Oleh: Ainil Ma’sura
(Catatan Hasil Diskusi Keunhasan bersama beberapa aktivis lembaga mahasiswa di lingkungan Universitas Hasanuddin, dihadiri Wahyuddin Djalil selaku aktivis lembaga mahasiswa Unhas era 1990-an)
Perkembangan mahasiswa sekarang tak jauh beda dengan perkembangan teknologi, melejit jauh tak terbatas. Mahasiswa berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sistem pendidikan dan inovasi-inovasi baru adalah bagian dari perkembangan itu. Namun salah satu bagian penting dari perkembangan itu adalah berkembangnya lembaga-lembaga kemahasiswaan.
Suatu kebanggaan apabila lembaga-lembaga kemahasiswaan tersebut mampu mencetak mahasiswa–mahasiswa idealis. Tapi itu tentunya tak semudah membalikkan telapak tangan melihat tantangan zaman yang memang ada perbedaan signifikan antara dulu dan sekarang. Lembaga kemahasiswaan hari ini hanya sekadar menjadi sensasi tersendiri bagi orang-orang yang ada di dalamnya. Lembaga kemahasiswaan seolah dijadikan lambang kekuasaan semata. Hanya mengharap cap publik bahwa dia adalah seorang ‘aktivis’, tanpa ada tindakan tertentu sebagai penggambaran jiwa dan sifat seorang aktivis sebagaimana yang didengung-dengungkannya.
Dalam diskusi dengan tema “Menerawang Mahasiswa Era 2000-an” di sekretariat PK Identitas beberapa waktu lalu dibicarakan bahwa memang ada yang berbeda antara mahasiswa dulu dan sekarang dari segi tantangan zaman yang kemudian menjadikan peran yang seharusnya dilakukan mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam lembaga kemahasiswaan tertentu menjadi melemah. Seperti yang saya bahasakan sebelumnya, bahwa sebagian besar mahasiswa dewasa ini lebih cenderung mencari sensasi tanpa peduli pada status dan peran yang seharusnya dijalankannya. Lalu apakah hari ini mahasiswa masih pantas menyandang gelar agent of change ataupun agent of social control?
Banyak mahasiswa yang cenderung “bernafsu” menjadi agent of changetapi arah pergerakannya tidak jelas sehingga berujung pada tindakan-tindakan anarkis yang meresahkan masyarakat umum. Hal ini juga dapat saja mengubah paradigma masyarakat terhadap posisi mahasiswa yang sebenarnya, tidak lagi sebagai agent of social control, tapi merekalah yang nantinya akan dikontrol oleh masyarakat.
Seringkali pemicu hal-hal tak terkontrol dari mahasiswa itu sendiri adalah adanya ego berlebihan terhadap kepentingan masing-masing. Hal ini pulalah yang kemudian diindikasi sebagai salah satu pemicu konflik dan tawuran yang akhir-akhir ini marak terjadi di kalangan mahasiswa. Salah satu contoh adalah tawuran antar fakultas di Universitas Hasanuddin (Unhas). Setelah ditelaah lebih dalam ternyata hal ini terjadi salah satunya disebabkan karena egoisme dan semangat ke-fakultas-an yang begitu tinggi. Masing-masing merasa kuat dan hebat dengan fakultasnya sendiri. Sehingga semangat serta jiwa ke-unhas-an masih kurang.
Minimnya semangat ke-unhas-an ini yang akhirnya melahirkan ide bahwa dirasakan perlu adanya satu lembaga formal di universitas untuk menjadikan Unhas ini satu, layaknya sebuah negara dengan satu pemerintahan. Namun, lagi-lagi perasaan sulit dan berat untuk mewujudkannya ditambah pesimistis sebagian besar mahasiswa dikarenakan bercermin pada masa lalu yaitu sekitar tahun 2007 ketika ide ini pertama kali muncul. Perwujudan ide ini justru semakin memecah belah antarfakultas karena menjadi ajang berebut “tahta”. Akibatnya citra lembaga kemahasiswaan menjadi hilang, yang ada hanya dijadikan ajang perebutan sensasi dan kekuasaan.
Fenomena inilah yang kemudian saya rasa perlu dikaitkan dengan lembaga kemahasiswaan beserta sumber daya manusia yang ada di dalam lembaga tersebut karena lembaga kemahasiswaan adalah wadah penting, sebuah wadah formal yang memang memegang peranan penting dalam pengembangan fungsi dan peran sebagai seorang mahasiswa.
Nah, inilah yang menjadi tantangan lembaga kemahasiswaan beserta sumber-sumber daya manusia yang ada di dalamnya hari ini. Mampukah mencetak mahasiswa-mahasiswa berkarakter tangguh dan berpikiran maju bukan mahasiswa-mahsiswa pengejar sensasi. Begitupula bagi mahasiswa itu sendiri, mampukah ia mempertahankan idealisme yang mereka gaung-gaungkan lewat “sumpah mahasiswa”?