web analytics
header

Gerakan Chipko dan Wajah Ekofeminisme di Indonesia

 

images-1

 

Oleh:

Siti Nurhaliza Bachril

(Sekretaris Umum LPMH-UH Periode 2019-2020)


Pada Maret 1974, dipimpin oleh seorang kepala desa bernama Goura Devi, sebanyak 27 perempuan desa turun ke jalan menolak penebangan hutan di Desa Reni, Uttarakhand, salah satu negara bagian India. Mereka berhadapan langsung dengan penebang yang hendak memangkas 2.500 pohon di hutan dekat desa mereka. Para wanita, dalam protes damai, memeluk pohon-pohon untuk mencegah penebangan. Mereka berjaga sepanjang malam, menjaga pohon dari penebang sampai beberapa dari mereka, tidak dapat melakukan apa-apa lalu meninggalkan desa. Hari berikutnya, ketika beberapa lelaki penebang dan pemimpin mereka datang kembali, berita tentang gerakan sudah menyebar ke desa-desa lain seingga lebih banyak orang bergabung. Akhirnya setelah bertahan selama empat hari, kontraktor penebang pergi. Para perempuan Reni berhasil mengusir para pekerja kontraktor pada 26 Maret 1974.

Aksi para perempuan ini kemudian dikenal sebagai salah satu bagian dari Gerakan Chipko / Chipko Movement, yang dalam bahasa India berarti “merangkul pohon.” Gerakan ini mempunyai pendekatan non-kekerasan dan ditujukan untuk melindungi kelestarian hutan. Chipko muncul pada awal 1970an di wilayah Garhwal, Uttar Pradesh. Pemicunya adalah perusakan hutan di Kawasan Himalaya oleh kontraktor swasta yang mengakibatkan ketidakstabilan ekologis. Gerakan Chipko para perempuan Desa Reni menjadi suatu sejarah penting bagi gerakan Ekofeminisme.


Tinjauan Singkat Ekofeminisme

Ekofeminisme merupakan sebuah pertemuan antara gerakan ekologi dan feminisme. Ekofeminisme melihat masalah sosial, kultural dan struktural, yang berupa dominasi yang sangat kuat dalam relasi antarkelompok manusia (ras, etnik, negara, bangsa, agama, seks, jender) dan relasi antarmanusia dengan alam-lingkungannya yang mengakibatkan banyaknya penderitaan bagi manusia itu sendiri, yang berupa perang maupun kehancuran lingkungan hidup.
 

Dalam perspektif ekofeminisme, krisis ekologis, sosial dan politik dewasa ini disebabkan tidak adanya keadilan, perdamaian dan khususnya penghormatan dan penghargaan terhadap ciptaan. Menurut seorang ekofeminis, Karen J. Warren, hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa masyarakat kita dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan, tingkah Iaku yang memakai kerangka kerja patriarki. Asumsi yang bekerja pada budaya patriarki adalah : 1) Identifikasi perempuan dengan fisik dan alam; 2) Identifikasi laki-laki dengan intelektual; 3) asumsi dualistik pada inferioritas fisik dan superioritas mental. Warren. sangat yakin bahwa cara berpikir hirarkis, dualistik, dan mmindas adalah cara belpikir maskulin yang telah mengancam keselamatan perempuan dan alam.

Ekofeminisme memiliki nilai lebih karena tidak hanya memfokuskan diri pada subordinasi perempuan, tetapi juga subordinasi alam-lingkungan (ekosistem) di bawah kepentingan manusia. Ekofeminisme mengkritisi pilar-pilar modernisme yakni “antroposentrisme” (faham yang menempatkan posisi dan kepentingan manusia lebih di atas kepentingan makhluk lain) dan “androsentrisme” (faham yang menempatkan posisi dan kepentingan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan posisi dan kepentingan kaum perempuan).


Wajah Ekofeminisme di Indonesia

Gerakan Ekofeminisme yang secara konseptual dipercaya bermula di Prancis telah dan akan terus melalui jalan panjang untuk menemukan penggeraknya di seluruh dunia. Indonesia, dengan berbagai permasalahan lingkungan multi-aspek dan multi-dimensinya, tak luput membangkitkan gerakan-gerakan aktivisme pembelaan lingkungan, termasuk Ekofeminisme. Walaupun bukan berakar di Indonesia, gerakan Ekofeminisme cukup getol disuarakan para penggeraknya di bumi pertiwi. Nilai-nilai Ekofeminisme kian gigih diamini dan diimani oleh mereka yang gerah menyaksikan opresi dan subordinasi yang dilanggengkan oleh budaya patriarki di mana perempuan dan alam-lingkungan menjadi korbannya.

Pejuang lingkungan di Indonesia, utamanya yang bergerak pada isu tambang tentu sudah tidak asing dengan nama Aleta Baun. Mama Aleta berjasa atas perjuangan mempertahankan lingkungan dari cengkraman korporasi tambang di Gunung Mutis,
 

Mollo Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejak 1996, ia telah menjadi ‘musuh’ perusahaan maupun pemerintah daerah saat itu. Kaum oligarki menawarkan hadiah pada siapapun yang dapat membunuhnya. Mama Aleta lari menyembunyikan diri ke dalam hutan bersama bayinya. Warga lain yang terus berjuang ditahan dan dipukuli. Namun, mereka tetap gigih berjuang.

Mama Aleta mengorganisir ratusan warga desa aksi damai dan menduduki tempat-tempat penambangan marmer. Mereka protes sambil menenun. Berkat perjuangan tak kenal lelah, pada 2007, Mama Aleta dan warga berhasil menghentikan perusakan tanah hutan sakral di Gunung Mutis. Perusahaan-perusahaan tambang itupun hengkang. Perjuangan layaknya yang dilakukan Mama Aleta kemudian berlipat ganda ke seluruh pelosok negeri. Degup keberaniannya menggema.

Pada April 2016, sembilan petani wanita yang mewakili masyarakat Kendeng , Rembang, Jawa Tengah yang lebih dikenal dengan “Kartini Kendeng” mengadakan aksi di depan Istana Negara, Jakarta sebagai bentuk protes terhadap pemberian izin lingkungan untuk aktivitas pertambangan PT. Semen Indonesia. Salah satu bentuk protes dilakukan dengan aksi menyemen kaki. Perjuangan panjang akhir berbuah hasil. Pada 5 Oktober 2016 Mahkamah Agung mengabulkan Peninjuan Kembali (PK) gugatan mereka atas izin lingkungan kepada PT Semen Gresik (kemudian menjadi PT Semen Indonesia).

Terbaru, pada Juli 2020 lalu, ratusan nelayan dan masyarakat Pulau Kodingareng turun ke laut guna melakukan aksi protes terhadap praktik penambangan pasir laut untuk kepentingan proyek reklamasi Makasar New Port (MNP) yang dilakukan oleh kapal Queen of the Netherlands milik PT. Royal Boskalis di perairan Sangkarrang, Makassar, Sulawesi Selatan. Aktivitas penambangan terbukti merusak kawasan perairan dan menyebabkan penurunan kuantitas tangkapan nelayan.

Perempuan dari desa – desa Pulau Kodingareng turun ke laut dalam protes meluas menuntut Boskalis mundur. Tidak hanya berkasi di laut, sejumlah perempuan istri nelayan menggelar aksi di depan Rumah Jabatan (Rujab) Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel). Mereka menolak aktivitas penambangan pasir di wilayah laut Makassar yang membuat mata pencaharian suami mereka kian berkurang. “Dampaknya mata pencaharian kita hilang. Selama ada Boskalis, kasian di pulau, kadang ada didapat, kadang tidak ada. (Laut) kami dirusak Boskalis, terus dampak yang paling terburuknya, pulau kami bisa tenggelam karena abrasi,” demikian kutipan wawancara dengan perempuan istri nelayan, salah satu peserta aksi sebagaimana dikutip dari Detik.com.

Perjuangan Mama Aleta bersama kelompoknya di NTT, Kartini Kendeng di Jawa Tengah dan perempuan-perempuan Pulau Kodingareng di Sulawesi Selatan merupakan gambaran bagaiamana wajah Ekofeminisme telah sedemikian tampak di Indonesia. Rautnya semakin jelas, seberapa seringpun dipudarkan. Perjuangan perempuan-perempuan tersebut merupakan wujud implementasi nilai-nilai yang diperjuangkan dalam Ekofeminisme, yang menyerukan penghapusan subordinasi dan dominasi dalam kultur patriarki dengan harapan untuk menghapus segala bentuk ketidak adilan yang selama ini langgeng menimpa perempuan dan alam-lingkungan di tanah air.

 

Penutup

Gerakan feminisme dan ekologi mempunyai tujuan yang saling memperkuat, keduanya hendak membangun pandangan terhadap dunia dan prakteknya yang tidak berdasarkan dominasi. Apa yang dilakukan para perempuan Desa Reni di India pada Gerakan Chipko dan yang dilakukan oleh Mama Aleta, para Kartini Kendeng dan Perempuan Pulau Kodingareng di Indonesia tentu berbeda dimensi waktu dan tempat. Namun, Gerakan Chipko sejatinya adalah Gong yang suaranya bagai alarm, memperingatkan manusia bahwa perjuangan melawan dominasi dan subordinasi akan menemui jalannya, akan dengan tak gentar, diperjuangkan para pejuangnya. Suara itu kemudian bergema, ke seluruh penjuru dunia hingga pada suatu ketika sampai di telinga-telinga perempuan pejuang lingkungan di bumi pertiwi. Gema Gerakan Chipko telah membantu menumbuhkan keberanian, membantu menyalakan pelita dan memperkuat tekad untuk menyelamatkan perempuan dan alam-lingkungan dari jerat patriarki. Wajah Ekofeminisme semakin jelas rautnya di Indonesia.

 
Referensi

Glazebrook, T., ‘Karen Warren’s Ecofeminism’ (2002) 7(2) Ethics and the Environment <https://muse.jhu.edu/article/37440/pdf> diakses 10 Agustus 2020.

Tyas Retno Wulan, ‘Ekofeminisme Transformatif: Alternatif Kritis Mendekonstruksi
Relasi    Perempuan    dan    Lingkungan’    (2007)    1(1)    Sodality:    Jurnal

Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia <https://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5935> diakses 10 Agustus 2020.

Petruzzello, M., ‘Chipko Movement’ (Britannica, 11 Juni 2015) <https://www.britannica.com/topic/Chipko-movement> diakses 11 Agustus 2020.

Mukhti,    M.F., ‘Gerakan Memeluk Pohon’ (Historia, 10 November 2010) <https://historia.id/ekonomi/articles/gerakan-memeluk-pohon-PKgpP> diakses 11 Agustus 2010.

Saturi, S., Fachrizal, A., ‘Mama Aleta: Berjuang Mempertahankan Lingkungan, Melawan Tambang dengan Menenun’ (Mongabay, 15 April 2013) <https://www.mongabay.co.id/2013/04/15/mama-aleta-berjuang-mempertahankan-lingkungan-melawan-tambang-dengan-menenun/> diakses 11 Agustus 2020.

Mairizal, L., ‘Tolak Pabrik Semen, 9 Kartini Pegunungan Kendeng Mengecor Kaki di Depan Istana’ (Kompas, 12 April 2016) <https://nasional.kompas.com/read/2016/04/12/19553321/Tolak.Pabrik.S emen.9.Kartini.Pegunungan.Kendeng.Mengecor.Kaki.di.Depan.Istana> diakses 11 Agustus 2020.

Jaringan Advokasi Tambang, ‘Koalisi Selamatkan Laut Desak PT Boskalis untuk Hentikan Tambang Pasir Laut di Perairan Makassar’ (JATAM, 24 Juli 2020) <https://www.jatam.org/2020/07/24/koalisi-selamatkan-laut-desak-pt-boskalis-untuk-hentikan-tambang-pasir-laut-di-perairan-makassar/> diakses 11 Agustsu 2020.

Mappiwali, H., ‘Istri Nelayan Geruduk Rujab Gubernur Tolak Penambangan Pasir

Laut Makassar’ (Detik News, 23 Juli 2020) <https://news.detik.com/berita/d-5104792/istri-nelayan-geruduk-rujab-gubernur-tolak-penambangan-pasir-laut-makassar> diakses 11 Agustus 2020.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan