web analytics
header

Bahasa dan Milenial : Jangan Memendam Cinta dilubuk Hati

Oleh: Winda Sari

(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 2018)

Apa kabar warga internet, dari jaringan 5G hingga satu batang sampai pusing bukan kepalang. Saatnya kita bahas masa depan. Masa depan bersama, siapa lagi kalau bukan MILENIAL. Ringan-ringan saja pembahasannya, karena yang berat itu dosa.

Membahas masalah milenial, seolah tak ada habisnya. Merajai dunia maya, menciptakan segudang inovasi, tak jarang penuh sensasi. Biasalah anak milenial “kata yang terselip disetiap akhir percakapan”. Nah, ada apa sih sebenarnya dengan milenial? Loe gak tau? Eh kok malah gaya bahasanya jadi milenial gini ya. Ungkapan seperti itu akrab melalang buana ditelinga kita.

Yaaa milenial dan bahasa, seperti aku dan kamu, saling melengkapi dan tidak terpisahkan.

Sebelumnya kita pahami dulu, siapa sih yang dimaksud milenial dan bahasa itu apa.

Berdasarkan KBBI maka:

11111111
Sumber: Winda Sari
11111111111
Sumber: Winda Sari
Bahasa tidak sesempit pemaknaan kearah bahasa Indonesia semata, namun akan lebih kompleks jika disandingkan dengan trigatra bangun bahasa yaitu utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.

Apakah trigatra bangun bahasa telah melekat dijiwa milenial saat ini???. Bertutur ataupun berbahasa sesuka hati tanpa menempatkan aturan dan batasan yang relevan.

Masih ingatkah kita ungkapan Pramoedya Anantatoer bahwa “seseorang yang tidak mengenal bahasanya sendiri, tidak akan pernah mengenal bangsanya sendiri”. Kendatipun bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa Indonesia, apakah kita telah menyatukannya dengan jiwa kita?.

Maraknya indolish (Indonesia English) seolah menjadi air keruh ditengah kehidupan bangsa.

Mencampur adukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing seolah menjadi hal lumrah dewasa ini. “Aku sebenarnya suka makan sayur but which is literally….” Yaaa kalimat semacam ini tengah popular dan digandrungi milenial dengan dalih agar terlihat keren atau kekinian. Dari kebiasaan seperti ini, sadarkah kita bahwa membiasakan hal tidak baik akan merusak sebuah komponen. Memperjuangkan bahasa Indonesia bukanlah hal mudah, makna sumpah pemuda lebih dari sebuah kata sejarah namun, ada cita perjuangan dan kekuatan didalamnya. Yaitu menjadikan bahasa Indonesia sebagai pemersatu ditengah keberagaman bahasa daerah di negeri ini. Apakah kita akan mengubah dan menciderai marwah bahasa Indonesia dengan fenomena indolish?.

Tapi tapi tapi, tidak sampai dipolemik indolish saja. Bahasa daerah pun dianggap kuno dan tertinggal oleh sebagian kaum milenial. Bayangkan, bahasa daerah di Indonesia yang dipetakan dari tahun 1991-2017 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terdapat 652 bahasa daerah. Sayangnya (jangan dibaca sayang ke kalian ya), milenial seolah malu berkomunikasi menggunakan bahasa daerah meraka. Takut dianggap kuno dan tidak kekinian. Jauh dari itu sebenarnya perkawinan beda daerah juga menjadi salah satu faktor penutur bahasa daerah semakin berkurang loh. Misal, ayahnya suku di salah satu daerah Jawa, kemudian ibunya orang Sulawesi. Kondisi seperti ini akan menjadikan korban dari pertemuan dua daerah atau suku berbeda. Tidak mau ambil pusing, bahasa ibunya hanyalah bahasa Indonesia tanpa mengajarkan anaknya bahasa daerah.

Milenial masih aktif menggemakan cinta Indonesia dan kebudayaannya, mencintai bahasanya dalam lubuk hati namun, ucap seolah tak menepati.

Kalau bahasa asing, milenial menunjukkan ketertarikan yang menonjol. Hanya saja, takut mengembangkan lebih jauh. Kadang menyelipkan bahasa asing dalam berbicara (kadang dengan kalimat terpenggal). Masih ingat tidak dengan ungkapan “terbanglah dengan bebas melihat dunia selagi masih muda”. Bagaimana mau terbang dan hinggap, kalau di luar sana bahasanya tidak kita pahami atau kuasai. Alhasil terbang tanpa arah bahkan menghilang dan tak tahu arah jalan pulang (bukan lagu ya). Jadikanlah bahasa asing sebagai alat kita untuk menggapai semua yang ada di bumi ini. Komunikasi akan sangat mudah dengan siapapun dan dimanapun. Milenial dengan kemampuan teknologi yang tinggi, tentu semakin mudah menjangkau sesuatu yang bersifat global dan mempelajari bahasa asing dengan mudah. Salah satu kendala ditengah milenial adalah ketika salah satu temannya mencoba untuk menggunakan bahasa asing, terkadang direspon “tidak usah sok bahasa inggris deh”. Sikap seperti ini tentu menjadi benteng dalam melatih kemampuan berbahasa asing seseorang.

Tidak menempatkan diposisi pesimis akan kekuatan milenial memaknai trigatra bangun bahasa diatas. Milenial memiliki jiwa yang muda, kreatif dan inovatif. Bahasa akan menjadi genggaman kuat para milenial emas untuk bangsa. Berkomunikasi menggunakan bahasa, bijak berbahasa. Sampaikan bahasamu dengan bijak, jangan sampai hanya terpendam dalam hati tidak meunjukkan cinta yang sejati dengan berbahasa yang santun dan bijak.

Jika bangga berbahasa Indonesia, maka tuturkanlah dengan baik.

Jika cinta dengan kekayaan bahasa daerah, maka jangan malu melestarikannya.

Jika ingin terbang melihat dunia, maka kuasailah bahasa asing.

Tunjukkan cintamu dengan menguatkan trigatra bangun bahasa, jangan hanya disimpan dalam hati tapi tuturkan dengan penuh dedikasi.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan