web analytics
header

Sindrom Pemilukada, Pengikisan Independensi Media

Oleh: Rezky Pratiwi
(Div. Media dan Penerbitan LPMH-UH)
S
ejak tahun 2005 hingga kini, belum genap sewindu rakyat Indonesia dihadapkan pada perhelatan besar tingkat daerah yang merupakan produk demokrasi yakni Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada). Atmosfir politik yang terasa di masyarakat kian memanas ditiap pelaksanaanya, terlebih pasca dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang memasukkan Pemilukada dalam rezim Pemilu serta memberikan ruang pada calon perseorangan untuk ikut dalam persaingan.
Pelanggaran yang Terus Berulang

Dalam rangka menarik simpati pemilih, para kandidat melakukan kampanye dengan jargon-jargon atau memproklamirkan konsep tertentu. Aturan main dalam berkampanye yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun sebenarnya sudah cukup jelas, akan tetapi peraturan tersebut cenderung tidak diindahkan para kandidat. Terbukti dengan banyaknya spanduk, baliho, dan atribut kampanye lainnya terpampang pada jalan dan sudut-sudut kota sebelum masa kampanye dimulai. Aksi ‘curi start’ tersebut seperti telah menjadi sesuatu yang lumrah setiap penyelenggaraan Pemilukada di berbagai daerah. Hal ini jelas menyiratkan betapa kerasnya ambisi dari para kandidat hingga mengabaikan aturan yang ada.

 Di samping itu tidak jarang beberapa oknum saat berorasi ataupun dalam iklan mereka pada media massa serta atribut kampanye lainnya mengandung sindiran yang ditujukan pada kandidat lain. Meskipun tidak terang-terangan menyebutkan nama, namun hal ini jelas menimbulkan spekulasi di masyarakat. Alih-alih mendapatkan simpati masyarakat, tindakan tersebut justru akan merusak citra oknum yang melakukannya.

 Tidak sampai di situ, pada saat kampanye pun, tidak sedikit anak-anak yang ikut turun dalam kerumunan massa. Padahal dalam UU Perlindungan Anak, terutama yang ditegaskan pada Pasal 15, anak-anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlibatan dalam kegiatan politik. Di usia mereka yang masih dini tidak sepantasnya mereka dicekoki dengan hal yang berbau politik. Pihak orangtua pun seharusnya mempertimbangkan kondisi fisik si anak dan resiko yang bisa terjadi.

Sayangnya upaya Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) untuk menindak tegas pelanggaran yang dilakukan oleh para kandidat pada saat kampanye teganjal aturan yang dibuat oleh KPU sendiri. Dalam Pasal 5 Peraturan KPU No. 14/2010 misalnya. Pasal tersebut mendefinisikan kampanye bersifat kumulatif. Artinya jika salah satu unsurnya tidak terpenuhi, maka tidak dapat dikategorikan sebagai kampanye. Sedangkan unsur-unsur kampanye yaitu dilakukan oleh pasangan calon dan/atau tim kampanye, terdapat penawaran visi, misi, dan program, terdapat alat peraga atau atribut pasangan calon, dan ada unsur ajakan untuk memilih calon tertentu. Ketentuan tersebut jelas menjadikan aturan ini bersifat abu-abu, sebab aksi ‘curi start’ yang seringkali dilakukan oleh para kandidat tidak dapat dikategorikan sebagai kampanye. Hal ini harusnya menjadi bahan evaluasi oleh KPU untuk Pemilukada periode mendatang.
‘Main Mata’ Media Massa

Pada survei yang dirilis oleh The Asia Foundation tahun 2004 mencatat, lebih dari 90 persen masyarakat menggunakan media sebagai sumber informasi pemilihan umum (Tim LSPP, 2005). Angka tersebut jelas memberikan peluang besar bagi penyalahgunaan media massa pada proses Pemilukada, mulai dari adanya kesepakatan transaksional untuk menyediakan space iklan politik,  publikasi yang mem-blow up aktivitas kampanye pemilu, hingga pemberitaan yang menyudutkan calon incumbent atau saingan lainnya yang berkemungkinan mendominasi suara.

Terbukti pada riset yang dilakukan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mengenai keberpihakan media massa dalam pemberitaan Pemilukada Jakarta 2012. Ada 675 berita Pemilukada yang dihimpun dari lima belas media, baik cetak, online, maupun televisi. Berdasarkan riset tersebut ternyata banyak media yang memberitakan seputar Pemilukada hanya dari satu sisi (71%), ketimbang pemberitaan dengan dua sisi pemberitaan (22,2%). Lainnya, tidak jelas dan lebih dari dua sisi. Dari sisi konfirmasi beritapun hasil riset menyebutkan 26,5% berita di media tidak mengandung konfirmasi, sedangkan yang mengandung konfirmasi sebesar 20,3%.

Sangat disayangkan, media massa yang diharapkan berfungsi optimal dalam Pemilukada sebagai  sarana informasi yang seimbang dan menjadi referensi khalayak justru banyak dijadikan lahan kampanye terselubung. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam “nafas”-nya, media massa juga bergantung pada pemilik modal, namun bukan berarti “menjual” objektivitas yang merupakan indikasi pers profesional. Media  massa hanya memaparkan fakta, tidak mendikte ataupun mengarahkan opini masyarakat. Objektivitas media massa akan mendukung perannya bersama masyarakat sebagai pemantau terhadap berbagai penyelewengan dalam Pemilukada. Di samping masyarakat pun harus bijak dalam memilah berita agar tidak terjebak pada pilihan mereka.

Related posts:

Manis Gula Tebu yang Tidak Menyejahterakan

Oleh: Aunistri Rahima MR (Pengurus LPMH Periode 2022-2023) Lagi-lagi perampasan lahan milik warga kembalidirasakan warga polongbangkeng. Lahan yang seharusnyabisa menghidupi mereka kini harus dipindahtangankan denganpaksa dari genggaman. Tak ada iming-iming yang sepadan, sekali pun itu kesejahteraan, selain dikembalikannya lahanyang direbut. Mewujudkan kesejahteraan dengan merenggutsumber kehidupan, mendirikan pabrik-pabrik gula yang hasilmanisnya sama sekali tidak dirasakan warga polongbangkeng, itu kah yang disebut kesejahteraan? ​Menjadi mimpi buruk bagi para petani penggarap polongbangkeng saat sawah yang telah dikelola dan dirawatdengan susah payah hingga mendekati masa panen, dirusaktanpa belas kasih dan tanpa memikirkan dengan cara apa lagipara petani memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesejahteraanyang diharapkan hanya berwujud kesulitan dan penderitaan. ​Skema kerjasama yang sempat dijalin pun sama sekalitidak menghasilkan buah manis, petani yang dipekerjakanhanya menerima serangkaian intimidasi dan kekerasan hinggapengrusakan kebun dan lahan sawah siap panen, itu kahbentuk sejahtera yang dijanjikan? ​Kini setelah bertahun-tahun merasakan dampak pahitpabrik gula PT. PN XIV Takalar, tentu saja, dan memangsudah seharusnya mereka menolak, jika lagi-lagi lahan yang tinggal sepijak untuk hidup itu, dirusak secara sewenang-wenang sebagai tanda bahwa mereka sekali lagi inginmerampas dan menjadikannya lahan tambahan untukmendirikan pabrik gula. ​Sudah sewajarnya warga polongbangkeng tidak lagihanya tinggal diam melihat lahan mereka diporak-porandakan. Sudah sewajarnya meraka meminta ganti rugiatas tanaman yang dirusak, serta meminta pengembalian lahanyang telah dirampas sejak lama. Dan dalam hal ini, Kementerian BUMN, Gubernur Sulawesi Selatan, maupunBupati Takalar harus ikut turun tangan mengambil tindakansebagai bentuk dorongan penyelesaian konflik antara wargapolongbangkeng dan