web analytics
header

Kitaran

Sumber: Pexels
Sumber: Pexels
Sumber: Pexels

Oleh: Muhammad Ayechral RK

Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas

Jika tangisan adalah cara terbaik untuk menuangkan kesakitan, kesedihan, kekesalan, kegelisahan. 

Maka tertawa adalah cara untuk merayakannya. 

 

Hingga akhirnya kita sadar bahwa sedih itu sementara.

Karena semua orang pernah tertawa,

dan itu arti kalau kita juga bahagia. 

 

Hujan lebat lahir dari petir yang hebat.

Awan cerah lahir setelah badai itu lewat.  

Sedih dan bahagia menjadi bagian dalam diri manusia, tak dimungkiri jika ia datang bergantian.

Cara melewatinya adalah menerima bahwa dua hal ini pasti menimpa kita. 

 

Kita tak bisa melarang hujan yang jatuh beriringan. 

Kita tak bisa menahan bintang jika hari berganti pagi. 

Kita tak bisa menahan tangis, jika rasa dalam hati begitu sesak.

Tumpahkan sampai benar-benar lega. 

 

Hujan melahirkan langit yang cerah.

Pagi hari memberikan sinar yang terang.

Air mata akan berubah menjadi senyum yang indah. 

 

Mengeluh adalah menu terpahit, tapi selalu tersaji di meja santapan kita. 

Bahagia terlalu mahal, sedangkan sengsara itu cuma-cuma. 

Jika ingin sengsara, tak perlu melakukan apa-apa. 

Kemudian yang berjuang menuju bahagia, tetap kuat diterpa kesedihan. Lelah hanya lorong kecil yang menghubungkan kita ke tempat yang lebih sulit. Setiap hari kita disuguhkan dengan hal-hal yang berat dan mengecewakan. 

Tak salah jika kau menangis dalam perjalanan itu. 

Apa yang lebih baik dari tetes air mata yang memimpikan satu senyuman, ketimbang menderita dalam keabadian. 

 

Bersyukur adalah milik semua orang, hanya saja terkadang kita lupa melakukannya.

 

Related posts:

GARIS TAKDIR

Oleh: Imam Mahdi A Lekas lagi tubuhku melangkahMelawan hati yang gundahKe ruang samar tanpa arah Sering kali, ragu ini menahan

Dialog Temaram dalam Jemala

Oleh: Naufal Fakhirsha Aksah (Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas) Bagaimana kabarmu? Kabar saya baik, Tuan.  Bagaimana sejak hari itu? Sungguh, saya

Bukan Cerita Kami

Oleh: Akhyar Hamdi & Nur Aflihyana Bugi Bagaimana kau di kota itu, Puan? Kudengar sedang masuk musim basahTidak kah ingin