan semena-mena dan tanpa ada ganti rugi sepeserpun.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan