Oleh : Muhammad Ansar
I
|
ndonesia kembali digegerkan dengan putusan hakim terhadap kasus korupsi yang sedang dialami oleh salah seorang Anggota DPR, Angelina Sondak yang juga mantan Putri Indonesia tahun 2004 ini. Setiap hari kita bisa melihat dan mendengarkan berbagai informasi tentang kasus tersebut, yang salah satunya pada putusan kasus tersebut hanya memvonis Angelina Sondakh selama empat setengah tahun dan denda beberapa ratus juta saja.
Putusan tersebut, tentunya mendapat berbagai tanggapan dan komentar baik dari kalangan masyarakat awam maupun dari kalangan para pakar hukum pidana. Melihat hal tersebut, maka sudah sepantasnya jika kita mempertanyakan ada apa dibalik putusan hakim tersebut, apakah hakim juga telah mendapatkan uang sogokan atau memang murni dari pertimbangan hakim?
Kasus yang begitu besar hanya mendapatkan hukuman yang sangat ringan dalam artian sangat tidak setimpal dengan perbuatannya. Bukankah hukum itu dibuat untuk memberikan efek jera bagi si pelaku tindak pidana dan untuk menjadi pelajaran bagi semua objek dari hukum itu sendiri?. Namun melihat dari putusan yang dikeluarkan oleh hakim tindak pidana korupsi tersebut maka kita bisa mengatakan bahwa hukum tidak dapat lagi menjadi panglima dalam pengaplikasiannya menyelesaikan segala persoalan-persoalan delik. Sudah semakin jelas bahwa hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas, asas equality before the law ( asas persamaan hak di depan hukum) kembali terciderai dengan kelakuan para hakim bangsa ini. Begitu banyak masalah yang menjadi pembandingnya diantaranya adalah kasus pencurian sepasang sandal yang pernah dilakukan oleh anak bangsa ini, namun justru mendapatkan ganjaran yang sangat berat dan tidak setimpal.
Jika ditelisik, hukum normatif yang berlaku di bangsa ini, bangsa ini seakan telah sempurna dan akan mampu menjadikan aturan sebagai sesuatu hal yang menakutkan. Namun, hal ini tentunya kembali lagi pada persoalan integritas penegak hukumnya. Teringat pada perkataan salah seorang pakar hukum bahwa, ”Berikan aku seorang hakim yang jujur dan aku akan memperbaiki hukum yang rusak itu.” Jika dimaknai ucapan ini, baiknya hukum itu tergantung dari penegaknya bukan dari hukum normatifnya. Berangkat dari pernyataan tersebut, maka mari kita kembali untuk mempertanyakan penegak hukum bangsa ini. Apakah ,mereka pantas untuk menjadi penegak hukum? Sebagai orang awam, tentunya kita menaruh prospek kepada mereka untuk lebih adil lagi dalam penegakan hukum tanpa terpengaruh oleh tawaran materi yang akan mempengaruhi putusannya dalam penegakan keadilan. Kembli pada persoalan yang menggerkan bangsa ini, kita mempunyai tanggung jawab mendorong pihak kejaksaan untuk melakukan banding pada pengadilan untuk mencari solusi yang bisa lebih adil lagi dalam memutuskan suatu perkara.