web analytics
header

Jadi Cerminan Komitmen Negara, Menentukan Posisi Pelanggaran HAM Perlu Penyidikan Yang Tepat

Sumber: Google

Sumber: Google
Sumber: Google

 

Makassar, Eksepsi Online (13/1) – Tragedi kerusuhan pasca pertandingan sepak bola Liga 1 antara Arema FC vs Persebaya pada 1 oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan Malang yang menewaskan setidaknya 135 jiwa, menjadi tragedi yang menelan korban jiwa terbesar kedua dalam sejarah kerusuhan di stadion sepak bola dan menjadi sorotan publik nasional maupun internasional. 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2 desember 2022 menyatakan bahwa peristiwa Kanjuruhan terjadi akibat tata kelola yang diselenggarakan dengan cara tidak menjalankan, menghormati, dan memastikan norma keselamatan dan keamanan.

Merespon tuntutan publik mengenai status pelanggaran HAM yang terjadi pada tragedi tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebut peristiwa jatuhnya ratusan korban di Stadion Kanjuruhan bukan termasuk pelanggaran HAM berat.

Namun hal tersebut ditentang keras oleh pegiat HAM, Haris Azhar yang menilai tragedi Kanjuruhan telah memenuhi syarat sebagai pelanggaran HAM berat. Karena menurutnya unsur yang disyaratkan dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah terpenuhi.

Ditemui di ruang dosen Universitas Hasanuddin, Dr. Kadarudin selaku dosen aktif departemen internasional dan pidana, dimintai tanggapannya terkait pelanggaran HAM dalam tragedi Kanjuruhan. 

Berikut ini wawancara tim Eksepsi dengan Dr. Kadarudin, S.H., M.H :

Tim Eksepsi: Pendapatnya terkait tragedi Kanjuruhan setelah Menkopolhukam yang menyatakan bahwa itu bukan pelanggaran HAM berat, padahal ini tragedi kemanusiaan besar yang terjadi di Indonesia. 

Dr. Kadarudin: Sampai saat ini baru sebatas potensi adanya pelanggaran HAM berat. Perbedaan pelanggaran HAM berat dengan pelanggaran HAM biasa. Semua  kejahatan itu pelanggaran HAM pembunuhan dan sebagainya, intinya semua yang bentuk kejahatan yang tertuang dalam KUHP, UU tipikor, tindak pidana dalam UU kehutanan, itu semua tindak adalah pelanggaran HAM.

Tim Eksepsi: Apakah semua kejahatan kemanusiaan itu bisa dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat? 

Dr. Kadarudin: Tidak semua kejahatan itu bisa di klasifikasi sebagai pelanggaran HAM berat, karena kita negara hukum berdasarkan UUD pasal 1 ayat (3) maka rujukannya tentu dari UU pengadilan HAM. UU pengadilan HAM itu di pasal 7 diatur bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat ada dua; pertama kejahatan genosida dan, yang kedua kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain dua itu berarti dia pelanggaran HAM biasa, bukan pelanggaran HAM berat.

Tim Eksepsi: Lalu jika melihat dua jenis klasifikasi pelanggaran HAM ini, apakah kasus Kanjuruhan ini tidak masuk dalam keduanya? 

Dr. Kadarudin: Nah, kita lihat di kejahatan genosida itu penjelasannya di pasal 8 bahwa kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh bla bla. Nah, kalau kita lihat dari pasal 8 ini tidak masuk karena suporter yang di Stadion Kanjuruhan itu kan tidak hanya satu kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama tapi kan mereka berbaur ya, agamanya berlainan rasanya juga berlainan dan lain sebagainya. Adapun mereka berkelompok di situ kan karena kecintaan mereka terhadap klub sepak bola yang ya ini idolakan kan seperti itu artinya terhadap genosida ini tidak masuk.

Nah, kita masuk yang kedua kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan terhadap kemanusiaan kita bisa lihat di penjelasan di pasal 9, jadi kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b ini adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditunjukkan secara langsung terhadap penduduk sipil. Nah, ini masuk kalau kita lihat serangan tersebut ditunjukkan secara langsung terhadap penduduk sipil secara meluas dan sistematik nah berupa pembunuhan pemusnahan perbudakan dan sebagainya tapi ini yang masuk yang point a pembunuhan nah kalau kita lihat penjelasan dari pasal 9 ini, apa yang dimaksud dengan serangan yang sistematis dan ditujukan langsung kepada penduduk sipil jadi penjelasannya itu adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. 

Tim Eksepsi: Pada kasus kanjuruhan ini, kelanjutan kebijakan yang berhubungan dengan organisasi ini merujuk ke mana?

Dr. Kadarudin: Nah itu, apakah organisasi itu FIFA atau organisasi PSSI atau organisasi kepolisian, karena ini kan keamanan jadi kalau kita lihat di sini tidak ada penjelasannya lagi. Cukup serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil itu adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil ini sudah pasti karena yang diserang oleh polisi itu adalah penduduk sipil. Nah, kenapa ini bisa kita katakan serangan bukan pertahanan diri karena suporter tidak pakai senjata sedangkan polisi pakai senjata. 

Lalu dari pemberitaan, persoalannya sebenarnya kalau polisi tidak tembakan gas air mata, ini tidak akan terjadi korban, nah tapi ini korban banyak karena selain ada gas air mata, orang bertumpuk di pintu keluar jadi pintu keluar itu enggak terbuka full toh jadi berdesak-desakan. Bayangkan desak-desakan saja tanpa adanya gas air mata itu oksigen berkurang apalagi kalau pakai gas air mata nah ini kan semakin cepat akhirnya mereka meninggal. Tentu sudah bisa kita katakan serangan langsung terhadap penduduk sipil ini serangan bukan pertahanan diri dari polisi, yang berikutnya tadi kan dia masuk ke pembunuhan ya yang huruf a itu, nah huruf a pembunuhan pembunuhan itu penjelasannya yang dimaksud dengan pembunuhannya adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 340 KUHP. Artinya pembunuhan berencana ya kan kalau penggunaan biasa, pasal 338, nah ini sistematis kan.

Tim Eksepsi: Terkait dengan sistematisnya, pegiat HAM Haris Azhar menilai tragedi Kanjuruhan telah memenuhi syarat sebagai pelanggaran HAM berat, bagaimana menurut Anda? 

Dr. Kadarudin: Nah, sekarang sistematisnya itu kita lihat apakah dia ada komando untuk menembakan gas air mata, kalau itu ada berarti itu sistematis memenuhi unsur ini, berarti dia masuk pelanggaran HAM berat. Tapi ada satu kelemahan sebenarnya, kenapa saya agak condong ke pernyataan Mahfud MD yang bilang bukan pelanggaran berat. Karena ingat dalam pelanggaran HAM berat itu harus dilihat dari dua sisi ya, Ada actus reus (tindakan penjahat) dan ada mains rea (niat jahat). okelah kita lihat itu tembakan gas air mata itu actus reus, sekarang pertanyaannya apakah memang polisi dari awal niat ingin membunuh ini para suporter atau hanya agar suporter ini terkendali. Padahal kalau menurut informasi FIFA memang sudah melarang sama sekali ada penggunaan gas air mata dalam pengamanan sepak bola, makanya di luar negeri itu tidak ada penggunaan gas air mata hanya di Indonesia. Nah, ini juga pernah dikritisi di PSSI cuman saya enggak tahu apakah ini berjalan atau tidak. 

Tim Eksepsi: Apa yang dimaksud dengan kelanjutan kebijakan yang berhubungan dengan organisasi? 

Dr. Kadarudin: Nah, itu belum ada penjelasan lanjutannya di UU tersebut, tapi kan sebenarnya kalau kita lihat sejarahnya ini undang-undang ini diadopsi dari Statuta Roma 98, terkait dengan kewenangan ICC. Nah, di Statuta Roma 98 diatur juga terkait kejahatan kemanusiaan, namun yang diadopsi ini hanya setengah, kalau di Statuta Roma 98 pelanggaran HAM berat itu ada empat yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Di Indonesia hanya mengadopsi dua, genosida saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun jika kita lihat di aturan ICC ini khususnya di pasal  7 ayat (1) statuta roma ini jenis-jenis perbuatan yang termasuk dalam kualifikasi pelanggaran HAM berat yang pertama adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, berarti salah satu dari perbuatan eee berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil dengan mengetahui adanya tindakan pembunuhan bla bla bla anggaplah kita ambil yang pembunuhan nah dipasal 7 ayat (2) itu diatur bahwa jadi Ketentuan tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut di pasal 7 ayat (2) statuta roma, jadi serangan yang terdiri dari tindakan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) terhadap penduduk sipil yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan tersebut, ini lebih lengkap sih penjelasannya. Jadi, di bagian frasa tentang serangan yang terdiri dari tindakan, anggaplah pembunuhan ayat (1) tadi kan bahwa huruf a pembunuhan terhadap penduduk sipil yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan negara jadi memang negara ada kemauan untuk melakukan kejahatan terhadap penduduk sipil. Tapi ini apakah bisa kita artikan bahwa kepolisian ini adalah negara? Ya tidak. Apakah kepolisian ini ada niat untuk membunuh si penduduk sipil tadi atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan tersebut, jadi memang ada kemauan untuk menyerang, ada niat untuk menyerang. Ini lebih lengkap penjelasannya ketimbang undang-undang pengadilan HAM tapi kan kita bisa merujuk ke sini karena memang ini juga adopsi dari statuta roma, seperti itu. Nah, makanya saya bilang tadi kendalanya ada dua yang sampai saat ini belum bisa dibuktikan, yang pertama apakah dia komando pada saat penembakan gas air mata itu apakah ada perintah komando atau inisiatif dari si prajurit tadi. Kita bisa bilang sebenarnya ini komando karena kan masa bersamaan sampai 135 yang gugurkan penduduk sipil. Nah, tapi kan yang namanya hukum pidana atau HAM ya ini kan tidak bisa menduga-duga kita tidak bisa memiliki berhipotesa harus ada bukti, jadi harus ada bukti bahwa ada niat membunuh, yang kedua Komnas HAM sebagai penyidik harus bisa membuktikan bahwa ada komando dan ada niat dari si polisi untuk melakukan penembakan gas air mata atau niat untuk membunuh.

Tim Eksepsi: Jika melihat dari niat, maka ini masuk ke pelanggaran biasa? 

Dr. Kadarudin: Pelanggaran biasa jadi dia melanggarnya KUHP, kelalaian ya, menyebabkan orang meninggal terlepas dari ada begitu banyak korban. Kalau tidak salah ini kan berdasarkan pemberitaan bahwa sebenarnya ini Polres Malang ini sudah menyurat ke PSSI bahwa itu Jangan bahwa itu jangan dilakukan malam hari karena akan rawan, tapi dari penyelenggaraan memikirkan kerugian sponsor nanti. Kalau polisi frame-nya keamanan dan ketertiban ya nah kalau penyelenggara ini kan bisnis karena sponsor kan, jadi sejauh ini ya paling ya itu melanggar KUHP, kelalaian yang menyebabkan kematian. 

Tim Eksepsi: Artinya dalam kasus Kanjuruhan belum bisa dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat? 

Dr. Kadarudin: Kesimpulan saya, ini masih berpotensi pelanggaran HAM berat khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai pasal 9 point a tadi. Kita lihat dulu apakah itu ada komando atau tidak, kalau itu terpenuhi maka selanjutnya ada niat jahat atau tidak. Kalau itu tidak ada materialnya ya artinya ini adalah pelanggaran HAM biasa. Namun, sejauh ini tidak belum bisa kita klaim ini pelanggaran HAM berat atau biasa karena kan belum ada bukti. Tapi minimal ada potensi, selama ada perintah komando dan mains rea ini bisa dibuktikan ya artinya laporan ini bisa ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung untuk jadi pelanggaran HAM berat. 

Tim Eksepsi: Jadi siapa yang seharusnya yang dipidana dalam kasus Kanjuruhan ini? 

Dr. Kadarudin: Ya tentu polisinya, jadi kan sekarang itu kalau tidak salah sudah banyak yang ditetapkan sebagai tersangka, ketua penyelenggara dan kepala unit polisi, cuman harusnya semua yang menembak  gas air mata itu seharusnya semua tersangka karena ada namanya pertanggungjawaban individu. 

Tim Eksepsi: Bagaimana pendapat anda soal penegakkan hukum yang terkesan lama? 

Dr. Kadarudin: Untuk memulai proses pelanggaran HAM berat itu tidak sesederhana pelanggaran HAM biasa atau kejahatan biasa ini kan Komnas HAM juga harus berhati-hati jangan sampai dia sudah keluarkan dimulainya penyidikan tapi ternyata minimal alat bukti itu tidak terpenuhi. Nah, ini kan pasti blunder, apalagi Komnas HAM ini kan instrumen negara makanya kita percayakan saja sama Komnas HAM karena di kasus Paniai yang sebelumnya juga kan sebenarnya kalau kita lihat mereka juga serius tapi ternyata pihak kejaksaan yang tidak melakukan dengan baik dan itu bukan hanya Paniai, pengadilan HAM Sebelumnya juga kan semua bebas. Jadi, berharap semoga mereka bisa profesional dan proporsional juga diikuti dengan Jaksa sebagai penuntut karena jangan sampai Komnas HAM sudah maksimal tapi di Jaksa agungnya tidak maksimal seperti kasus-kasus sebelumnya yang anti klimaks. (göz)

Related posts: