web analytics
header

Polemik RUU Pemasyarakatan dari Berbagai Aspek

dfafaeb8-8882-4b32-b5d0-e03d5daa79a9
Sumber: Dokumentasi Eksepsi

Makassar, Eksepsi Online – Pada Jumat (11/10) LETS Institute Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin mengadakan Dialog Publik dengan judul Polemik RUU Pemasyarakatan dalam Hukum Progresif. Hadir sebagai pembicara, beberapa tokoh dari berbagai instansi. Salah satunya Drs. Priyadi, Bc. IP., M. Si selaku Kepala Wilayah (Kakanwil) Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Sulawesi Selatan yang bertempat di Aula A. Harifin Tumpa Fakultas HUkum Universitas Hasanuddin (FH-UH).

Dalam pemaparannya, Priyadi membicarakan mengenai urgensi diadakannya revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Menurutnya terdapat beberapa alasan mengapa UU Pemasyarakatan perlu direvisi. Alasan pertama yakni karena UU Pemasyarakatan yang berlaku saat ini sudah tidak relevan dengan perkembangan hukum. Saat ini misalnya berlaku UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang kaidah-kaidah di dalamnya tidak diakomodir dalam UU Pemasyarakatan, begitu pula dengan UU Terorisme, UU Narkotika dan UU lainnya yang ketentuan terkait pemasyarakatannya tidak ditampung oleh UU Pemasyarakatan saat ini. Jadi perlu ada pembaharuan guna mengadopsi ketentuan-ketentuan UU tadi. 

Alasan berikutnya berkaitan dengan posisi pemasyarakatan dimana dalam UU Pemasyarakatan yang berlaku, menurut Pryiadi, Pemasyarakatan sendiri hanya berperan pada fungsi akhir. “Seolah-olah (pemasyarakatan) sebelum itu tidak berguna sama sekali. Pokoknya (pemasyarakatan) merupakan urusan terakhir. Terakhir masuk lapas. Terakhir masuk rutan,” ujar pria yang pernah menajabat sebagai Kakanwil Kemenkumham Sumatera Utara tersebut. Padahal menurutnya pemasyarakatan sebenarnya juga memiliki peran dalam Integrated Criminal Justice System akan tetapi hal ini tidak ditegaskan oleh UU. Inilah mengapa di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemasyarakatan menegaskan kembali posisi pemasyarakatan dalam Integrated Criminal Justice System,” jelas Kakanwil. Oleh kaena kondisi-kondisi yang tesebut, perlu diadakan revisi UU guna memperbaiki pemasyaakatan baik dari sistem, sarana, maupun kelembagaannya.

Adapun mengenai polemik dan isu yang berkembang di masyarakat terhadap RUU Pemasyarakatan diantaranya menyangkut remisi koruptor, cuti napi, dan sebagainya, Priyadi mengungkapkan dua alasan utama isu ini berkembang secara negatif. Alasan tersebut menurutnya adalah kondisi masyarakat yang tidak paham mengenai aturan pemasyarakatan dan ketidakmampuan masyarakat memahami dunia pemasyarakatan.

Dialog berlanjut dengan pemaparan dari pembicara kedua yakni Dr. Muhammad Irwan, S. H., M. H. selaku Komisioner Ombudsman Kota Makassar (OKM). Dalam penyampaiannya, Irwan membahas mengenai polemik RUU Pemasyarakatan dari perspektif sosiologis. Setelah menelaah naskah akademik RUU Pemasyarakatan, menurut Irwan, spirit yang ingin dibawa dari revisi UU Pemasyarakatan adalah pergeseran paradigma guna menyambut pembaharuan-pemabaharuan hukum. Pergeseran paradigma yang menjadi dasar RUU Pemasyarakatan yang dimaksud adalah bagaimana pemsyarakatan dimasukkan ke dalam Criminal Justice System sehingga pemasyarakatan tidak berperan di akhir saja. Namun Irwan menilai masih sangat sulit untuk mengimplementasikan kaidah-kaidah dalam RUU Pemasyarakatan mengingat sarana prasaran dan infrastruktur yang ada belum memadai untuk dapat mengakomodir sistem pemasyarakatan yang dikehendaki oleh RUU Pemasyarakatan. “Perlu kerja ekstra untuk mewujudkan spirit UU Pemasyarakatan saat ini,” ujar Komisioner OKM yang dilantik  April lalu ini. Selain itu, Irwan juga menyoroti mengenai kondisi belum disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan Lex Generalis dari UU Pemasyarakatan sehingga berimplikasi belum dapat disahkan pula UU Pemasyarakatan. Menjelang akhir sesinya, Irwan membicarakan mengenai kerja sama dan peran serta masyarakat yang pengaturannya masih terlalu asbtrak dalam RUU Pemasyarakatan. “Butuh didorong pengaturan teknis mengenai peran masyarakat dalam pemasyarakatan,” ucapnya.

Kemudian, dialog dilanjutkan dengan pemaparan oleh Aziz Dumpa, S.H., M. H. selaku perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Makassar. Dalam pemaparannya, Aziz membahas mengenai substansi RUU Pemasyarakatan dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Menurutnya, yang menjadi catatan yakni bahwa permasalahan utama dalam pemasyarakatan khususnya pada lembaga pemasyaraktan adalah terjadinya overcrowding warga binaan yang disebabkan oleh sistem pemidanaan yang menekankan pidana diluar pemenjaraan sampai sekarang belum terwujud. Hal ini menyebabkan sulitnya mengimplementasikan pendekatan pemasyarakatan yang ideal sesuai kehendak RUU Pemasyarakatan yang ada saat ini. “Walaupun RUU Pemasyarakatan kemudian disahkan, belum tentu dapat menjawab permasalahan pemasyarakatan yang ada. Mengingat ada keadaan overcrowding tadi, pendekatan hanya dapat dilakukan secara komunal. Padahal dibutuhkan pendekatan individual untuk dapat mewujudkan tujuan pemasyakatan,” jelas pria yang biasa disapa Asdum ini.

Seperti yang diketahui, RUU Pemasyarakatan merupakan salah satu dari empat RUU yang diminta untuk ditunda pengesahannya oleh Presiden Joko Widodo menyusul adanya protes dan polemik yang berkembang mengenai UU tersebut.

Dialog ditutup dengan sesi tanya jawab antara pembicara dan peserta dialog hukum.(Bch)

Related posts: