web analytics
header

Cerpen: Harapan di Ujung Malam

FOTOSatu hal yang membuat kita tetap menanti seseorang adalah harapan. Perasaan yang tak pernah lelah meski seringkali dihajar kalah. Berkali-kali didera luka dan kecewa. Namun memilih untuk tetap ada. Bahkan saat kau bunuh dengan sangat kejam, perasaan itu masih saja bertahan. Sakit bukanlah hal yang harus dijelaskan. Hanya saja ada yang lebih kuat yang tak mampu dijabarkan. Sesuatu yang tak tampak, namun membuat bertahan meski terancam dicampakkan. Meski sesak memenuhi ruang hati. Orang-orang barangkali menyebutnya cinta buta. Namun, kau percaya itulah yang disebut cinta.

Jam digital di pojok warkop menunjuk angka 10, langit tak lagi terang, aku masih di sini, tak bergerak karena takdir Tuhan sedang menyapa, hujan yang sedari tadi bertamu ke bumi belum juga menunjukkan tanda redanya, tiba-tiba saja perasaan itu datang ditemani dinginnya angin malam. Perasaan yang membuatku tak ingin melakukan apapun selain menikmatinya. Kedatangannya malam ini tentu saja tak mengagetkanku karena hampir setiap malam aku dihampirinya, entah sekedar menyapa atau mungkin punya maksud lain. Yang aku tahu, aku menikmati setiap tusukan yang ia berikan.

Seorang pelayan dengan tinggi semampai berlalu di hadapanku, kupesan segelas cappuccino dingin keduaku padanya. Malam ini aku tak sendiri, aku bersama salah seorang sahabat karibku sejak SMA. namanya Win. Pribadi kekinian yang selalu aku kagumi, meskipun terkadang menyebalkan tetapi dari kepalanya terkadang lahir pemikiran-pemikiran ‘cadas’. Pakaian rapi dan Android dalam genggaman tangan kanan adalah ciri khasnya. Kulihat ia melirikku sekali-kali, bingung melihat tingkahku yang sedari tadi hanya diam, ia memulai percakapan.

“Kenapa diam saja? ada masalah?” tanyanya sambil terus menatap layar di hadapannya.

“Aku sedang memikirkan Dibu.”

“Memikirkan Dibu?”

“Apa yang dia lakukan sekarang ya?”

“Mungkin sedang kerja tugas, tidak usah kamu pikirkan dia terus.”

“Apa aku menghubunginya saja?”

“Jangan ganggu dia, ini sudah malam, mungkin dia sedang belajar atau beristirahat” katanya lagi.

Namanya Dibu, Mahasiswa Kedokteran yang aku kagumi sejak SMA. Ia sekelasku sejak kelas 2. Menurutku, dia adalah pribadi yang diciptakan Tuhan sambil tersenyum. Selalu saja membujukku untuk lebih tahu tentangnya. Rasanya baru kemarin aku menikmati senyuman manis tipis di bibirnya, sekarang aku sudah dibuat rindu lagi olehnya. Entahlah, semua berjalan begitu cepat. Dia hadir, lalu kebahagiaan terjadi begitu saja. Ia  melanjutkan kuliah di salah satu Universitas di ‘Pulau Seribu Sungai’, bukan karena kemauan pribadi tetapi karena keinginan orang tuanya. Baginya pilihan orang tua adalah yang terbaik untuknya.

 

Akhirnya pesananku datang, tak perlu waktu lama menunggu pesananku karena suasana warkop malam ini memang sedang tidak seramai biasanya. Aku berusaha mengamati Win, malam ini dia terus saja sibuk mengutak-atik Android kesayangannya. Belum selesai aku mengamatinya kali ini ia yang menatapku dengan pandangan tajam.

“Memangnya kamu masih menyukai Dibu?”  tanya Win tiba-tiba.

Aku berusaha mengalihkan pandangan ke arah laptopku. Menurutku pertanyaan yang diajukannya kali ini sama sekali tak perlu aku jawab. Mungkin sudah ratusan kali ia menginterogasiku dengan pertanyaan yang sama dan tak ada yang berubah pula dari jawabanku.

“Bukannya dia makin dekat dengan anak kelas sebelah?” lanjut Win.

Aku terdiam mencoba mencerna pertanyaan, mencoba menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan.Kira-kira begitulah caraku menetralkan diri. Aku hampir lupa, saat ini Dibu juga sedang dekat dengan salah seorang teman SMA-ku dulu. meskipun beda kelas, tetapi keduanya sangat akrab dan kecemburuan yang kupendam selalu saja berusaha aku sisipkan ditengah keakraban mereka. Bagiku, cemburuku saat itu seperti jalan berkabut. Aku harus menyalakan lampu kata-kata untuk melihatnya. Bukan dengan diam seribu bahasa.

“Entahlah,” jawabku singkat yang langsung diikuti gerakan tangan meraih segelas cappuccino dingin dihadapanku. Sudah dua gelas cappuccino dingin yang aku pesan malam itu. Bagiku cappuccino dingin  di tengah derasnya hujan beserta angin malam masih lebih hangat dibandingkan sikap dingin yang Dibu  berikan kepadaku selama ini.

“Dibu tak suka kamu, ada orang lain di hatinya. Sudahlah, jangan kau paksakan, masih banyak yang lebih baik di luar sana kawan,” katanya santai.

“Di luar memang masih banyak, tetapi dia masih di dalam” jawabku sengit.

Entah kenapa malam ini aku merasa teman lamaku itu terus saja menghakimiku, seolah-olah aku adalah ciptaan-NYA yang memang paling pantas untuk disalahkan atas skenario ini.

“Oke, oke terus bagaimana? Kamu masih terus mau memperjuangkan orang yang tak pernah mau diajak berjuang?” lanjutnya.

Aku hanya terdiam, membiarkan mulutnya terus-menerus menikamku dengan kata-kata penghakiman, bagiku ucapannya malam ini meskipun disertai tikaman-tikaman kecil  tetap saja  tak akan mampu melukai nama yang telah aku abadikan dalam sebuah kotak fana bernama ingatan.

“Cinta itu perjuangan dua orang, bukan sendirian!” ucapnya tegas

Aku tahu temanku ini peduli padaku, bukan tak percaya aku bisa melewatinya sampai akhir tetapi mungkin ada hal lain yang memaksanya mengatakan itu padaku. Baru kali ini aku dibuat diam olehnya, selama ini aku tak pernah kalah sekata pun saat debat dengannya, tetapi malam ini, di tengah keramaian rintik hujan hanya dia yang berani menyapaku dengan penghakimannya. Tak habis pikir rasanya bahkan sahabatku pun tak lagi mendukungku, apakah aku salah?

“Ini takdir tuhan dan tak ada yang dapat disalahkan,” batinku.

Yang terpenting bukanlah menang atau kalah, bukan juga berhasil atau gagal mendapatkannya, Tuhan tidak mewajibkan manusia untuk menang sehingga kalah pun bukan dosa di bagian itu, yang terpenting adalah apakah seseorang berjuang atau tak berjuang. Hanya itu.

“Dan sekarang kau masih saja berharap padanya?” katanya sembari tertawa sinis.

Ada nada mengejek dalam penghakimannya kali ini. Satu-satunya yang tak dapat kuterima kali ini adalah dia menghakimiku dan dia mengejekku. Tetapi tak ada alasanku untuk menghentikannya karena aku memang benar-benar pantas dihakimi dan diejek oleh argumentasinya. Nadanya barusan membuat kesabaranku mulai habis. Kuserap semua celotehan kurang ajarnya. Tak ada yang kusisa sedikitpun. Kusatukan dalam suatu tempat sunyi tak bermilik lalu kubungkus dengan nama ‘sahabatku’. Malam ini aku kalah telak. Tak pantas rasanya aku mencaci karena tak ada yang pantas dicaci dari ucapannya. Perasaan inilah yang membuat semuanya  menjadi seperti ini. Ekspektasi yang terlalu tinggi untuk mendapatkannya yang membuat semua jadi begini.

“Aku tak tahu harus bagaimana kawan,” jawabku dengan nada pelan.

 

Kali ini aku benar-benar mati kutu di hadapannya, hanya pertanyaan tak bermelodi yang keluar dari mulutku. Ada banyak sekali cerita bahagia yang pantas dikisahkan pada hujan yang bertamu malam ini, tetapi entah kenapa aku lebih memilih cerita melankolis untuk disampaikan. Aku menatap cappuccino dingin yang tinggal setengah di hadapanku. kuperhatikan setiap tetesan pada dinding luar gelas akibat uap air, udara yang bersentuhan dengan gelas dingin mengakibatkan suhunya turun. Uap air yang ada di udara pun ikut mendingin. Jika suhunya sudah cukup dingin, uap air akan mengembun membentuk tetes-tetes air di bagian luar gelas.

“Kondensasi,” batinku sembari tersenyum.

“Kamu kenapa senyum-senyum? kamu tidak gila kan?” tanya Win bingung melihat tingkahku.

“Kondensasi,” kataku singkat dengan senyum yang makin lebar.

“Kondensasi?” tanya ia lagi.

“Kondensasi, pelajaran fisika dasar. Proses perubahan zat melepas kalor” jawabku.

“Saat uap air di udara melalui permukaan yang lebih dingin dari titik embun uap air, maka uap air akan terkondensasi menjadi titik – titik air atau embun. Ada apa dengan itu?” lanjutnya.

Aku tak percaya teman lamaku ini masih saja mengingat pelajaran SMA dulu, meskipun ia baru saja menghakimiku tetapi harus kuakui kalau memang dia jauh lebih cerdas dibandingkan aku. Aku tak menyangka bahwa ingatannya sampai sedetail itu tentang pelajaran yang telah hampir 2 tahun kami tinggalkan.

“Ada apa dengan itu?” tanyanya penasaran.

“Kamu masih ingat pelajaran itu?”

“Rasanya cuma itu yang aku ingat dari pelajaran Fisika SMA” katanya sembari tertawa.

“Ada apa dengan itu?” lanjutnya dengan raut berubah penasaran.

“Aku ingat Dibu lagi” jawabku sendu

“Dibu lagi?”

“Mungkin perasaanku kepadanya seperti itu.”

“Seperti itu? maksud kamu?”

“Saat sayang ini kepadanya hanya sebatas melalui perasaanku tanpa ada perasaannya, maka sayang itu akan menjadi tetesan-tetesan tak berguna di luar gelas.”

“Tentu saja! tak ada gunanya kau terus-menerus berharap padanya, toh kejadiannya pasti sama seperti tetesan-tetesan tak berguna di luar gelas itu,” jawabnya dengan nada yang benar-benar mengejek kali ini.

 

Rasanya memang benar, perasaanku sepertinya akan berakhir seperti kisah tetesan-tetesan embun tak berguna di luar gelas cappuccino dingin kesuakaanku. Tak tahu apa yang mesti aku lakukan, sudah sejauh ini aku berjuang dan Dibu belum juga memberikan respon yang aku harapkan. Ada banyak rasa sakit yang rasanya tak mungkin aku cabut, sehingga satu-satunya pilihan adalah menikmatinya. Aku merasa malam ini adalah malam paling panjang dalam hidupku, tak ada satupun dukungan terhadapku untuk memperjuangkan perasaan kepada Dibu bahkan dari sahabatku sekalipun. Padahal hampir setiap hari aku memikirkan untuk memberikannya kejutan, kutulis setiap perasaanku tentangnya, mulai matahari terbit hingga bulan terbenam kembali, bayangannya di benakku tak pernah lepas sedetik pun.

Aku percaya menyukainya adalah takdir Tuhan, dan tentu saja tak ada yang bisa disalahkan dalam drama kali ini. Yang salah adalah jika aku memaksa keluar dari skenario yang Tuhan telah berikan. Tuhan menciptakan gelisah untuk mengajari kita bersabar, bahwa semua yang kau tunggu mati-matian itu tak selalu datang, Tuhan menciptakan getir untuk mengajari menjadi tenang, mendidik jika semua tak berakhir bahagia, Tuhan menciptakan duka untuk mengajarimu cara bersahabat dengan luka, Tuhan menciptakan kecewa untuk mengajarimu hidup tak melulu tentang jumawa.

“Malam ini tekadku sudah bulat, buat apa lagi aku mengejar sesuatu yang tak menungguku?” batinku.

Berhenti ditengah jalan tak pernah menjadi hal yang mudah bagiku. Tak pernah. Tapi bagaimana saat orang yang sangat dekat dengan kita sekalipun tak lagi menunjukkan dukungannya terhadap pilihan kita?. Aku memang mampu berdiri sendiri, bahkan selama ini tak ada teman yang menemaniku dalam pendirianku. tetapi aku mengira mereka tak meninggalkanku. Ternyata aku salah. Malam ini ada satu hal penting yang berusaha mengerti bahwa punggung ini kadang rapuh di pertengahan jalan berkat beban perasaan yang harus dilahap sendirian, oleh karena itu aku harus memutuskan sesuatu.

 

“Kamu benar Win, aku harus berhenti sampai disini, mungkin Dibu tersiksa dengan beban yang yang aku tuntutkan padanya” kataku pada Win.

“Hahaha, Kamu jangan terlalu bawa perasaan, bukannya kau tak pernah menuntut apa-apa darinya? bahkan kau pun tak berharap jawaban dari pernyataan sayangmu padanya.”

“Bukannya kamu yang menyuruhku untuk berhenti?” tanyaku tak percaya dengan kata-katanya barusan.

“Aku bercanda kawan, mana mungkin aku melihat sahabatku menderita karena harus melupakan orang tak mungkin bisa dilupakannya?”

“Maksud kamu?”

“Iya, mustahil kamu melupakan Dibu.”

Aku seolah tak percaya dengan kalimat yang keluar dari mulut temanku barusan. Aku hanya berusaha memastikan semua perkataan yang keluar dari mulutnya saat itu dan tentu saja aku juga semakin dibuat bingung dengan peran yang diberikan Tuhan padanya malam ini.

“Baru saja kamu menghakimiku sekarang kamu berbalik mendukungku. Jangan-jangan kamu kiriman iblis” kataku sengit

“Iblis mana yang setampan aku?”

Hampir saja kesabaranku habis malam itu, seandainya dia bukan sahabatku sudah kupecahkan kepalanya dengan gelas cappuccino dingin di hadapanku.

“Aku baru melihatmu seperti ini, pertemanan kita sudah lama tapi baru kemarin rasanya aku mengenalmu,” lanjutnya.

“Maksud kamu?”

“Kalau kamu benar-benar sayang dengannya, kejar dia jangan pernah dengarkan pendapat orang.”

“Kamu jangan membuatku bingung Win.”

“Kasih sayang perlu keikhlasan, semakin kamu ikhlas dengan apa yang dijauhkan, maka yang kamu ikhlaskan akan menjadi lebih dekat.”

“Terus apa maksud kamu menyuruhku berhenti mengejarnya?”

“Aku cuma ingin melihat kau marah malam ini, sudah lama rasanya hanya kegalauan Dibu yang kau perlihatkan padaku.”

 

Bibirku mengembang, kupersembahkan senyuman paling tulusku malam itu. aku merasa  ada nada-nada mendukung dalam kalimat terakhir teman lamaku ini, tak ada lagi irama-irama penghakiman dalam merdunya ia berkalimat kali ini. Tak tahu sejak kapan ia pandai bersyair seperti itu apakah setelah membaca buku Djalaluddin Rumi atau Kahlil Gibran, Entahlah. Yang aku tahu malam ini aku masih mempunyai kawan untuk menjalankan skenario Tuhan sebagaimana mestinya. Teori yang diajarkan maha pembolak-balik hati malam ini padaku adalah saat kamu sudah merasa benar-benar lelah dan menyerah, Tuhan kadang bercanda dengan mengabulkan harapan yang sudah kamu relakan.

“Jadi sekarang aku harus bagaimana?  bukankah dia dekat dengan orang lain?”

“Tidak perlu berlebihan, nikmati saja. Dibu beruntung diperjuangkan orang sekeras kepala kamu,” katanya singkat.

Malam ini aku makin sadar, aku memiliki perasaan yang besar pada Dibu, aku ingin mengingatnya, melebihi apa yang mampu diingat oleh ingatanku. Benar kata kawan lamaku, tugasku hanyalah menyatakan perasaan. Hanya memberi tahu bahwa aku punya perasaan. Bukan memastikan perasaan itu terbalas. Perilah terbalas atau tidak, itu urusan lain. ya itu urusan lain karena semua yang milikmu akan kembali padamu, tidak perlu memaksakan semuanya. Dibu bukan sekedar pilihan, sebab aku tentu saja tak sekedar memilih, aku berjuang.

“Mau cappuccino lagi?” Tawarku padanya kali ini.

“Ubi goreng saja,” jawabnya sambil tersenyum.

Cappuccino dinginku tak lagi berasa tetapi aku tahu dia juga ikut tersenyum mendengar ujung percakapanku malam ini. Yang tergambar jelas di saat itu hanyalah hujan yang belum juga menunjukkan redanya dan suasana warkop yang makin sunyi. Kulirik jam dinding di pojok masih saja di angka 10. Aku pun tersadar, Tuhan baru saja menghentikan waktu untukku. Sekedar membahas permasalahan singkatku bersama malaikat yang baru saja kusapa iblis. Terlalu banyak hal yang kita katakan dan gampang jatuh cinta. Kita menganggap jatuh cinta sebagai kata kerja dan ingin mengungkapkannya sesering mungkin. Entah kita lupa atau tidak tahu kalu jatuh cinta dan mencintai adalah dua penderitaan yang berbeda.

Untuk pertama kalinya aku merasa Tuhan maha puitis, malam ini Ia mengajariku bagaimana cara menyusun skenario hidup yang begitu rumit, pahit dan penuh tangis. Tapi percayalah, Ia tak akan lupa membingkainya dengan cinta yang begitu manis. Dan malam ini tetap seperti malam-malam sebelumnya, berharap besok aku masih terbangun dari tidur, karena ada yang selalu aku syukuri ketika terbangun, pertama aku masih hidup. Kedua, aku masih bisa menikmati cappuccino dingin dan ketiga tentu saja karena aku masih bisa mengharapkannya. (Rst)

Warkop51 Makassar, 2016

Related posts:

Aku dan Sayapku

Oleh: Anggya Nurayuni (Peserta Ko-Kurikuler Jurnalistik 2023) Di suatu pagi yang cerah, di atas rindangnya pepohonan hutan, seekor Merpati cantik

Rayuan Perempuan Gila

Oleh: Elmayanti (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Aku mengatur napas, mencoba terlihat biasa saja. “Ini sudah sampai mana?” tanyaku pada Kirtan,

Misteri Ayam Geprek Pak Jamal

Oleh: Muh. Abi Dzarr Al Ghiffariy (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Alkisah, terdapat sebuah toko ayam geprek legendaris yang selalu ramai