web analytics
header

Stockholm Syndrome dalam Kekolotan Budaya Kaderisasi di Lingkup Kemahasiswaan Nasional

Sumber: Google

 

Sumber: Google
Sumber: Google

Oleh: Muhammad Abi Dzaar Al Ghiffary

Pengurus LPMH Periode 2022-2023

 

Kader, sebagai sebuah sumber daya manusia yang di dalam roda lembaga kemahasiswaan merupakan inti dari regenerasi kepengurusan. Tak ayal, setiap lembaga berlomba-lomba untuk mencari dan membentuk kader-kader berkualitas dan kompeten. Dalam lingkup kemahasiswaan Indonesia, umumnya metode yang dilakukan untuk membentuk dan menanamkan nilai-nilai keorganisasian kepada calon kader bisa melalui pendidikan dasar maupun melalui kegiatan latihan kepemimpinan. 

Penulis pun sebenarnya tak luput dari kegiatan seperti ini. Selama menjadi siswa dan mahasiswa, penulis sudah sering  mengikuti open recruitment sebuah lembaga sebagai calon kader maupun panitia dari kegiatan kaderisasi. Nah, dari sekian warna lembaga yang penulis coba menjadi calon kader (dan alhamdulillah telah menjadi anggota) dan juga cerita dari teman-teman mahasiswa dari seberang pulau, penulis melihat ada pola yang sama yang diterapkan setiap panitia di dalamnya. Penulis melihat bahwa pola kaderisasi beberapa (mayoritas) lembaga kemahasiswaan di Indonesia masih menggunakan metode represif dengan dalih “membentuk kader yang patuh dan tidak kurang ajar”. Adapun metode yang umum nya digunakan dapat berupa teriakan dari senior, pemaksaan atribut dan pemberian tugas yang bisa dikatakan untuk anggota maupun mahasiswa baru merupakan hal yang berat.

Lucunya, sebagian besar dari calon kader ini merasa bahwa relasi kuasa seperti ini merupakan hal yang lumrah. Hal ini terbangun lantaran sistem yang masih mengglorifikasi budaya kolot yang dianggap sudah turun-temurun ini. Ditambah ketika acara penutupan biasanya akan dilakukan acara maaf-maafan di mana sikap dari senior sebagai panitia yang ketika kegiatan berlangsung kasar kini menjadi lemah lembut kepada calon kadernya. Hal seperti ini yang penulis ingin katakan sebagai “Stockholm Syndrome” dalam dunia kaderisasi mahasiswa yang kolot ini. Namun sebelum melangkah, sebenarnya apa sih “Stockholm Syndrome” ini?

‌Pada tahun 1973 di Stockholm, Swedia terjadi sebuah perampokan bank. Perampok sempat menyandera beberapa petugas bank selama enam hari. Setelah drama penyanderaan usai, ternyata para korban berubah menjadi bersimpati kepada orang-orang yang menyandera mereka. Lebih daripada itu, ternyata mereka membela orang-orang penyandera ini. Karena kasus tersebut, fenomena ini kemudian dinamakan sebagai “Stockholm Syndrome”.

Berdasarkan pola yang telah penulis jelaskan di atas, tak ada salahnya jika penulis mengatakan metode kaderisasi mahasiswa kita masih kolot karena selalu muncul anggapan bahwa ini tradisi dari senior-senior sebelumnya. Ditambah pola pengaderan yang menerapkan penanaman “Stockholm Syndrome” kepada calon kadernya. Mereka (calon kader) ditempatkan di dalam keadaan tertekan di mana secara psikologis akan memicu mekanisme koping dengan cara mengembangkan perasaan positif se-tertindas-apapun-mereka kepada senior sebagai panitia yang mengkader mereka. Hal ini yang nantinya akan menjadi rantai budaya yang dianggap sakral bagi mahasiswa kedepannya. Penulis melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana di beberapa lembaga praktik seperti ini sangat “dikultuskan”, dan mereka yang mencoba untuk mengubahnya dianggap pengecut dan tidak diberikan ruang di dalamnya.

Sebagai penutup, metode kaderisasi sudah bukan zamannya menggunakan sarana represif serta “punishment and reward” sebagai metode utama. Toh banyak cara yang dapat dilakukan, misal seperti edukasi dan pengembangan kegiatan-kegiatan bermanfaat lainnya.

 

(Tulisan ini tidak mewakili pandangan Redaksi Eksepsi Online)

 

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan