web analytics
header

Kebebasan Berekspresi Dalam Belenggu Regulasi

pgi vol2 hlsc

Makassar, Eksepsi Online – (1/8) Isu kebebasan berekspresi hingga kini masih menjadi polemik di Indonesia. Terbukti bagaimana isu ini kembali diangkat menjadi tema dan bahan diskusi, kali ini dalam ruang diskusi terbuka berjudul Pendampingan Grand Issue (PGI) yang dipelopori oleh Divisi Advokasi Hasanuddin Law Study Centre (HLSC) Periode 2021/2022 FH-UH.

Kegiatan yang berlangsung melalui platform Zoom Meeting pada Sabtu (30/7) ini berhasil menyuguhkan dua pemateri handal terkait tema yang diangkat melalui dua kacamata yang berbeda, yaitu Arteria Dahlan S.T., S.H., M.H. selaku Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Komisi III yang mengulik bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur dan menangani kebebasan berekspresi, dan di sisi lain ada Wirya Adiwena selaku Deputy Director Amnesty International Indonesia yang memaparkan implementasi regulasi serta kritik dan saran masyarakat.

Sebagai pembuka, Arteria Dahlan mengapresiasi HLSC dalam menyelenggarakan PGI ini terutama dengan tema yang sungguh menarik, melihat bagaimana implementasi undang-undang kebebasan berekspresi.

Kebebasan berekspresi memang merupakan hal yang amat krusial, melihat bagaimana di Indonesia sendiri Kebebasan berekspresi termasuk ke dalam hak yang diatur dalam konstitusi. Hal tersebut sejalan dengan yang diutarakan oleh Arteria Dahlan dalam materinya bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat atau berekspresi ini adalah suatu ciri dari negara hukum yang demokratis atau dikenal dengan ciri negara hukum modern.

Arteria Dahlan selaku bagian dari lembaga yang melahirkan regulasi-regulasi di Indonesia menjelaskan bahwa bangunan hukum terkait kebebas berekspresi sudah sangat tegas, dituangkan dalam suatu materi atau norma yang redaksional. Dicantumkan secara tegas dan eksplisit Undang-Undang Dasar (UUD) pada pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi:

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Lebih lanjut beliau menegaskan bagaimana bangunan hukum dari waktu ke waktu senantiasa dikuatkan

“Negara tidak main-main, negara sungguh-sungguh, diikuti pula dengan hadirnya berbagai produk perundang-undangan setingkat UU. Ada UU HAM (Hak Asasi Manusia), ratifikasi HAM, dan termasuk pula UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik),” Jelas Arteria

Negara telah mengakomodir seluruh regulasi terkait dari seluruh dunia guna mencapai demokrasi yang ideal. Masyarakat tidak hanya dimanjakan dengan kebebasan berpendapat namun juga dimanjakan dengan banyaknya hoax (berita palsu) yang tidak sukar menyebar di mana saja, maraknya hate speech, banyaknya perbuatan penghinaan penyerangan nama baik, harkat dan martabat kehormatan.

“Kita menolak juga atas nama hak, atas nama kebebasan tadi dipakai untuk menyerang HAM orang lain, dipakai untuk banyak hal yang jauh dari citra Hak Asasi Manusia itu sendiri,”tegasnya.

Beliau mengingatkan agar menghindari hal-hal demikian, opini tidak dapat dipaksakan menjadi fakta. Objektivitas tidak boleh kalah dengan persprektif sehingga benar salah sesuatu harus dilihat dari faktanya, dan harus proporsional menilainya.

Di akhir materinya, Arteria menegaskan ketidakbenaran opini implementasi UU ITE Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE) menjadi wadah represif aparat. Ajakan untuk terus bersikap objektif dan proporsional juga tak lupa digaungkan di akhir kalimatnya.

Beralih ke pemateri selanjutnya, melalui perspektif Wirya Adiwena selaku Deputy Director Amnesty International Indonesia melihat sisi faktual kebebasan berekspresi ini tidak selaras dengan keidealan yang diidam-idamkan karena dianggap belum melalui perbaikan yang berarti. “Bagi kami masyarakat sipil, sayangnya kami masih melihat belum adanya perbaikan situasi kebebasan berekspresi yang signifikan di Indonesia,” pungkasnya.

Beliau menyatakan bahwa berdasar dari hasil observasinya, ruang kebebasan sipil di Indonesia dianggap semakin menyempit. Kasus-kasus diksriminasi dan represif terhadap warga yang menggunakan haknya untuk kebebasan berekspresi terus terjadi. Lebih detail, beliau memberikan contoh kasus-kasus yang banyak terjadi pada 2021 dengan menggunakan hukum ITE untuk membuka celah melalukan tindak kriminalisasi.

Lebih lanjut, beliau menjabarkan data jumlah kasus pelanggaran kebebasan berekspresi yang menggunakan UU ITE relatif tinggi dan tidak mengalami penurunan secara signifikan dari tahun ke tahun. Pada 2016 ada 31 kasus, 2017 ada 71 kasus, 2018 ada 94 kasus, 2019 ada 98 kasus, 2020 ada 119 kasus, dan terakhir pada 2021 ada 83 kasus. Banyaknya kasus yang menunjukkan pembungkaman dengan UU ITE ini sangat disayangkan.

Pada akhirnya, setiap pihak memiliki perspektif yang berbeda dalam memandang suatu, namun tentu semuanya memiliki tujuan yang sama yakni demi kemaslahatan masyarakat Indonesia. Setelah mendengar materi yang telah disampaikan dengan lugas oleh kedua pemateri, sesi dilanjutkan dengan mendangar tanggapan yang dihadirkan oleh HLSC, kemudian berlanjut pada sesi tanya jawab serta penyampaian closing statement oleh moderator. Kegiatan IGD ini berlangsung dengan lancar dan berakhir pada pukul 16.20 WITA. (lyn)

Related posts: