Saat hindu masuk di bumi nusantara berbondong-bondong pribumi memeluk agama Hindu, saat pedagang china masuk membawa kepercayaannya di kawasan pertiwi, candi-candi Budha berdiri perkasa di tanah-tanah jawa, begitupun saat kompeni belanda membawa ajaran Nasrani, gereja ada di mana-mana (Ambon, Manado, Papua, dll). setelah masuknya Islam, rakyat kita terbanyak di dunia yang memeluk agama Islam. tidak kah terlintas di benak kita, bahwa masyarakat kita suka ikut-ikutan? mengikuti trend dan gemar memakia produk bangsa lain?”
Indonesia dengan kekayaan budayanya adalah modal besar bagi peradaban suatu negara, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki peradaban sendiri-sendiri, memiliki ciri musik tersendiri, jenis tarian sendiri, dan lai-lain. Beberapa negara mungkin memeiliki peradaban yang lebih tua, tetapi jarang sekali ada negara yang memiliki kekayaan budaya seperti Indonesia. ini adalah salah satu keuntungan karena hobi kita yang selalu manut-manut pada budaya yang datang dari penjuru dunia. Beberapa negara memperkenalkan identitas bangsanya lewat tarian, misalnya Tari Samba yang sudah di kenal di seluruh antero dunia berasal dari Brazil dan tidak ada negara yang berani mencaplok tarian itu, ini di karenakan para pemudanya berusaha menjaga dan melestarikan tarian itu, bahkan para pemudanya berhasil memmatenkan tarian itu sebagai warisan kebudayaan dunia. ilustrasi/google.com

Manusia Manut-manut!
Pada dasarnya manusia tidaka suka kerumitan, ada sebuah buku yang pernah mempermasalahkan teori IPA tentang perubahan Fasa yang mebuktikan bahwa manusia lebih suka terhadap konsep sederhana, berikut kutipannya: “Di sekolah dasar dalam pelajaran ilmu alam diajarkan bahwa benda padat, contohnya adalah es, jika dipanaskan akan berubah menjadi cair dalam hal ini air. Kemudian jika air dipanaskan maka akan menguap menjadi fasa gas, dalam hal ini uap air. Proses sebaliknya akan berlaku. Proses ini disebut perubahan fasa (catatan: karena kurikulum sekolah sering berubah, topik perubahan fasa bisa juga diajarkan di sekolah menengah tergantung pada era pendidikan). Pernahkan ada yang menyangkal konsep ini? Padahal di dalam kehidupan sehari-hari kita melihat bahwa telur tidak demikian. Siapapun yang ada di sekolah, baik muridnya atau gurunya pasti pernah melihat telur yang kalau masih mentah berfasa cair. Kemudian jika telur mentah yang berfasa cair ini dipanaskan, apakah itu direbus, akan menjadi telur rebus, atau digoreng akan menjadi telur dadar atau mata sapi. Baik telur rebus atau telur mata sapi atau telur dadar adalah benda padat. Dengan kata lain, untuk telur cair (mentah) jika dipanaskan akan menjadi benda padat, bukan gas. Dan telur matang yang padat itu, jika dipanaskan lagi tidak mencair melainkan akan hangus. Silahkan coba kalau tidak percaya[1]. Hal sekecil ini membuktikan bahawa sifat dasar manusia itu memang tidak suka dengan kerumitan, terbukti guru-guru yang mengajari sesuai kurikulum itu dibantah oleh sebuah telur.

Gerombolan yang Terobsesi!
Tak lepas dari sifatnya manusia adalah mahluk sosial, semua tingkah laku manusia yang satu akan bersinergi baik secara langsung maupun tidak langsug kepada manusia lain, hal itulah yang sebenarnya mempengaruhi mentalitas manusia untuk mengikuti arus dalam perkembangan budaya yang mengglobal, namun di antaranya ada juga beberapa manusia yang memiliki ciri tersendiri untuk menghempas gempuran budaya-budaya yang masuk dalam ranah kehidupannya, yang menjadi permasalahan adalah ketika budaya yang berkembang menghasilkan sifat paten terhadap manusia (individu atau kelompok) itu sendiri, sifat paten itu kemudian menjadikan ciri negatif terhadap kelompok manusia. ilustrasi/google.com

![]() |
Ilustrasi. Kijang Gazzel selalalu mengukuti kemana rombongannya berlari, walau di dalam jurang sekalipun./Google.com |
Sifat sosial pemuda tidak selalu memberikan dampak yang baik bagi pemuda lainnya, saling mempengaruhi baik dari segi kegemaran dan kepedulian akan memberikan kesan berbeda, mencoba mengutip beberapa tulisan dari Imam Semar pada buku Penipu, Penipu Ulung, Politikus dan Cut Zahara Fonna tentang Menetalitas ikut Arus “……Di dekade 70an, rambut gondrong (panjang) bagi para pemuda bermuculan, banyak dan menjamur. Semua band, penyanyi dan artis pria berambut panjang. Mode dandanan waktu itu adalah, kaos (T-shirt), celana jeans cut-brai dan rambut panjang. Mahasiswa, pelajar, pemuda pengangguran, semuanya berpakaian seperti itu. Kalau anak-anak muda ini ditanya kenapa mereka berambut panjang. Jawab mereka hampir sama: “Mau lain dari yang lain”. Kalau mereka mau lain dari yang lain, seharusnya mereka pakai dasi dan jas, serta berambut pendek. Bukan berkaos T-shirt. Yang mereka lakukan sebenarnya kebalikannya, yaitu: mau sama dengan yang lain. Ada kecenderungan yang dipunyai manusia untuk terjun mengikuti arus trend massa; seperti layaknya kumpulan ternak, Kijang Gazzel, zebra, dan hewan mangsa lainnya di Afrika, atau Ikan Sardin dan Ikan mangsa lainnya, ketika dikejar predator pemangsa. Apakah ini hanya sekedar insting untuk menyelamatkan diri dari pemangsa? Anehnya, kumpulan hewan mangsa ketika ujung tombak terdepannya mengarah kedalam jurang dan terjun, maka yang lain pun bisa ikut.”
Mungkin hal itulah yang menyeabkan tarian korea lebih digemari di Indonesia ketimbang dengan poco-poco asal Manado asli Indonesia, dimulai dari beberapa orang yang simpati kemudian membentuk kelompok sehingga mempengaruhi kelompok-kelompok lain yang notabenenya hanya ingin terlihat Uptodate. Fenomena Noah Band, Girl/Boy Band, dan Gang-Nam Style seharusnya menjadi pelajaran untuk menjadikan kita lebih berhati-hati memilih obsesi agar kita tidak mudah terjebak dalam propaganda-propaganda tertentu yang akan membinasahkan kebudayan warisan nenek moyang kita yang telah ada dan dijaga sejak berabad-abad lamanya . jangan seperti Kijang Gazzel dan Ikan Sarden kawan!.(FOK)